Denpasar (Antara Bali) - Prof I Gede Winasa, terdakwa korupsi program bantuan beasiswa pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dan STITNA Jembrana, Bali, mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam sidang yang dipimpin Wayan Sukanila di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis, terdakwa yang juga mantan Bupati Jembrana itu, melalui kuasa hukumnya Simon Nahak meminta hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan JPU.

"Kami memohon kepada majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, karena saat terdakwa dilakukan pemeriksaan oleh penyidik tidak didampingi penasehat hukum," ujar Simon Nahak.

Ia menilai, akibat tidak didampinginya terdakwa oleh penasehat hukumnya, maka penyidik lalai di dalam melaksanakan Pasal 54 KUHP Pasal 56 Ayat 1 KUHP yang tertuang dalam peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi perlindungan hak asasi manusia.

"Pasal 54 mengatur setiap orang yang diperiksa harus didampingi penasehat hukum. Sedangkan Pasal 56 Ayat 1 menyatakan wajib didampingi bagi yang hukumannya di atas lima tahun sampai hukuman mati," ujarnya.

Namun, dalam pelaksanaannya aturan itu tidak dilakukan secara benar, sehingga dakwaan yang dibuat JPU tidak cermat dan tidak jelas dalam menjatuhkan dakwaan.

"Kami sebagai kuasa hukum terdakwa, meminta majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan dan menghentikan proses persidangan serta merehabilitasi nama baik terdakwa," ujarnya.

Selain terdakwa Winasa, dalam sidang berkas terpisah dua terdakwa yakni AA Gede Putrayasa mantan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana periode 2009-2010 dan I Nyoman Suryadi, mantan Dikporaparbud Jembrana periode 2008-2009, mengajukan eksepsi.

Dalam eksepsinya, tim penasihat hukum Agung Dwi Astika meminta kliennya dibebaskan dari segala dakwaan JPU Gede Arthana, Gede Budi Suardana dan Agus Djehamad.

Dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya, Dwi Astika menyatakan program beasiswa Stikes dan Stitna jembrana telah dilakukan audit oleh BPKP Bali.

"Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) disebutkan tidak adanya kerugian negara dan tidak ada disebutkan kewajiban para pihak penerima untuk mengembalikan pihak negara," ujarnya.

Ia menilai dakwaan JPU tidak mengurai hal tersebut, sehingga jaksa telah melakukan tindakan manipulatif dengan menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya.

"JPU tidak berwenang melakukan penuntutan pada terdakwa karena adanya dasar-dasar yang meniadakan penuntutan," ujarnya.

Oleh sebab itu, dalam mengajukan penuntutan terhadap terdakwa harus terdapat unsur korupsi yang merugikan negara. "Namun, dalam audit BPKP Bali tidak ditemukan adanya kerugian negara, maka tidak ada korupsi dalam kegiatan ini," ujar Dwi Astika. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Made Surya

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016