Gubernur Bali Made Mangku Pastika berulang kali mengungkapkan seberapapun banyaknya vaksin antirabies (VAR) yang disiapkan pemerintah tidak akan mampu membebaskan Bali dari rabies, jika ternyata masyarakat masih kurang baik dalam memelihara hewan peliharaannya.

Apalagi diprediksi total jumlah populasi anjing di Pulau Dewata saat ini lebih dari 400 ribu ekor, dan tidak sedikit merupakan anjing liar atau memang sengaja diliarkan oleh pemiliknya.

"Yang dipelihara dengan baik, saya kira sekitar 100 ribu ekor," ucap Pastika.

Maka tidak salah kalau dia terpaksa menginstruksikan untuk dilakukan eliminasi terhadap anjing-anjing liar.

Meskipun tindakan eliminasi tersebut mendapat banyak protes dari kalangan lembaga swadaya masyarakat internasional yang mengklaim diri sebagai penyayang binatang, Pastika mengaku tak gentar. Bahkan dia balik menantang LSM yang mempersoalkan tindakan eliminasi itu.

"Kalau mau, sudahlah jangan banyak omong, bantu kami, tangkap anjing yang berkeliaran, vaksin, dan dipelihara," kata orang nomor satu di Bali itu.

Menurut dia, banyaknya protes dari pihak-pihak di luar negeri, karena mereka menggunakan ukuran di Eropa. Padahal kondisinya jauh berbeda dengan di Pulau Dewata, karena di sana tidak ada anjing yang berkeliaran dan semuanya dipelihara dengan baik dan divaksin.

Selain itu, ucap Pastika, biaya untuk mengobati satu gigitan anjing pada manusia juga cukup tinggi, yakni hampir Rp1 juta untuk memberikan empat kali suntikan vaksin antirabies (VAR) dan suntikan antitetanus dengan intensitas per hari rata-rata 125 gigitan. Di samping itu, Biofarma selaku produsen VAR juga memproduksi secara terbatas.

"Memang tidak mudah menanggulangi rabies, bukan saya mencari alasan, tetapi harus ditanggulangi karena nyawa manusia lebih berharga daripada nyawa anjing itu," ujarnya.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali mencatat hingga saat ini kasus anjing yang terdeteksi positif rabies sudah ditemukan pada 244 desa. Selama 2015 hingga awal Oktober saja, di Bali sudah tercatat 15 orang meninggal karena rabies.

"Desa yang positif rabies itu tersebar di 52 kecamatan, atau dengan kata lain hanya lima kecamatan di Bali yang sama sekali belum ditemukan kasus rabiesnya," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Putu Sumantra.

Aturan Adat

Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi Bali I Nyoman Partha mengusulkan pada Gubernur Made Mangku Pastika agar membuat surat edaran untuk "desa pakraman" atau desa adat terkait ketentuan penanganan rabies dalam "perarem" atau kesepakatan adat tertulis maupun dalam "awig-awig" atau atau aturan adat tertulis.

"Kami mengusulkan dalam menangani rabies ini, selain dengan usaha eliminasi anjing juga dengan mengedukasi masyarakat," kata Partha.

Pihaknya berpandangan selama ini usaha edukasi terkait rabies kepada masyarakat masih sangat minim, terutama yang terpenting tentang cara memelihara anjing yang baik, maupun penanganan terhadap luka bekas gigitan anjing.

Menurut politisi dari Gianyar itu, selama ini dalam "awig-awig" sudah berisi pengaturan tentang hewan peliharaan seperti sapi dan babi. Namun, kini seharusnya aturan pemeliharaan anjing juga masuk dalam aturan adat.

"Jika tidak ada kesadaran dari masyarakat, maka berapapun anggaran yang dialokasikan untuk penyediaan vaksin anti-rabies (VAR) akan habis, tetapi kasus rabies tetap sulit untuk ditekan," ujar Partha.

Hal senada disampaikan oleh Kadis Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Putu Sumantra. Selama ini kendala yang paling besar itu adalah meminta kesadaran masyarakat agar anjingnya mau divaksin, atau dieliminasi ketika tidak bisa divaksin.

"Karena memang setelah kami pelajari, sesungguhnya penanganan rabies hanya lewat dua cara, yakni dengan membuat anjing kebal sehingga tidak terkena virus rabies. Jika tidak bisa dibuat kebal dengan cara eliminasi," ucapnya.

Menurut dia, bagi anjing yang sudah positif rabies, akan mubazir juga jika dilakukan vaksinasi, sehingga satu-satunya cara yang dilakukan adalah lewat upaya eliminasi.

"Kami cukup bersyukur, sekarang ketika ada kasus, masyarakat sudah mulai mau agar anjingnya dieliminasi. Ya tetapi itu belum optimal, sekarang ayo kita tingkatkan. Apalagi jika ada awig-awig yang mencantumkan itu, sehingga pemeliharaan anjing menjadi semakin tertib," ujarnya.

Khususnya pada beberapa desa yang sudah memiliki aturan adat mengenai rabies, tambah Sumantra, petugas sudah tidak menghadapi tantangan lagi dari masyarakat ketika akan mengeliminasi anjing liar maupun anjing yang diliarkan oleh pemiliknya. Bahkan kesadaran masyarakat juga meningkat untuk memelihara anjing dengan baik.

Desa-desa yang sudah memasukkan aturan rabies dalam "perarem" di antaranya baru Desa Adat Riang Gede dan Desa Sudimara di Tabanan, Desa Batukandik di Nusa Penida Klungkung, Desa Bebandem di Karangasem, serta desa di Gerokgak, Buleleng dan sebagainya.

Sepanjang 2015 ini pihaknya juga sudah memvaksin anjing di Bali sebanyak 299.526 ekor dan mengeliminasi 22.081 anjing.

Zona Merah

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya mengatakan semua kabupaten/kota di Pulau Dewata saat ini sudah masuk dalam zona merah kasus rabies.

"Kriteria zona merah itu adalah ketika ada banyak anjing yang positif rabies dan itu sudah terdeteksi oleh Dinas Peternakan," ujarnya.

Untuk jumlah gigitan anjing sendiri saat ini rata-rata mencapai 100-110 per hari, ada sedikit penurunan dibandingkan sebelumnya sekitar 120-130 gigitan. Selain menyandang zona merah, hingga saat ini kasus rabies di Bali juga masih dalam posisi Kejadian Luar Biasa (KLB).

"Posisi KLB itu sudah sejak 2008 dan belum dicabut sampai sekarang," ucapnya.

Oleh karena itu, Suarjaya sangat mengharapkan semuanya dapat berperan aktif untuk mengatasi rabies dan yang terpenting upaya tersebut dapat dimulai dari hulu (masyarakat).

"Kalau saja 716 desa di sembilan kabupaten/kota di Bali ini semuanya aktif membuat awig-awig dan perarem untuk sama-sama mengendalikan anjing, tentu akan sangat cepat Bali bebas rabies," ujarnya

Menurut dia, untuk pembuatan perarem maupun awig-awig tersebut dapat menggunakan acuan Perda Provinsi Bali No 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies.

Sementara itu, Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali meminta jajaran pemprov setempat dapat menyosialisasikan lebih luas kepada masyarakat terkait isi Perda Penanggulangan Rabies tersebut.

"Kami minta agar Perda Rabies lebih disosialisasikan lagi karena jelas di sana ada sanksi bagi warga masyarakat jika tidak memelihara anjing dengan mengandangkan atau diikat," kata Ketua MUDP Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha.

Pihaknya sudah menyiapkan diri untuk membantu pemerintah dalam penanggulangan rabies ini, sehingga diharapkan setiap desa pakraman untuk menyelipkan dalam awig-awig. Apalagi, kata Suwena, pada umumnya dalam "awig-awig" selalu berisi ketentuan mengenai hal-hal yang menyangkut binatang yang harus dipelihara masyarakat.

"Tetapi memang terkait anjing tidak diatur secara komprehensif maupun tegas. Di sinilah perlu perarem untuk mempertegas itu. Seharusnya anjing tidak boleh dipelihara jika tidak benar-benar dijaga, dikandangkan atau diikat," kata pimpinan tertinggi lembaga adat di Bali itu.

Suwena mengaku sudah pula menyosialisasikan pentingnya aturan adat terkait penanggulangan rabies kepada pihak desa pakraman di berbagai wilayah di Bali. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015