Denpasar (Antara Bali) - Sistem pertanian secara organik dan kembali kepada alam secara bertahap akan diterapkan di wilayah Kota Denpasar, meski terganjal oleh permasalahan alih fungsi lahan yang setiap tahun mencapai sekitar dua persen di wilayah setempat.

"Pertanian organik itu tidak bisa dijalankan secara instan, harus ada program percontohan baru masyarakat bisa melihat dan menerapkan. Namun, sayangnya ada kendala lain yakni soal alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahun," ujar Kepala Dinas Pertanian Kota Denpasar I Gede Ambara Putra dijumpai di kawasan persawahan untuk bertanam secara organik di Peguyangan, Kamis.

Dia mengatakan, alih fungsi lahan di wilayah Denpasar rata-rata terjadi dua persen setiap tahun. Saat ini, lahan pertanian di Kota Denpasar mencapai 4.500 hektare. Sebagian besar untuk ditanami padi, yakni sekitar 4.000 hektare. Lainnya tak kurang 500 hektare dipergunakan sebagai area mengembangkan holtikultura palawija.

Produktivitas padi di lahan pertanian Kota Denpasar tergolong tinggi, mencapai 10-12 ton gabah kering per hektare. Melebihi dari produktivitas hasil pertanian padi secara nasional.

"Sayangnya untuk mengembangkan dan menggenjot produktivitas pertanian, kita terganjal makin berkurangnya luas lahan pertanian. Penyusutan lahan pertanian ini latar belakangnya sebagian besar dikarenakan soal ekonomi. Jadi petani menjual lahan kepada pemilik modal, kemudian diubah peruntukan menjadi kawasan perumahan," ujar Ambara Putra.

Di sisi lain, dia menyatakan tentang rentang usia pertanian di kawasan Denpasar yang berkisar pada umur 40-55 tahun. Generasi muda, tidak berminat untuk menerjuni bidang persawahan untuk menggarap lahan dan harus kotor oleh lumpur.

"Untuk kalangan muda, kami sudah memberi pelatihan seperti agribisnis jamur, pembuatan susu kedelai atau jagung, merangkai dan sejumlah keterampilan lain yang bisa digeluti untuk sumber penghasilan," ujar Ambara Putra.

Kalangan muda yang merupakan lulusan perguruan tinggi, baik strata S1 maupun S2, banyak yang berminat pada pelatihan agribisnis dan kemudian mengembangkan di lingkungan masing-masing. Hasil agribisnis ternyata positif dan mampu menjadikan seseorang mandiri secara finansial, dan justru mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

"Makanya baik generasi muda maupun kalangan dewasa, diajak untuk bertani dengan manajemen yang benar, sehingga memberikan penghasilan untuk menopang perekonomian keluarga. Nanti secara step by step akan diarahkan untuk bertani secara organik, dan tidak lagi menggantungkan pada bahan kimia," ujarnya.

Mengajak masyarakat untuk bertani secara organik, katanya, tidak bisa dilakukan secara frontal. Masyarakat tidak akan mau, jika seketika diajak berpindah dari yang biasa menggantungkan pada bahan kimia, kemudian dialihkan pada bertani secara organik.

"Bertani secara organik itu hasilnya tidak bisa seketika. Mungkin pada fase bertanam ketiga kali, baru bisa terlihat hasilnya secara maksimal. Selain itu, masyarakat pun ingin ada kepastian, bahwa ketika berpindah ke pertanian organik, ada pihak yang akan menampung hasil panen. Ini yang penting, artinya ada kepastian pascapanen," ucap Ambara Putra. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016