Tabanan (Antara Bali) - Petani Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali, menerapkan sistem pertanian tumpang sari untuk menghindari kerugian gagal panen akibat terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan.
"Menghadapi musim kemarau seperti ini, tidak bisa mengandalkan satu jenis tanaman saja. Kalau satu tanaman saja dan gagal, habislah nanti tak punya modal untuk bertani lagi," ujar Wayan Sumerta, petani asal Dusun Bangah, Desa Baturiti, Kabupaten Tabanan, Kamis.
Misalnya tanaman cabai, kalau kekurangan air pada musim kering yang panjang, maka daunnya menjadi keriting dan pertumbuhan terhambat. Salah-salah tanaman cabai mengering, sehingga sudah bisa dipastikan tidak dapat diselamatkan lagi.
Untuk mengantisipasinya, maka kalau musim kemarau berkepanjangan tiba, petani lebih memilih bertani tumpang sari. Tanaman utama adalah tomat dan cabai. Di sela-sela tanaman utama, ditanami sayur hijau dan di pinggir tegalan diisi dengan bunga pacar.
Dikatakan Sumerta, modal bertani tergolong besar, sekitar Rp5 juta untuk lahan seluas 20 are. Modal itu digunakan membeli bibit tanaman, pupuk kimia dan membayar ongkos buruh yang membantu bertani.
"Kalau gagal panen, tentu uang modal Rp5 juta itu melayang. Makanya agar kegagalan panen tidak terlalu dirasakan, petani pun memilih bertumpang sari," ujar dia.
Kalau berhasil dengan maksimal, tanaman cabai dan tomat pada lahan bisa menghasilkan masing-masing satu ton. Meski demikian, kalau berbarengan dengan panen raya di Kintamani, bisa-bisa membuat harga panen menjadi anjlok.
Ketika musim anjlok, cabai bisa hanya dihargai Rp3 ribu perkilogram. Namun kalau harga bagus harga cabai bisa mencapai Rp15 ribu/kg. Harga tomat kisarannya Rp5 ribu - Rp8 ribu per kilogramnya.
Justru ketika panen berhasil, petani bisa menangguk hasil yang memuaskan. Pada lahan seluas 20 are dengan modal Rp5 juta, bisa menghasilkan Rp20 juta dalam tempo lima bulan.
Mengenai penggunaan pupuk, Sumerta mengakui sampai sekarang petani tidak bisa lepas bahan kimia. Lahan pertanian yang dimiliki keluarganya terlanjur `manja` dan kalau tanaman tidak diberi pupuk kimia, maka hasil panen tidak maksimal.
"Padahal rata-rata petani memiliki ternak sapi. Tapi entah kenapa, kalau menggunakan pupuk organik, hasil panen tidak sebagus dengan penggunaan pupuk kimia. Tapi penggunaan pupuk itu penunjang saja. Kalau musim kemarau berkepanjangan, biar dipupuk kimia, tentu tanaman tetap mengering karena kurang air," ucap dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Menghadapi musim kemarau seperti ini, tidak bisa mengandalkan satu jenis tanaman saja. Kalau satu tanaman saja dan gagal, habislah nanti tak punya modal untuk bertani lagi," ujar Wayan Sumerta, petani asal Dusun Bangah, Desa Baturiti, Kabupaten Tabanan, Kamis.
Misalnya tanaman cabai, kalau kekurangan air pada musim kering yang panjang, maka daunnya menjadi keriting dan pertumbuhan terhambat. Salah-salah tanaman cabai mengering, sehingga sudah bisa dipastikan tidak dapat diselamatkan lagi.
Untuk mengantisipasinya, maka kalau musim kemarau berkepanjangan tiba, petani lebih memilih bertani tumpang sari. Tanaman utama adalah tomat dan cabai. Di sela-sela tanaman utama, ditanami sayur hijau dan di pinggir tegalan diisi dengan bunga pacar.
Dikatakan Sumerta, modal bertani tergolong besar, sekitar Rp5 juta untuk lahan seluas 20 are. Modal itu digunakan membeli bibit tanaman, pupuk kimia dan membayar ongkos buruh yang membantu bertani.
"Kalau gagal panen, tentu uang modal Rp5 juta itu melayang. Makanya agar kegagalan panen tidak terlalu dirasakan, petani pun memilih bertumpang sari," ujar dia.
Kalau berhasil dengan maksimal, tanaman cabai dan tomat pada lahan bisa menghasilkan masing-masing satu ton. Meski demikian, kalau berbarengan dengan panen raya di Kintamani, bisa-bisa membuat harga panen menjadi anjlok.
Ketika musim anjlok, cabai bisa hanya dihargai Rp3 ribu perkilogram. Namun kalau harga bagus harga cabai bisa mencapai Rp15 ribu/kg. Harga tomat kisarannya Rp5 ribu - Rp8 ribu per kilogramnya.
Justru ketika panen berhasil, petani bisa menangguk hasil yang memuaskan. Pada lahan seluas 20 are dengan modal Rp5 juta, bisa menghasilkan Rp20 juta dalam tempo lima bulan.
Mengenai penggunaan pupuk, Sumerta mengakui sampai sekarang petani tidak bisa lepas bahan kimia. Lahan pertanian yang dimiliki keluarganya terlanjur `manja` dan kalau tanaman tidak diberi pupuk kimia, maka hasil panen tidak maksimal.
"Padahal rata-rata petani memiliki ternak sapi. Tapi entah kenapa, kalau menggunakan pupuk organik, hasil panen tidak sebagus dengan penggunaan pupuk kimia. Tapi penggunaan pupuk itu penunjang saja. Kalau musim kemarau berkepanjangan, biar dipupuk kimia, tentu tanaman tetap mengering karena kurang air," ucap dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016