Denpasar (Antara Bali) - Rencana pelaksanaan eksekusi juru sita Pengadilan Negeri Denpasar terhadap tanah berlokasi di Kelurahan Jimbaran ada keanehan, karena sebelumnya sertifikat nomor 4038 yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Badung milik Loeana Kanginnandhi yang telah dicabut dan dimatikan oleh pihak BPN.

"Sertifikat nomor 4038 telah dicabut dan dimatikan pada bulan Desember 2004 oleh pihak BPN dan tidak memiliki hubungan hukum dengan pemohon yakni Putra Mas Agung kok dipaksakan dieksekusi oleh pengadilan. Sedangkan gugatan  2008 masuk di PN Denpasar, artinya mereka menggugat sertifikat yang sudah tidak ada, kok itu mau di eksekusi, ini ada permainan apa," kata Edward Tobing SH selaku kuasa hukum Agus Wijaya dan Anton Wirawan

Edward yang didampingi rekannya I Komang Mahardika Yana menuturkan jika tanah didua lokasi berdekatan seluas total lima hektare lebih di Kelurahan Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali telah lama dimiliki oleh beberapa pemilik dan dibeli melalui pemilik lama yakni Loeana Kanginnandhi.

Dan dari lima pemilik, yakni Agus Wijaya dan Anton Wirawan adalah selaku korban yang tidak tahu menahu kenapa tanah miliknya mau di eksekusi oleh PN Denpasar.

"Klien saya Agus Wijaya dan Anton Wirawan tidak memiliki hubungan hukum dengan pemohon yakni Putra Mas Agung, karena klien kami pada saat ini adalah selaku pemilik yang sah dari tanah tersebut dan telah melakukan upaya gugatan perlawanan di PN Denpasar, itu artinya eksekusi ini harusnya ditunda sampai permasalahan hukum yang saat ini ada di PN Denpasar tuntas terlebih dahulu karena belum ingkrah atau berkeputusan hukum tetap," katanya.

Anehnya lagi, kata Edward, tanah yang telah dahulu kala dijual pemiliknya Loeana Kanginnandhi kepada beberapa orang pemilik yaitu Agus Wijaya, Anton Wirawan, PT Step Up Solusi Indonesia, Frans Lismanax, dan PT Putra Mas Agung yang tidak memiliki hubungan hukum dengan pemohon yakni Putra Mas Agung juga hendak di eksekusi paksa oleh PN Denpasar.

Edward mengatakan dalam putusan 143 PN Denpasar dalam amar putusan berikutnya juga dengan penetapan eksekusi dan berita acara tidak singkron karena PN Denpasar memberikan penafsiran sendiri terhadap amar putusan 143 tersebut, sehingga itu juga sebagai perbuatan melanggar hukum yang dilakukan PN Denpasar, oleh karena itu pihaknya dalam hal ini menolak eksekusi tersebut.

Seharusnya perlawanan terhadap eksekusi yang dilakukan diproses hukum terlebih dahulu sebelum hendak melakukan eksekusi. Pada kasus ini ada kesan dipaksakan demi kepentingan-kepentingan tertentu, karena ini perampasan terhadap hak.

"Kami sudah mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Denpasar, Polresta Denpasar, dan Polda Bali pada 22 Januari dan surat keberatan itu telah dijawab Ketua PT Denpasar pada 25 Januari kemarin," ujarnya.

Edward serta berbagai pihak memandang dalam kasus dan eksekusi ini menilai banyak kejanggalan seperti perlawanan pemilik tanah yang sah tidak diproses, adanya amar putusan pengadilan yang berbeda dengan penetapan eksekusi, berita acara eksekusi yang artinya proses eksekusi mengacu pada amar putusan nomor 143 dari PN Denpasar.

Dalam surat jawaban keberatan yang diajukan, Edward menerangkan jika Kepala Pengadilan Tinggi Denpasar juga menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi harus mengacu pada amar putusan pengadilan yang memiliki amar putusan tetap, tidak boleh ditambah, dirubah ataupun dikurangi.(I020)

Pewarta:

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016