Sleman (Antara Bali) - Rumah dome yang merupakan rumah tahan gempa di
Dusun Nglepen, Sumberharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, tidak sesuai dengan iklim di Indonesia, kata pakar gempa
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Sarwidi.
"Masyarakat yang tinggal di rumah dome agar rajin-rajin melakukan penambalan temboknya," kata Sarwidi di Sleman, Minggu.
Menurut dia, rumah dome sumbangan dari Jepang tersebut sebenarnya untuk "emergency" (darurat) pascagempa besar 2006.
"Dulu rumah warga roboh terkena gempa. Tapi, kalau untuk jangka panjangnya tidak cocok," katanya.
Ia mengatakan rumah dome tersebut cocoknya dibangun di daerah panas tidak ada hujan, atau di kutub.
"Iklim yang tidak cocok. Harusnya tidak ada panas atau hujan. Misal itu cocoknya di daerah es. Untuk itulah masyarakat yang tinggal di sana agar rajin melakukan penambalan. Pada tembok-temboknya yang sering retak karena panas," katanya.
Sarwidi mengatakan tidak hanya itu saja, kelemahan rumah Dome tersebut juga bisa mengalami perembesan air ketika hujan.
"Dalam budaya masyarakat kita, dengan bentuk rumah yang setengah lingkaran itu, juga sulit mencari tepi-tepinya. Kalau misal, mencari kunci di tepi tembok. Tepinya di mana?," katanya.
Rumah Dome tersebut merupakan bantuan dari donatur luar negeri untuk korban gempa 2006. Selain digunakan untuk tinggal, saat ini rumah tersebut juga sebagai objek wisata.
Kasi Observasi Stasiun Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Bambang Subagyo mengatakan rumah tahan gempa bisa dibuat dengan memperkuat tulang-tulangnya.
"Rumah-rumah dengan tulang-tulang kuat tersebut sudah banyak berdiri di Bantul. Daerah yang cukup rawan jika terjadi gempa. Dulu jarang, tapi sekarang sudah banyak yang memakai tulang kuat," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Masyarakat yang tinggal di rumah dome agar rajin-rajin melakukan penambalan temboknya," kata Sarwidi di Sleman, Minggu.
Menurut dia, rumah dome sumbangan dari Jepang tersebut sebenarnya untuk "emergency" (darurat) pascagempa besar 2006.
"Dulu rumah warga roboh terkena gempa. Tapi, kalau untuk jangka panjangnya tidak cocok," katanya.
Ia mengatakan rumah dome tersebut cocoknya dibangun di daerah panas tidak ada hujan, atau di kutub.
"Iklim yang tidak cocok. Harusnya tidak ada panas atau hujan. Misal itu cocoknya di daerah es. Untuk itulah masyarakat yang tinggal di sana agar rajin melakukan penambalan. Pada tembok-temboknya yang sering retak karena panas," katanya.
Sarwidi mengatakan tidak hanya itu saja, kelemahan rumah Dome tersebut juga bisa mengalami perembesan air ketika hujan.
"Dalam budaya masyarakat kita, dengan bentuk rumah yang setengah lingkaran itu, juga sulit mencari tepi-tepinya. Kalau misal, mencari kunci di tepi tembok. Tepinya di mana?," katanya.
Rumah Dome tersebut merupakan bantuan dari donatur luar negeri untuk korban gempa 2006. Selain digunakan untuk tinggal, saat ini rumah tersebut juga sebagai objek wisata.
Kasi Observasi Stasiun Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Bambang Subagyo mengatakan rumah tahan gempa bisa dibuat dengan memperkuat tulang-tulangnya.
"Rumah-rumah dengan tulang-tulang kuat tersebut sudah banyak berdiri di Bantul. Daerah yang cukup rawan jika terjadi gempa. Dulu jarang, tapi sekarang sudah banyak yang memakai tulang kuat," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016