Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menggelar lokakarya fotografi serangkaian pameran foto retrospektif karya fotografer IB Putra Adnyana (Gustra), 15-22 Mei 2016.
"Diskusi yang menampilkan pembicara IB Putra Adnyana dan fotografer senior Widnyana Sudibya, pada Minggu (15/5), mulai pukul 15.00 waktu setempat," kata kata staf Bentara Budaya Bali Juwita Lasut di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, lokakarya fotografi tersebut sejalan dengan program "Kelas Kreatif Bentara Muda" yang diadakan Bentara Budaya Bali meliputi pengenalan mendasar terkait jurnalistik, fotografi, penulisan kreatif dan kuratorial.
Gustra dan Widnyana Sudibya juga akan bertimbang pandang mengenai upaya menumbuhkan sikap kreatif serta kesanggupan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, terlebih sebagai seorang kreator yang sepatutnya menyadari adanya dinamika percepatan perubahan.
Selain itu juga adanya perkembangan teknologi informasi yang menuntut kerja keras sekaligus kerja cerdas pada pencipta era kini.
Tarpaut hal itu, juga akan dipaparkan fenomena seniman-seniman fotografi sohor yang mengolah hasil bidikannya menjadi sebentuk ekspresi seni lukis atau seni rupa, di mana seniman bersangkutan juga menggunakan sarana-sarana cat dan medium-medium lain untuk berkarya, semisal seniman fotografi Ashley Bickerton, asal Barbados yang telah lama menetap di Bali.
"Karya-karyanya yang dihasilkannya kini menjadi banyak dibicarakan dengan harga yang fantastis," katanya.
Ida Bagus Putra Adnyana (58), yang akrab disapa Gustra lahir di Denpasar tahun 1958 dan dibesarkan di pusat kota Denpasar, tepatnya di daerah Belaluan. Di situlah, ia bersentuhan dengan para maestro seni kerawitan Bali, Pekak Regog (alm) dan I Wayan Beratha (alm) yang buah ciptanya sohor dan mendapat pengakuan internasional.
Gustra kerap berkunjung ke studio I Gusti Made Deblog, seorang maestro lukis yang berjarak 300 meter dari rumahnya. Made Budhiana, pelukis modern lulusan ISI Yogyakarta adalah kawan sepermainannya.
Kamera plastik hadiah dari kakeknya yang kelak terbukti telah mendorong Gustra menjadi seorang seniman fotografi. Tidak boleh diabaikan, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah sebuah pusat kegiatan bisnis, termasuk studio foto yang kala itu popular, yakni Bali Studio, Tip Top dan Prima Photo.
Terlebih lagi, semasa kanak-kanak itu pula, Gustra mengetahui dan sesekali melihat studio photo hitam putih di rumah tetangganya yang menyediakan jasa pas foto atau dokumentasi lainnya.
Segala dunia masa kanak itulah yang rupanya menjadi kekayaan pengalaman sekaligus melatih ketajaman pandangan dan kedalaman naluri fotografinya.
Sebuah cakrawala lain juga memperkaya proses ciptanya, yaitu kehadiran turis-turis asing dengan berbagai jenis dan bentuk kameranya, termasuk kamera polaroid yang bisa mentransfer sebuah pemandangan pada kertas dalam tempo beberapa menit saja. Ini adalah sebuah keajaiban yang menakjubkan bagi Gustra kecil kala itu.
Sejalan dengan ketertarikannya pada dunia visual, sewaktu bersekolah di SMPN 1 Denpasar (1972), ia sempat ikut pameran gambar, merayakan ulang tahun sekolahnya. Demikian pula sewaktu duduk di SMAN 1 Denpasar (1976), Gustra turut berpameran lukisan bersama teman-teman di Werdhi Budaya, Denpasar.
Seluruh keterampilan visualnya itulah yang kelak menjadikan mahasiswa Fakultas Hukum, Unud ini ditunjuk sebagai illustrator di majalah kampusnya.
Pengalaman, bakatnya yang unggul, serta ketekunannya berbuah prestasi. Ia beberapa kali meraih juara foto pariwisata Bali, dan meraih penghargaan dari Gubernur Bali.
Prestasinya tersebut membuatnya dipercaya untuk mengasuh rubrik fotografi di Bali Post Minggu, yang pada saat bersamaan juga bersahabat dengan Umbu Landu Paranggi, seorang penyair sohor redaktur sastra budaya di koran tersebut.
Prestasi internasional pun diraihnya dalam berbagai lomba dan salon foto di Indonesia maupun mancanegara. Selain dapat medali emas tahun 1999 sebagai karya terbaik di sebuah kompetisi internasional, ia juga berulang kali mendapat penghargaan internasional.
Undangan pameran pun berdatangan, baik di Indonesia maupun dari negara-negara di belahan dunia, semisal Pameran Tiga Fotografer Bali di Frankfurt, Jerman, Hong Kong (2010), Australia (2010) dan Spanyol (2010). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Diskusi yang menampilkan pembicara IB Putra Adnyana dan fotografer senior Widnyana Sudibya, pada Minggu (15/5), mulai pukul 15.00 waktu setempat," kata kata staf Bentara Budaya Bali Juwita Lasut di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, lokakarya fotografi tersebut sejalan dengan program "Kelas Kreatif Bentara Muda" yang diadakan Bentara Budaya Bali meliputi pengenalan mendasar terkait jurnalistik, fotografi, penulisan kreatif dan kuratorial.
Gustra dan Widnyana Sudibya juga akan bertimbang pandang mengenai upaya menumbuhkan sikap kreatif serta kesanggupan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, terlebih sebagai seorang kreator yang sepatutnya menyadari adanya dinamika percepatan perubahan.
Selain itu juga adanya perkembangan teknologi informasi yang menuntut kerja keras sekaligus kerja cerdas pada pencipta era kini.
Tarpaut hal itu, juga akan dipaparkan fenomena seniman-seniman fotografi sohor yang mengolah hasil bidikannya menjadi sebentuk ekspresi seni lukis atau seni rupa, di mana seniman bersangkutan juga menggunakan sarana-sarana cat dan medium-medium lain untuk berkarya, semisal seniman fotografi Ashley Bickerton, asal Barbados yang telah lama menetap di Bali.
"Karya-karyanya yang dihasilkannya kini menjadi banyak dibicarakan dengan harga yang fantastis," katanya.
Ida Bagus Putra Adnyana (58), yang akrab disapa Gustra lahir di Denpasar tahun 1958 dan dibesarkan di pusat kota Denpasar, tepatnya di daerah Belaluan. Di situlah, ia bersentuhan dengan para maestro seni kerawitan Bali, Pekak Regog (alm) dan I Wayan Beratha (alm) yang buah ciptanya sohor dan mendapat pengakuan internasional.
Gustra kerap berkunjung ke studio I Gusti Made Deblog, seorang maestro lukis yang berjarak 300 meter dari rumahnya. Made Budhiana, pelukis modern lulusan ISI Yogyakarta adalah kawan sepermainannya.
Kamera plastik hadiah dari kakeknya yang kelak terbukti telah mendorong Gustra menjadi seorang seniman fotografi. Tidak boleh diabaikan, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah sebuah pusat kegiatan bisnis, termasuk studio foto yang kala itu popular, yakni Bali Studio, Tip Top dan Prima Photo.
Terlebih lagi, semasa kanak-kanak itu pula, Gustra mengetahui dan sesekali melihat studio photo hitam putih di rumah tetangganya yang menyediakan jasa pas foto atau dokumentasi lainnya.
Segala dunia masa kanak itulah yang rupanya menjadi kekayaan pengalaman sekaligus melatih ketajaman pandangan dan kedalaman naluri fotografinya.
Sebuah cakrawala lain juga memperkaya proses ciptanya, yaitu kehadiran turis-turis asing dengan berbagai jenis dan bentuk kameranya, termasuk kamera polaroid yang bisa mentransfer sebuah pemandangan pada kertas dalam tempo beberapa menit saja. Ini adalah sebuah keajaiban yang menakjubkan bagi Gustra kecil kala itu.
Sejalan dengan ketertarikannya pada dunia visual, sewaktu bersekolah di SMPN 1 Denpasar (1972), ia sempat ikut pameran gambar, merayakan ulang tahun sekolahnya. Demikian pula sewaktu duduk di SMAN 1 Denpasar (1976), Gustra turut berpameran lukisan bersama teman-teman di Werdhi Budaya, Denpasar.
Seluruh keterampilan visualnya itulah yang kelak menjadikan mahasiswa Fakultas Hukum, Unud ini ditunjuk sebagai illustrator di majalah kampusnya.
Pengalaman, bakatnya yang unggul, serta ketekunannya berbuah prestasi. Ia beberapa kali meraih juara foto pariwisata Bali, dan meraih penghargaan dari Gubernur Bali.
Prestasinya tersebut membuatnya dipercaya untuk mengasuh rubrik fotografi di Bali Post Minggu, yang pada saat bersamaan juga bersahabat dengan Umbu Landu Paranggi, seorang penyair sohor redaktur sastra budaya di koran tersebut.
Prestasi internasional pun diraihnya dalam berbagai lomba dan salon foto di Indonesia maupun mancanegara. Selain dapat medali emas tahun 1999 sebagai karya terbaik di sebuah kompetisi internasional, ia juga berulang kali mendapat penghargaan internasional.
Undangan pameran pun berdatangan, baik di Indonesia maupun dari negara-negara di belahan dunia, semisal Pameran Tiga Fotografer Bali di Frankfurt, Jerman, Hong Kong (2010), Australia (2010) dan Spanyol (2010). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016