Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Bagaimana latar belakang sejarah Undiknas sehingga bisa mencapai posisi itu? Berdirinya Undiknas University rupanya tak terlepas dari campur tangan Ketut Sambreg selanjutnya disebut Sambreg. Bersama dengan seorang kawan karibnya bernama I Gusti Ngurah Gorda, cukup di sebut Gorda. Eratnya tali persahabatan antara Gorda dan Sambreg, tanpa disadari telah menggiring mereka pada pandangan yang sama mengenai dunia pendidikan. Itu tentu terkait pula dengan kesamaan mereka dalam profesi sebagai guru honorer bidang tata buku di sekolah menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN) Denpasar.
     
Setiap saat kala bertemu, dua sahabat berbeda klan ini kerap memperbincangkan berbagai masalah pendidikan tingkat nasional dan lokal, termasuk Bali di tahun 1960-an. Beragam permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia, mengetuk hati nurani dua sahabat, Sambreg dan Gorda. Ingin rasanya ikut berbagi keringat demi menangkalkan satu persatu permasalahan pendidikan di Indonesia, terutama Bali. Namun belum banyak yang bisa mereka lakukan, selain hanya diskusi-diskusi ringan. sampai akhirnya muncul gagasan mendirikan lembaga kursus Bon A. Barangkali ini bisa membantu jalannya pendidikan di Bali, meski ruang lingkupnya tak luas. Kursus Bon A adalah sebuah lembaga pendidikan nonformal yang sengaja di buka demi mempertajam kemampuan anak didik di bidang tata buku dan hitung dagang.
     
Setelah ada kepastian bisa meminjam sebuah ruangan kelas di SMAN 2 Denpasar, Kursus Bon A pun berdiri. Letaknya bersebelahan dengan gedung SMEA Negeri Denpasar, di wilayah Banjar Wongaya, jalan Kartini sekarang. Sambreg dan Gorda mulai beraksi berbagi ilmu yang di miliki. Sambreg kebagian mengajar hitung dagang. Sedangkan Gorda mengajar ilmu tata buku. Tanpa pernah menduga sebelumnya, lembaga Kursus Bon A mendapat respon positif dari masyarakat. Mengingat sertifikat kelulusannya bisa dipakai untuk melamar pekerjaan di kantor-kantor partikelir, maka peminat kursus relatif banyak.

Tak sedikit pula anak didik yang memanfaatkan Lembaga Kursus Bon A untuk menambah pengetahuan tentang ilmu hitung. Lambat laun, jumlahnya semakin bertambah bahkan membludak. Sambreg dan Gorda pun termotivasi mengubah status Lembaga Kursus itu menjadi sebuah akademi perbankan. Sekalipun ide itu muncul secara spontan, tetapi mereka menindaklanjutinya secara serius.
     
Gorda lantas mencari orang yang paling cocok diajak berdiskusi tentang pendidikan perbankan. Dia adalah I Gde Panetja, seorang sarjana hukum lulusan kolonial Belanda yang berfrofesi sebagai pengacara. Dia merupakan salah satu pemilik saham bank Perniagaan Umum Singaraja. Dia pun menurunkan ilmu dan pengalamannya di dunia perbankan pada Gorda, antara lain ilmu manajemen pendidikan keterampilan dan kepemimpinan lembaga perbankan, sumberdaya kerja di Lembaga perbankan, manapun praktik kerja manusia terdidik di lembaga pendidikan. Panetja bahkan memberikan materi kurikulum dan silabus pendidikan kader bank tingkat B. Pemberian itu sangat penting artinya karena merupakan dasar pengelolaan Lembaga pendidikan setara lulusan sarjana muda.  
     
Untuk menggalang dukungan, Gorda dan Sambreg juga menghubungi Sukarmen, Gubernur Bali pada saat itu. Sang Gubernur menyambut baik ide mereka dan merasa senang Bali akan segera memiliki akademi perbankan. Selanjutnya, mereka mendatangi I Wayan Renda, Dekan Fakultas ekonomi Universitas Udayana saat itu. Setali tiga uang dengan Gubernur Bali, Renda pun menyambut positif ide mereka. Dia bahkan sempat berjanji akan ikut menjadi tenaga pengajar dan melibatkan pula koleganya di Fakultas Ekonomi.
     
Gorda dan Sambreg pun menjadi semakin bersemangat untuk mendirikan akademi perbankan. Langkah awalpun dilakukan dengan membuat landasan hukumnya berupa yayasan yang disahkan oleh sang notaris di jalan Kaliasem Denpasar. Diberi nama Yayasan Pendidikan Kejuruan Nasional (YPKN ). Sebelum acara pengesahan, sesuai peraturan sang notaris mengajukan pertanyaan tentang kepengurusan, "Siapa saja pendiri dan pengurusnya?" Pendirinya sudah jelas Gorda dan Sambreg. Namun pengurusnya tidak ada. Mereka memang belum sempat memikirkan para pengurus yayasan.
    
Ditempat itu pula Gorda dan Sambreg merancang kepengurusan YPKN. Mereka sepakat, Gorda menjabat sebagai ketua sedangkan Sambreg sebagai sekretaris. Jabatan bendahara dipercayakan ke pada Ni Nyoman Kundri, istri Sambreg. Pembantu umum jatuh pada I Gusti Ayu Ngurah Ratyni istrinya Gorda. Tepat tanggal 31 Desember 1968 terbitlah akta pendirian YPKN yang modal pendirinya berasal dari uang patungan Sambreg dan Gorda, masing-masing 7.500 rupiah.  
     
Selembar akta saja belum mampu membuat YPKN mewujudkan segala impian dan cita-cita Gorda dan Sambreg. Perlu sebuah gedung sebagai sekretariat. Untuk itu mereka mengontrak sebuah gedung kecil di jalan Sahadewa Denpasar. Di gedung inilah segala rencana pendirian akademi perbankan digodok. Akhirnya, sesuai rencana lahirlah Akademi Perbankan yang dikenal dengan nama AKABA. Sambreg dan Gorda lantas memikirkan teknis pengelolaannya. Sambreg dipercaya sebagai Direkturnya.
     
Selanjutnya adalah menyiapkan operasional kegiatan pendidikan dan pengajar AKABA. Diperlukan tenaga pengajar yang tentu tak perlu dikonsultasikan atau dimintakan izin kepada pihak kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sebab hal itu merupakan urusan internal akademi. Tanpa berpikir panjang, Gorda dan Sambreg menyatakan siap menjadi tenaga pengajar tetap di AKABA. Mau tak mau memang harus begitu, karena jauh-jauh sebelumnya mereka sudah merancang seperti itu.
     
Belakangan disusul satu persatu pengajar tetap lainya. Dia adalah I wayan Tangiarta, seorang sarjana lulusan fakultas Ekonomi Universitas Janabrada, Yogyakarta. Tiga pengajar tetap saja dirasa belum cukup. Diperlukan beberapa tenaga pengajar tambahan. Direkrutlah beberapa staf pengajar bergelar Dokterandus dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana dengan status honorarium. Mereka adalah I Wayan Renda, I Wayan Adnyana, I Ketut Dela dan I Ketut Nehen. Dilibatkan pula pengajar seorang praktisi perbankan seperti I Gusti Ngurah Oka Wardana dari Bank Bumi Daya cabang Denpasar dan I Made Wijaya dari Dinas Koperasi Provinsi Bali.
     
Tenaga pengajar, baik tetap maupun honorer, sudah siap. Selanjutnya tinggal mencari fasilitas gedung perkuliahan. Tak ada dana untuk membeli lahan apalagi sekaligus membangunnya sebagai gedung perkuliahan. Karena itu satu-satunya jalan adalah meminjam. Berbeda dengan sebelumnya semasih berbentuk Bon A, kali ini mereka berencana meminjam dua ruangan kelas di SMEA Negeri Denpasar, mereka pun mendatangi pihak sekolah untuk meminta izin dan berhasil.
     
Sarana dan prasarana pendidikan sudah siap. Kini tinggal mencari mahasiswa yang bakal menuntut ilmu di AKABA. Gorda dan Sambreg sepakat memasang iklan di Suluh Marhaen yang sekarang bernama Bali Post. Strategi itu cukup berhasil. Terlihat dari membludaknya pendaftar yang ingin kuliah di AKABA. Jumlahnya sekitar 450 orang, tapi hanya 156 orang yang dinyatakan lolos proses penjaringan. Meraka itulah yang tercatat sebagai mahasiswa AKABA angkatan pertama.

Pada 17 Februari 1969 berlangsung kuliah perdana yang sekaligus dijadikan sebagai hari kelahiran AKABA. Sudah pasti hanya bahagia yang terasa dibenak Gorda dan Sambreg melihat pencapaian itu. Namun tak sampai membuat mereka jumawa, apalagi berhenti berjuang untuk mengantarkan AKABA ke arah yang lebih baik. Salah satu caranya adalah mengajukan permohonan status "terdaftar" kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui koordinator koordinasi Perguruan Tinggi Wilayah VI Surabaya. Namun kondisi itu tak sampai menyurutkan semangat Gorda dan Sambreg. Mereka justru semakin gigih berjuang agar AKABA segera memperoleh status terdaftar. Mereka hanya bisa berjuang tanpa tahu secara pasti kapan status itu bisa diraih. Sekalipun tanpa status terdaftar, tapi proses perkuliahan tetap berjalan secara normal. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016