Kawasan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, Bali, menjadi primadona karena diincar para investor untuk membangun kawasan pariwisata terpadu.

Namun, sampai saat ini, di tengah masyarakat masih ada gejolak antara yang mendukung dan menolak investor tersebut. Bahkan, berbagai kekhawatiran masyarakat muncul jika kawasan Teluk Benoa itu direklamasi mencapai 800 hektare akan berpengaruh terhadap pesisir pantai, terutama pesisir bagian selatan terjadi abrasi cukup parah.

Di balik rencana reklamasi atau revitalisasi di Teluk Benoa yang menjadi incaran sedikitnya tiga investor tersebut belum ada kejelasan, apa jadi direklamasi atau tidak. Itu adalah sebuah catatan dari pemerintah dan instansi terkait mengenai amdal dan perizinan lainnya hingga di pengujung tahun 2015.

Dalam memuluskan lahan yang akan direklamsi tersebut pemilik kelompok usaha Artha Graha Tomy Winata sekaligus investor PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) mempertanyakan penolakan sejumlah pihak terkait dengan revitalisasi Teluk Benoa, padahal proyek tersebut untuk membangun pariwisata Bali.

"Kalau proyek ini batal, silakan. Akan tetapi, saya minta keadilan, saya menantang masyarakat dan LSM untuk moratorium seluruh proyek yang belum memiliki izin perubahan peruntukan kawasan di sekitar Bali, terutama di Tanjung Benoa dan Teluk Benoa juga dimoratorium atau yang sudah telanjur dibangun dirobohkan," kata Tomy Winata kepada wartawan di Jakarta, beberapa bulan lalu.

Jika memang perlu dilakukan moratorium, Pria yang akrab disapa TW itu menyatakan siap, asalkan semuanya dimoratorium. Jangan hanya proyek revitalisasi atau reklamasi Tanjung Benoa saja.

Menurut dia, Bali butuh pembangunan pariwisata untuk mengimbangi negara-negara tetangga yang gencar membangun pariwisatanya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Bahkan, Tomy khawatir di balik penolakan tersebut ada campur tangan asing yang tidak ingin pariwisata Bali maju. Alasannya, kemajuan Bali akan menarik wisatawan untuk berkunjung dan menjadi pesaing bagi dunia pariwisata di negara lain.

Ia menambahkan bahwa sebelumnya dirinya juga pernah menggarap proyek reklamasi di Pantai Kuta, Bali, seluas 4,5 hektare untuk dikembangkan menjadi hotel dan vila.

"Pada saat itu tidak ada pihak yang menolak, berbeda dengan sekarang, proyek belum apa-apa, tetapi sudah ada kendala opini, ini soal rasa keadilan bagi investor yang telah mengeluarkan banyak dana," katanya.

Dari nilai total proyek yang mencapai Rp30 triliun, PT TWBI diperkirakan telah membelanjakan sekitar Rp1 triliun untuk ongkos konsultan, uji lapangan, dan uji kelayakan.

Sementara itu, berdasarkan data TWBI, setidaknya ada 61 bangunan yang menyalahi izin kawasan. Bahkan, ada yang membuang limbah di sekitar kawasan mangrove.

Sementara itu, Komite II DPD RI berharap pemerintah terus hadir pada pembangunan daerah yang sesuai dengan aturan perundangan guna meningkatkan potensi ekonomi dan kesejahteraan rakyat di Indonesia, termasuk rencana revitalisasi kawasan Teluk Benoa, Bali.

"Kami harapkan pemerintah dapat mendorong pembangunan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk di pesisir Pulau Bali, yang sesuai dengan aturan perundangan," kata Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta.

Menurut Parlindungan, dalam pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil, agar pemerintah selalu hadir dan investor memenuhi persyaratan, khususnya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Pemerintah melalui kementerian terkait, seperti Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kemenhut-LH), menurut dia, agar melanjutkan kajian Amdal di Teluk Benoa secara independen sehingga pengembangan kawasan tersebut jangan sampai merugikan masyarakat.

Komite II DPD RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah, investor, dan perwakilan masyararakat, menyusul pro dan kontra pengembangan kawasan Teluk Benoa Bali.

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad pada RDP tersebut menjelaskan rencana revitalisasi Teluk Benoa Bali sudah memenuhi seluruh prosedur dan sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.

"Pengembang yang akan melakukan revitalisasi Teluk Benoa melalui reklamasi, sudah memiliki izin lokasi dari Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan pada bulan Agustus 2014," kata Sudirman Saad.

Menurut dia, izin lokasi revitaliasi Teluk Benoa diterbitkan setelah adanya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tababan).

Sebelumnya, kata dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan belum menerbitkan izin lokasi untuk revitalisasi Teluk Benoa yang diusulkan oleh Pengembang PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang diusulkan pada tahun 2013.

"Rencana revitalisasi Teluk Benoa sudah memenuhi semua prosedur sesuai dengan aturan perundangan. Hambatan yang masih dihadapi adalah izin lingkungan dari masyarakat dan izin amdal," katanya.

Anggota DPRD Bali Nyoman Suyasa menyebutkan salah satu poin terpenting dari Perpres No. 51/2014 adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektare.

Aturan yang ditetapkan 30 Mei 2014 tersebut merevisi Perpres No. 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Sarbagita yang memasukkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan.

Aturan tersebut juga mengubah kawasan konservasi pulau kecil dari seluruh Pulau Serangan dan Pudut menjadi sebagian Pulau Serangan dan Pudut.

Dalam aturan tersebut, juga menghapus besaran luas Taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam. Dalam aturan sebelumnya ditetapkan secara spesifik luas Taman Hutan Raya Ngurah Rai, yaitu seluas 1.375 hektare.

Anggota DPRD Provinsi Bali masih menunggu kajian dari akademis dan instansi terkait untuk rencana reklamasi Teluk Benoa karena rencana proyek tersebut saat ini menimbulkan pro dan kontra.

"Soal rencana reklamasi Teluk Benoa yang berada di sebelah timur tol di atas perairan tersebut masih menunggu kajian akademis. Kami tidak berani bersikap dan memberikan kesimpulan untuk menolak maupun mendukung," kata anggota Komisi III DPRD Provinsi Bali itu.

Suyasa mengatakan bahwa pihaknya untuk menyikapi permasalahan tersebut harus ada kajian.

Tanpa berdasar, dia tidak berani berkomentar lebih lanjut. Namun, pada akhirnya dewan pasti akan memberi "statement" terhadap masalah itu.

"Kami harus mengkaji terlebih dahulu. Jangan buru-buru menolak proyek yang akan mereklamasi lahan yang mencapai 300 hektere," katanya.

Ia mengatakan bahwa pihak eksekutif mesti menyerap aspirasi rakyat Bali dan menyikapi adanya aspirasi untuk mendukung dan penolakan dari komponen masyarakat Bali atas rencana reklamasi itu.

"Jangan sampai reklamasi itu dipaksakan karena lebih banyak merugikan masyarakat. Jangan berpikir reklamasi dan pembangunan sarana akomodasi pariwisata semata. Mari serap dan dengarkan aspirasi rakyat Bali dan mari bersama-sama berbesar hati. Hentikan saja rencana reklamasi itu karena lebih banyak merugikan masyarakat Bali," ucapnya.

Suyasa meminta segenap komponen masyarakat paham kepentingan-kepentingan pemodal besar di balik rencana reklamasi itu karena reklamasi laut hanya untuk kepentingan bisnis, bukan pelestarian lingkungan.

"Kita memang harus berpikir dinamis, tetapi struktur lingkungan dan budaya Bali jangan berubah secara fundamental," katanya.

Pemda Harus Bersikap

Pemerintah daerah beserta instansi terkait seharusnya membuat penjabaran tentang kawasan suci dalam petunjuk teknis dan pelaksanaan dalam menyikapi keberadaan kawasan Teluk Benoa.

"Tentu dalam pelaksanaan teknis dan petunjuk pelaksanaan yang melibatkan peran warga yang bertanggung jawab terhadap kawasan suci tersebut (pura)," kata Sugi Lanus dari Hanacara Society pada diskusi terkait menyikapi Teluk Benoa di Denpasar.

Ia mengharapkan pemerintah dan instansi terkait dalam proses tersebut memetakan seluruh kawasan suci di Bali dan penyusunan petunjuk teknis serta lakukan sosialisasi, dan warga Pulau Dewata harus berani melakukan moratorium.

"Masa moratorium adalah masa membuat konsensus kembali, mendata, memetakan, dan menata kembali arah dan visi kepariwisataan secara sektor lainnya, sehingga Bali memiliki kejelasan peta kawasan yang berintegrasi dengan pengembangan kawasan dan pembangunan ke depan," ujarnya.

Sugi Lanus mengatakan bahwa aksi nyata pemetaan bukan hanya berhenti di atas kertas, melainkan menjadi konsensus dan panduan bersama seluruh rakyat Bali untuk menjaga kedaulatan pangan, air, dan energi Pulau Dewata pada masa depan.

Sementara itu, Manajer Program Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Bali Made Iwan Dewantama mengatakan bahwa tata kelola pesisir Bali harus sejalan dengan konsep laut dan gunung dan keberadaan pura kahyangan.

"Masyarakat Bali harus bersatu untuk mewujudkan Bali yang damai. Ole karena itu, segala bentuk persoalan harus dilakukan penyikapan secara hati-hati, termasuk juga menyikapi masalah kontroversial Teluk Benoa itu," katanya.

Ia menyebutkan dari segi perairan, Bali memiliki potensi yang sangat kaya, baik dari alamnya yang ada di daratan maupun di laut.

"Karena itulah wisatawan datang ke Bali. Tidak semata-mata untuk mencari objek wisata modern. Pasalnya, di negara mereka sudah jauh lebih modern daripada kita yang baru akan mewacanakan membangun. Pariwisata Bali berpatokan pada pariwisata budaya, bukan pariwisata modern semata," katanya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015