Tabanan (Antara Bali) - Kunjungan wisatawan mancanegara ke Museum Keramik di Banjar Simpangan, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, belakangan menurun, akibat pengaruh kejadian teror di Paris, Prancis, beberapa waktu lalu.

"Sebelumnya kunjungan wisman setiap hari rata-rata 15-40 orang per hari. Setelah kejadian ledakan teror di Paris itu, jumlah tamu museum langsung menurun secara drastis," kata I Wayan Sudayasa, penanggung jawab Tanteri Museum of Ceramic Art, Rabu.

Dikatakannya, tamu yang datang ke museum berasal dari berbagai negara, memang bertujuan untuk melihat koleksi benda-benda keramik yang berasal dari berbagai zaman. Koleksi di museum yang kini berjumlah 5.000 buah keramik, merupakan benda peninggalan Pejaten Kuno, Tiongkok, Thailand, zaman VOC (sekitar abad 16), serta beberapa kerajaan di Jawa Timur.

Museum, lanjut Sudayasa, dipersiapkan untuk berdiri sejak tahun 2010. Baru pada tahun 2014, museum "launching" sehingga wisatawan maupun masyarakat setempat bisa melihat hasil karya keramik dari generasi ke generasi di Pejaten, serta beberapa koleksi dari luar Pejaten.

Koleksi dari Pejaten, sebelumnya tidak berwujud keramik. Beberapa tahun silam, penduduk Pejaten dikenal sebagai ahli pembuat gerabah. Produk-produk rumah tangga semacam gentong, piring makan, wadah beras dan lainnya karya penduduk Pejaten, dikenal luas hingga luar Tabanan. Genteng dari Pejaten, hingga kini malah masih diakui sebagai atap berkualitas terbaik di Bali.

Peralihan dari gerabah ke keramik, terjadi pada tahun 1980-an, ketika warga mulai menyadari tanah di daerah Pejaten yang menjadi bahan baku, lama-lama bisa tergerus habis. Pembuatan gerabah memang membutuhkan banyak bahan bahan baku karena ukurannya besar-besar.

"Akhirnya warga perlahan beralih membuat keramik. Selain ukurannya kecil-kecil, keramik juga lebih bernilai secara ekonomis.

Sekarang keramik produk Pejaten mulai menembus pasar perhotelan di wilayah, Bali, hingga kota-besar di Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri," ujar dia.

Perjalanan karya penduduk Pejaten, mulai dari gerabah hingga keramik, inilah yang diabadikan dalam museum supaya generasi mendatang bisa melihat dan menyaksikan langsung bagaimana proses kreatif dari leluhur di masa lalu.

Jika wisatawan ingin membeli produk keramik, ada "workshop" di samping museum yang menjual berbagai macam bentuk keramik dengan bentuk-bentuk menarik, dengan harga antara Rp15 ribu - Rp5 juta per unit.

Wisatawan pun dapat leluasa melihat langsung proses pembuatan keramik, mulai dari pembentukan, dekorasi, penjemuran, pembakaran tahap pertama sekitar lima jam dengan suhu 500 - 800 derajat Celcius. Keramik selanjutnya diglasir dengan teknik pelukisan, penyemprotan atau pencelukan. Setelah itu, baru dilakukan pembakaran yang berlangsung selama 10 jam dengan suhu 1000 - 1500 derajat Celcius, barulah produk keramik siap dikirimkan kepada pemesan.

"Kami harap ke depan, kunjungan di museum berjalan normal seperti sebelum kejadian teror di Paris, sehingga turut berkontribusi mengangkat perekonomian warga Pejaten yang mayoritas memang menggantungkan kehidupan pada keramik," ucap Sudayasa. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani dan I Made Surya

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015