Hong Kong (Antara Bali) - Menteri Pariwisata Arief Yahya menekankan kebijakan bebas visa bukan penyebab maraknya kejahatan lintas batas yang dilakukan Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia.

"Begini, maraknya kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh WNA itu lebih disebabkan kurangnya penegakkan hukum di Indonesia. Bukan karena bebas visanya. Tidak ada bebas visa pun kejahatan transnasional seperti narkoba oleh warga asing sudah marak," katanya, dalam obrolan dengan Antara dalam kunjungannya ke Hong Kong, 14-15 Desember 2015.

Arief menuturkan,"Jika penegakkan hukum kita tegas, walaupun seorang WNA masuk menggunakan fasilitas bebas visa, dia juga tidak akan berani macam-macam di Indonesia. Kita akan dihormati siapapun jika hukum kita tegak. Kalau masih bisa disogok sana sini, ya akhirnya mereka (WNA-red) leluasa melakukan kejahatannya di Indonesia,".

Dicontohkannya, Indonesia tegas menindak kapal-kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal di wilayah perairan Indonesia. "Akhirnya, kan banyak kapal-kapal asing yang berpikir dua kali untuk masuk perairan Indonesia, untuk melakukan kegiatan ilegal".

"Jadi, masalah utama disini adalah masih belum tegaknya hukum di Indonesia, bukan pada kebijakan bebas visanya. Yakin lah kita akan dihormati jika penegakkan hukum kita tegas. Mereka tidak akan berani macam-macam di Indonesia meskipun mereka masuk menggunakan bebas visa, karena mereka tahu hukum di Indonesia sangat tegas. Ini harusnya yang dilakukan, penegakkan hukum," kata Arief menegaskan.

Tentang kemungkinan bebas visa dievaluasi kembali pelaksanaannya, mengingat kesiapan sistem hukum yang belum kuat dan tegas bertindak, Menpar mengatakan,"bebas visa tetap dijalankan, sambil dilakukan pembenahan hukum. Itu bukan hal yang sulit jika kita semua komtmen untuk itu,".

Terkait Pemerintah Tiongkok yang belum mau menerapkan bebas visa bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin melancong ke Negeri Panda tersebut, Menpar mengatakan,"bebas visa harus dilihat dari dua sisi. Sisi keuntungan dan prinsip timbal balik, dengan negara penerima bebas visa dari Indonesia. Ini sisi politisnya,".

"Untuk pariwisata, lebih penting prinsip keuntungan atau benefit. Mengapa, karena dengan bebas visa akan banyak turis datang ke Indonesia, termasuk turis Tiongkok. Uang yang mereka keluarkan di Indonesia, itu kan pemasukan bagi negara, sebagian malah langsung masuk ke rakyat," tutur Arief.

Jika Tiongkok belum mau memberikan bebas visa kepada WNI, lanjut dia, itu juga keuntungan bagi Indonesia.

"Jumlah turis Indonesia ke Tiongkok, tidak akan sebanyak turis mereka ke Indonesia. Artinya tidak banyak uang Indonesia yang masuk ke Tiongkok, sebaliknya dengan bebas visa yang kita berikan, banyak uang turis Tiongkok yang masuk ke Indonesia. Begitu melihatnya, memang sebaiknya ada prinsip timbal balik, namun untuk pariwisata prinsip keuntungan lebih baik daripada prinsip timbal balik," kata Menpar.

Berdasar Perpres 104/2015 Pemerintah RI menambah jumlah negara Bebas Visa Kunjungan (BVK) hingga menjadi 90 negara, termasuk Tiongkok dan Daerah Administrasi Khusus (SAR) Hong Kong. Kebijakan BVK diproyeksikan akan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2016 sebanyak satu juta orang, dengan devisa satu miliar dolar AS.

Pewarta: Pewarta: Rini Utami

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015