Hari telah bergerak menuju petang. Gerimis turun perlahan, namun tak kunjung menyurutkan kesibukan di salah satu rumah di tengah Kota Denpasar, Bali. Kesibukan yang dengan tekun dilakukan sepasang suami-istri, sejak hampir dua puluh tahun silam.
Botol minuman, potongan besi, serpihan aluminium, kertas, serta beragam benda yang terkategori sampah, dimasukkan ke karung dan diletakkan di sudut halaman. Keduanya menyeka keringat sejenak, sebelum meneruskan memilah sampah agar pada akhir pekan, telah siap dikirim ke pengepul untuk dibawa ke Jawa.
"Saya dan istri, Ni Made Wiadnyani, memulai usaha dari jasa angkut sampah sejak tahun 1998 di lingkungan Desa Dangin Puri Kangin. Sebanyak 140 rumah tangga yang menjadi pelanggan angkut sampah pada kami," kata I Nyoman Alit Adnyana.
Sebelum dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) di kawasan Suwung, lebih dulu sampah-sampah itu disortir untuk dipilih mana yang bernilai ekonomis.
"Sampah yang disortir itu campuran jenisnya dan dijual dengan harga Rp1.000 per kilogram. Itu hasil sampingan, karena pendapatan utama kami dari iuran warga yang berlangganan angkut sampah," ujar Alit Adnyana.
Baru pada tahun 2012, pasangan itu mendapatkan "workshop" mengenai pemilahan sampah agar harganya lebih tinggi. Selain itu, berdasar dari workshop, akhirnya Alit Adnyana dan Wiadnyani mendapat pelatihan untuk membentuk bank sampah, yang diberi nama Wijaya Kusuma.
Melewati serangkaian kesulitan dan sempat mendapat pandangan sinis sebagian orang, perlahan-lahan bank sampah itu akhirnya justru mampu merebut simpati masyarakat. Hingga kini, nasabah bank sampah mencapai lebih dari 150 orang, yang mayoritas menabung botol air mineral atau kertas.
Penghasilan dari jasa angkut sampah dan mengelola bank sampah ini, bisa mencapai Rp10 juta setiap bulan, sehingga cukup untuk menghidupi ketiga putra putri pasangan ini.
"Anak sulung sekarang sedang kuliah di Stikom - Denpasar. Anak kedua sekolah di Kokar, Gianyar, dan anak bungsu masih kelas lima SD. Saya benar-benar menggantungkan hidup dari sampah. Sebelumnya, saya sempat bekerja sebagai karyawan es krim. Melihat hasil mengelola sampah lebih prospektif, saya memilih berhenti jadi karyawan es krim," ucap Alit Adnyana dengan ekspresi bangga.
Sampah, lanjut pria ini, benar-benar menjadi gantungan hidup bagi keluarganya. Bahkan putra sulungnya meski sudah berstatus sebagai mahasiswa, tidak mengenal istilah gengsi. Setiap pagi-pagi sekali, bahkan saat embun masih mengambang di udara, putra sulung itu sudah mendorong gerobak dan mengambil sampah dari rumah ke rumah warga.
"Pekerjaan apapun asal menghasilkan rezeki halal, tidak perlu gengsi melakoni. Saya bahkan bangga bisa bekerja di bidang sampah, berarti turut menjaga lingkungan. Karena jika datang langsung ke TPA Suwung, miris rasanya melihat tumpukan sampah menggunung tinggi. Memang banyak pemulung di sana, tapi antara jumlah sampah dengan pemulungnya tidak sebanding," ujar dia.
Alit Adnyana berharap, ke depan masyarakat bisa memilah sampah yang benar-benar tak bernilai dengan yang memiliki sisi ekonomis. Dengan pemilahan, otomatis tidak membuat TPA Suwung kian menggunung tinggi dan semakin hari jumlahnya seakan tidak terkendali.
"Sampah nyaris identik dinilai rendah, tapi buktinya bisa membuat kami hidup layak dan menyekolahkan anak-anak," ucapnya.
Dia meneruskan, dahulu sempat merasakan getir ketika menjadi pengangkut sampah ketika hari-hari masih gelap dan orang-orang masih terlelap, dirinya dan sang istri justru sudah menyusuri jalan dan mengambil sampah dari rumah ke rumah.
Cap sebagai keluarga sampah, atau keluarga yang bergantung pada sampah, sempat membuat keduanya miris, tapi tak pernah menyurutkan nyali untuk membuktikan diri bahwa bekerja di bidang apapun pasti bisa menghasilkan materi jika ditekuni dengan sungguh-sungguh.
Pergerakan hidup baru terasa, ketika pasangan ini memperoleh pengetahuan cara memilah sampah, dan mendirikan bank sampah yang perlahan-lahan mampu meningkatkan derajat perekonomian keluarga.
"Sampah bisa menjadi jalan keluar untuk menjadi penopang ekonomi keluarga. Masyarakat kebanyakan gengsi, makanya enggan menekuni pekerjaan ini. Kalau saja mau, tentu jumlah sampah kian berkurang dari Denpasar. Selain itu, saya juga menyesalkan masyarakat masih kurang kesadaran untuk memilah sampah, dan membuang sampah di tempat yang benar. Kesadaran ini yang masih perlu ditingkatkan," ujar Alit Adnyana, seraya menegaskan dirinya sering kali mensyukuri memiliki peran yang meski kecil, namun tetap berkontribusi dalam menjaga pelestarian lingkungan.
Efek Jera
Penanggulangan sampah di Kota Denpasar hingga kini belum berlangsung maksimal, meski tak bisa dibilang berjalan di tempat. Faktor yang memperparah kompleksitas permasalahan sampah di Denpasar adalah dikarenakan kesadaran masyarakat mengenai penanganan sampah masih belum tinggi.
Masih banyak warga yang membuang sampah di mana-mana. Misalnya, di sungai, selokan, taman, atau jalan pada titik-titik tertentu, sehingga pemandangan sampah yang beterbangan atau menumpuk dengan bau menyengat, menjadi pemandangan yang mengurangi keindahan kota.
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar sebenarnya telah menerapkan sanksi denda, namun nyatanya tak kunjung menimbulkan efek jera. Sanksi denda ini dikenakan bagi warga yang melanggar Perda No 3 tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar, dengan melaksanakan sidang tipiring di Pengadilan Negeri Denpasar setiap Rabu dan Jumat.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar I Ketut Wisada menyatakan pihaknya semaksimal mungkin akan melakukan langkah antisipasi termasuk saat hari-hari besar, untuk menjaga agar kebersihan wilayahnya senantiasa terjaga.
"Pada hari-hari biasa, volume sampah di Kota Denpasar mencapai 2.700 meter kubik. Rata-rata setiap orang menghasilkan 1,4 kilogram sampah per hari," ujar Wisada.
Dia melanjutkan, berbagai langkah dilakukan untuk menjaga kebersihan di wilayah Kota Denpasar, antara lain dengan mengerahkan tukang sapu yang berjumlah 557 orang. Bahkan pada saat-saat tertentu, para tukang sapu itu siap melakukan kerja lembur agar wilayah setempat tidak tercemari beragam sampah.
Sementara itu, sebelumnya Wali Kota Denpasar Rai menggalang kerja sama dengan pihak swasta dengan mendatangkan mesin yang dirancang khusus seperti Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Pada mesin ini, masyarakat dapat memasukkan sampah plastik atau aluminium, dan sebagai gantinya akan mendapatkan voucher yang dapat ditukarkan dengan uang.
Mesin ATM sampah ini memiliki manfaat dapat mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap pola hidup bersih serta bijak mengelola sampah secara baik dan benar, sehingga mampu memberikan manfaat. Agar mampu terjangkau masyarakat, mesin ATM sampah ini diletakkan di rumah sakit, pasar tradisional, terminal dan beberapa titik lain.
Menjaga kebersihan dengan menempatkan mesin ATM sampah, merupakan langkah cukup cerdik karena dapat memancing masyarakat untuk menghargai sampah sebagai sesuatu yang berguna. Sayangnya belakangan banyak mesin ATM sampah ini yang rusak. Seyogyanya mesin ATM sampah segera diperbaiki, agar kebiasaan mengelola dan menghargai sampah bisa membudaya di wilayah Kota Denpasar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan Sri Bebasari menyebutkan, tingkat pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah di Indonesia, bisa diumpamakan penyakit kanker sudah memasuki stadium IV. Solusinya adalah dengan amputasi dan mestinya dikelola dengan mesin pengelola sampah dengan kapasitas satu ton.
Sri Bebasari menyatakan, ada lima aspek yang mestinya diperhatikan dalam mengelola sampah, yakni aspek teknologi, institusi, pendanaan atau ekonomi, sosial-budaya serta aspek hukum.
"Kelima aspek itu tidak boleh dilepaskan dalam pengelolaan sampah. Aspek teknologinya, harus dilakukan dengan pendekatan 3 R, yakni reduce, reuse dan recycle. Pendekatan sosial budaya harus memperhatikan adanya langkah-langkah pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Problematika sampah memang harus segera disikapi agar tidak menjadi mimpi buruk bagi negeri ini. Realitanya, jumlah sampah di Indonesia akan terus meningkat jika penanganan sampah belum serius. Tahun 2019, produksi sampah di Indonesia diprediksi akan mencapai 67,1 juta ton sampah per tahun, sementara volume sampah di Kota Denpasar mencapai 2.700 meter kubik per hari.
Jika saja masyarakat yang menuruti jejak pasangan I Nyoman Ait Adnyana dan Ni Made Wiadnyani makin bertambah, tentu dapat diprediksi jumlah sampah di Kota Denpasar akan terus menyusut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Botol minuman, potongan besi, serpihan aluminium, kertas, serta beragam benda yang terkategori sampah, dimasukkan ke karung dan diletakkan di sudut halaman. Keduanya menyeka keringat sejenak, sebelum meneruskan memilah sampah agar pada akhir pekan, telah siap dikirim ke pengepul untuk dibawa ke Jawa.
"Saya dan istri, Ni Made Wiadnyani, memulai usaha dari jasa angkut sampah sejak tahun 1998 di lingkungan Desa Dangin Puri Kangin. Sebanyak 140 rumah tangga yang menjadi pelanggan angkut sampah pada kami," kata I Nyoman Alit Adnyana.
Sebelum dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) di kawasan Suwung, lebih dulu sampah-sampah itu disortir untuk dipilih mana yang bernilai ekonomis.
"Sampah yang disortir itu campuran jenisnya dan dijual dengan harga Rp1.000 per kilogram. Itu hasil sampingan, karena pendapatan utama kami dari iuran warga yang berlangganan angkut sampah," ujar Alit Adnyana.
Baru pada tahun 2012, pasangan itu mendapatkan "workshop" mengenai pemilahan sampah agar harganya lebih tinggi. Selain itu, berdasar dari workshop, akhirnya Alit Adnyana dan Wiadnyani mendapat pelatihan untuk membentuk bank sampah, yang diberi nama Wijaya Kusuma.
Melewati serangkaian kesulitan dan sempat mendapat pandangan sinis sebagian orang, perlahan-lahan bank sampah itu akhirnya justru mampu merebut simpati masyarakat. Hingga kini, nasabah bank sampah mencapai lebih dari 150 orang, yang mayoritas menabung botol air mineral atau kertas.
Penghasilan dari jasa angkut sampah dan mengelola bank sampah ini, bisa mencapai Rp10 juta setiap bulan, sehingga cukup untuk menghidupi ketiga putra putri pasangan ini.
"Anak sulung sekarang sedang kuliah di Stikom - Denpasar. Anak kedua sekolah di Kokar, Gianyar, dan anak bungsu masih kelas lima SD. Saya benar-benar menggantungkan hidup dari sampah. Sebelumnya, saya sempat bekerja sebagai karyawan es krim. Melihat hasil mengelola sampah lebih prospektif, saya memilih berhenti jadi karyawan es krim," ucap Alit Adnyana dengan ekspresi bangga.
Sampah, lanjut pria ini, benar-benar menjadi gantungan hidup bagi keluarganya. Bahkan putra sulungnya meski sudah berstatus sebagai mahasiswa, tidak mengenal istilah gengsi. Setiap pagi-pagi sekali, bahkan saat embun masih mengambang di udara, putra sulung itu sudah mendorong gerobak dan mengambil sampah dari rumah ke rumah warga.
"Pekerjaan apapun asal menghasilkan rezeki halal, tidak perlu gengsi melakoni. Saya bahkan bangga bisa bekerja di bidang sampah, berarti turut menjaga lingkungan. Karena jika datang langsung ke TPA Suwung, miris rasanya melihat tumpukan sampah menggunung tinggi. Memang banyak pemulung di sana, tapi antara jumlah sampah dengan pemulungnya tidak sebanding," ujar dia.
Alit Adnyana berharap, ke depan masyarakat bisa memilah sampah yang benar-benar tak bernilai dengan yang memiliki sisi ekonomis. Dengan pemilahan, otomatis tidak membuat TPA Suwung kian menggunung tinggi dan semakin hari jumlahnya seakan tidak terkendali.
"Sampah nyaris identik dinilai rendah, tapi buktinya bisa membuat kami hidup layak dan menyekolahkan anak-anak," ucapnya.
Dia meneruskan, dahulu sempat merasakan getir ketika menjadi pengangkut sampah ketika hari-hari masih gelap dan orang-orang masih terlelap, dirinya dan sang istri justru sudah menyusuri jalan dan mengambil sampah dari rumah ke rumah.
Cap sebagai keluarga sampah, atau keluarga yang bergantung pada sampah, sempat membuat keduanya miris, tapi tak pernah menyurutkan nyali untuk membuktikan diri bahwa bekerja di bidang apapun pasti bisa menghasilkan materi jika ditekuni dengan sungguh-sungguh.
Pergerakan hidup baru terasa, ketika pasangan ini memperoleh pengetahuan cara memilah sampah, dan mendirikan bank sampah yang perlahan-lahan mampu meningkatkan derajat perekonomian keluarga.
"Sampah bisa menjadi jalan keluar untuk menjadi penopang ekonomi keluarga. Masyarakat kebanyakan gengsi, makanya enggan menekuni pekerjaan ini. Kalau saja mau, tentu jumlah sampah kian berkurang dari Denpasar. Selain itu, saya juga menyesalkan masyarakat masih kurang kesadaran untuk memilah sampah, dan membuang sampah di tempat yang benar. Kesadaran ini yang masih perlu ditingkatkan," ujar Alit Adnyana, seraya menegaskan dirinya sering kali mensyukuri memiliki peran yang meski kecil, namun tetap berkontribusi dalam menjaga pelestarian lingkungan.
Efek Jera
Penanggulangan sampah di Kota Denpasar hingga kini belum berlangsung maksimal, meski tak bisa dibilang berjalan di tempat. Faktor yang memperparah kompleksitas permasalahan sampah di Denpasar adalah dikarenakan kesadaran masyarakat mengenai penanganan sampah masih belum tinggi.
Masih banyak warga yang membuang sampah di mana-mana. Misalnya, di sungai, selokan, taman, atau jalan pada titik-titik tertentu, sehingga pemandangan sampah yang beterbangan atau menumpuk dengan bau menyengat, menjadi pemandangan yang mengurangi keindahan kota.
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar sebenarnya telah menerapkan sanksi denda, namun nyatanya tak kunjung menimbulkan efek jera. Sanksi denda ini dikenakan bagi warga yang melanggar Perda No 3 tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar, dengan melaksanakan sidang tipiring di Pengadilan Negeri Denpasar setiap Rabu dan Jumat.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar I Ketut Wisada menyatakan pihaknya semaksimal mungkin akan melakukan langkah antisipasi termasuk saat hari-hari besar, untuk menjaga agar kebersihan wilayahnya senantiasa terjaga.
"Pada hari-hari biasa, volume sampah di Kota Denpasar mencapai 2.700 meter kubik. Rata-rata setiap orang menghasilkan 1,4 kilogram sampah per hari," ujar Wisada.
Dia melanjutkan, berbagai langkah dilakukan untuk menjaga kebersihan di wilayah Kota Denpasar, antara lain dengan mengerahkan tukang sapu yang berjumlah 557 orang. Bahkan pada saat-saat tertentu, para tukang sapu itu siap melakukan kerja lembur agar wilayah setempat tidak tercemari beragam sampah.
Sementara itu, sebelumnya Wali Kota Denpasar Rai menggalang kerja sama dengan pihak swasta dengan mendatangkan mesin yang dirancang khusus seperti Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Pada mesin ini, masyarakat dapat memasukkan sampah plastik atau aluminium, dan sebagai gantinya akan mendapatkan voucher yang dapat ditukarkan dengan uang.
Mesin ATM sampah ini memiliki manfaat dapat mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap pola hidup bersih serta bijak mengelola sampah secara baik dan benar, sehingga mampu memberikan manfaat. Agar mampu terjangkau masyarakat, mesin ATM sampah ini diletakkan di rumah sakit, pasar tradisional, terminal dan beberapa titik lain.
Menjaga kebersihan dengan menempatkan mesin ATM sampah, merupakan langkah cukup cerdik karena dapat memancing masyarakat untuk menghargai sampah sebagai sesuatu yang berguna. Sayangnya belakangan banyak mesin ATM sampah ini yang rusak. Seyogyanya mesin ATM sampah segera diperbaiki, agar kebiasaan mengelola dan menghargai sampah bisa membudaya di wilayah Kota Denpasar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan Sri Bebasari menyebutkan, tingkat pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah di Indonesia, bisa diumpamakan penyakit kanker sudah memasuki stadium IV. Solusinya adalah dengan amputasi dan mestinya dikelola dengan mesin pengelola sampah dengan kapasitas satu ton.
Sri Bebasari menyatakan, ada lima aspek yang mestinya diperhatikan dalam mengelola sampah, yakni aspek teknologi, institusi, pendanaan atau ekonomi, sosial-budaya serta aspek hukum.
"Kelima aspek itu tidak boleh dilepaskan dalam pengelolaan sampah. Aspek teknologinya, harus dilakukan dengan pendekatan 3 R, yakni reduce, reuse dan recycle. Pendekatan sosial budaya harus memperhatikan adanya langkah-langkah pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Problematika sampah memang harus segera disikapi agar tidak menjadi mimpi buruk bagi negeri ini. Realitanya, jumlah sampah di Indonesia akan terus meningkat jika penanganan sampah belum serius. Tahun 2019, produksi sampah di Indonesia diprediksi akan mencapai 67,1 juta ton sampah per tahun, sementara volume sampah di Kota Denpasar mencapai 2.700 meter kubik per hari.
Jika saja masyarakat yang menuruti jejak pasangan I Nyoman Ait Adnyana dan Ni Made Wiadnyani makin bertambah, tentu dapat diprediksi jumlah sampah di Kota Denpasar akan terus menyusut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016