Denpasar (Antara Bali) - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali merekomendasikan Dinas Kesehatan provinsi setempat untuk membuat panduan iklan pengobatan alternatif.
"Panduan tersebut akan menjadi pedoman dalam pembuatan iklan pengobatan alternatif. Bagaimana standar sebuah iklan pengobatan, itu yang kita butuhkan agar batasannya sama-sama jelas," kata Ketua KPID Bali Anak Agung Rai Sahadewa di Denpasar, Selasa.
Menurut Sahadewa, akibat tidak adanya pedoman yang standar, menyebabkan banyak iklan pengobatan yang cenderung menggunakan kata-kata yang mengarah ke sesksualitas, terutama untuk penguat bagi pria.
Di samping itu, banyak juga iklan pengobatan yang sampai berani menjanjikan kesembuhan dan promosi obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. "Masalahnya untuk menguji khasiat obat, itu bukan kewenangan KPID," ucapnya.
Sahadewa mengungkapkan permasalahan lainnya terkait iklan pengobatan adalah legalitas jasa pengobatan. Dalam pengawasan terhadap iklan pengobatan KPI berpedoman pada Undang-Undang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Dalam pasal 11 ayat 3 SPS disebutkan lembaga penyiaran dilarang menampilkan jasa pengobatan yang tidak memiliki izin dari instansi berwenang. Kewenangan perizinan tersebut berada di Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
Sahadewa menambahkan permasalahan berikutnya adalah sesuai aturan kesehatan bagi jasa pengobtan ada 2 izin. Ada yang Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan surat izin penyehat tradisional (SIPT).
Dari 2 izin yang ada hanya yang memegang SIPT yang memiliki hak untuk berpromosi di lembaga penyiaran. Tetapi sampai saat ini belum ada pedoman berpromosi yang dapat dijadikan pedoman.
"Kalau ada pedoman akan lebih baik, seperti bagaimana Trisandy di lembaga penyiaran mempunyai pedoman bersama, ini yang kami harapkan dilakukan Dinas Kesehatan," kata Sahadewa.
Sedangkan Kepala Seksi Pelayanan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Putu Camellia mengakui standar iklan pengobatan perlu dibuat dan harus mulai dirumuskan, walaupun panduan secara umum ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan.
Menurut Camellia, hal yang perlu juga diingatkan bahwa jasa pengobatan yang memegang STPT tidak dapat berpromosi karena pada dasarnya STPT yang diterima bukan izin tetapi hanya tanda terdaftar.
Hanya yang memegang SIPT yang memiliki hak untuk berpromosi karena SIPT tersebut merupakan surat izin. "Ini juga yang belum dipahami oleh media atau lembaga penyiaran, SPTP bukan izin hanya tanda terdaftar, maka kami akan sosialisasikan ini ke lembaga penyiaran bekerja sama dengan KPID Bali," ucap Camellia.
Camellia menyampaikan Dinas Kesehatan Provinsi Bali juga akan meminta Dinas Kesehatan jabupaten/kota untuk memberikan pengertian kepada penyehat tradisional yang memiliki STPT agar tidak beriklan.Salah satu upaya menghindari pemegang STPT beriklan adalah dengan cara membuat surat penyataan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Panduan tersebut akan menjadi pedoman dalam pembuatan iklan pengobatan alternatif. Bagaimana standar sebuah iklan pengobatan, itu yang kita butuhkan agar batasannya sama-sama jelas," kata Ketua KPID Bali Anak Agung Rai Sahadewa di Denpasar, Selasa.
Menurut Sahadewa, akibat tidak adanya pedoman yang standar, menyebabkan banyak iklan pengobatan yang cenderung menggunakan kata-kata yang mengarah ke sesksualitas, terutama untuk penguat bagi pria.
Di samping itu, banyak juga iklan pengobatan yang sampai berani menjanjikan kesembuhan dan promosi obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. "Masalahnya untuk menguji khasiat obat, itu bukan kewenangan KPID," ucapnya.
Sahadewa mengungkapkan permasalahan lainnya terkait iklan pengobatan adalah legalitas jasa pengobatan. Dalam pengawasan terhadap iklan pengobatan KPI berpedoman pada Undang-Undang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
Dalam pasal 11 ayat 3 SPS disebutkan lembaga penyiaran dilarang menampilkan jasa pengobatan yang tidak memiliki izin dari instansi berwenang. Kewenangan perizinan tersebut berada di Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
Sahadewa menambahkan permasalahan berikutnya adalah sesuai aturan kesehatan bagi jasa pengobtan ada 2 izin. Ada yang Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan surat izin penyehat tradisional (SIPT).
Dari 2 izin yang ada hanya yang memegang SIPT yang memiliki hak untuk berpromosi di lembaga penyiaran. Tetapi sampai saat ini belum ada pedoman berpromosi yang dapat dijadikan pedoman.
"Kalau ada pedoman akan lebih baik, seperti bagaimana Trisandy di lembaga penyiaran mempunyai pedoman bersama, ini yang kami harapkan dilakukan Dinas Kesehatan," kata Sahadewa.
Sedangkan Kepala Seksi Pelayanan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Putu Camellia mengakui standar iklan pengobatan perlu dibuat dan harus mulai dirumuskan, walaupun panduan secara umum ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan.
Menurut Camellia, hal yang perlu juga diingatkan bahwa jasa pengobatan yang memegang STPT tidak dapat berpromosi karena pada dasarnya STPT yang diterima bukan izin tetapi hanya tanda terdaftar.
Hanya yang memegang SIPT yang memiliki hak untuk berpromosi karena SIPT tersebut merupakan surat izin. "Ini juga yang belum dipahami oleh media atau lembaga penyiaran, SPTP bukan izin hanya tanda terdaftar, maka kami akan sosialisasikan ini ke lembaga penyiaran bekerja sama dengan KPID Bali," ucap Camellia.
Camellia menyampaikan Dinas Kesehatan Provinsi Bali juga akan meminta Dinas Kesehatan jabupaten/kota untuk memberikan pengertian kepada penyehat tradisional yang memiliki STPT agar tidak beriklan.Salah satu upaya menghindari pemegang STPT beriklan adalah dengan cara membuat surat penyataan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016