Denpasar (Antara Bali) - Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Lingkungan Mukti Sarjono MSi mengatakan perkebunan kelapa sawit di Tanah Air yang dimiliki petani secara bertahap dilakukan peremajaan dengan menanam bibit unggul.
"Selama kurun waktu peremajaan tanaman kelapa sawit tersebut yang dilakukan para petani, maka diberikan bantuan melalui kredit usaha rakyat (KUR)," kata Mukti pada acara "Konferensi Sawit dan Lingkungan" di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Ia mengatakan perkebunan sawit rata-rata membutuhkan 12 pekerja per hektare. Ini memainkan peran sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk Indonesia.
"Perkebunan sawit mampu menyerap lebih dari empat juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta tenaga kerja tidak langsung serta berkontribusi besar terhadap ekspor non-migas Indonesia," ujarnya.
Ia mengatakan minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu sektor yang kompetitif dan itu adalah yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan.
Dikatakan, satu hektare perkebunan CPO, misalnya dapat menghasilkan rata-rata 3,8 ton minyak. Pada harga saat ini kira-kira menghasilkan 2.150 dolar AS per hektare.
"Bandingkan dengan perkebunan karet dengan tingkat produktivitas satu ton per hektare yang hanya menghasilkan 1.500 dolar AS per ton," katanya.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, praktek minyak sawit berkelanjutan juga memainkan peran penting untuk mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Pemerintah berencana untuk fokus pada penanaman kembali CPO di lahan kritis dan daerah produktivitas rendah untuk meningkatkan hasil.
"Dengan mempromosikan wajib biodiesel (B-20) pada 2016 yang secara bertahap akan meningkatkan menjadi 30 persen pada 2025. Kami yakin kebijakan ini akan mempromosikan penggunaan energi yang lebih berklanjutan. Kami dalam non-mandatory (non-PSO) untuk melakukan 20 persen pencampuran yang akan meningkatkan permintaan tambahan untuk CPO," ujarnya.
Darmin lebih lanjut mengatakan kebijakan ini selama lingkungan bahan bakar fosil menurun sehingga beban bagi konsumen akan relatif minimal.
"Untuk menambah perbedaan harga, kami berpikir untuk mengambilnya dari marjin produsen minyak, bukan membebankannya pada konsumen," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Selama kurun waktu peremajaan tanaman kelapa sawit tersebut yang dilakukan para petani, maka diberikan bantuan melalui kredit usaha rakyat (KUR)," kata Mukti pada acara "Konferensi Sawit dan Lingkungan" di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Ia mengatakan perkebunan sawit rata-rata membutuhkan 12 pekerja per hektare. Ini memainkan peran sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk Indonesia.
"Perkebunan sawit mampu menyerap lebih dari empat juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta tenaga kerja tidak langsung serta berkontribusi besar terhadap ekspor non-migas Indonesia," ujarnya.
Ia mengatakan minyak kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu sektor yang kompetitif dan itu adalah yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan.
Dikatakan, satu hektare perkebunan CPO, misalnya dapat menghasilkan rata-rata 3,8 ton minyak. Pada harga saat ini kira-kira menghasilkan 2.150 dolar AS per hektare.
"Bandingkan dengan perkebunan karet dengan tingkat produktivitas satu ton per hektare yang hanya menghasilkan 1.500 dolar AS per ton," katanya.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, praktek minyak sawit berkelanjutan juga memainkan peran penting untuk mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Pemerintah berencana untuk fokus pada penanaman kembali CPO di lahan kritis dan daerah produktivitas rendah untuk meningkatkan hasil.
"Dengan mempromosikan wajib biodiesel (B-20) pada 2016 yang secara bertahap akan meningkatkan menjadi 30 persen pada 2025. Kami yakin kebijakan ini akan mempromosikan penggunaan energi yang lebih berklanjutan. Kami dalam non-mandatory (non-PSO) untuk melakukan 20 persen pencampuran yang akan meningkatkan permintaan tambahan untuk CPO," ujarnya.
Darmin lebih lanjut mengatakan kebijakan ini selama lingkungan bahan bakar fosil menurun sehingga beban bagi konsumen akan relatif minimal.
"Untuk menambah perbedaan harga, kami berpikir untuk mengambilnya dari marjin produsen minyak, bukan membebankannya pada konsumen," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016