Ketekunan, keuletan, ketelitian dan kesabaran tanpa mengenal putus asa merupakan modal utama I Nengah Padet (74), seorang seniman ukir kelahiran Banjar Sidem Bunut, Keluruhan Cembaga, Kabupaten Bangli, 31 Desember 1941 itu.

Mengukir telur burung Kasuari maupun telur burung unta dengan mengambil cuplikan cerita Ramayana atau Baratha Yudha, merupakan salah satu keahlian yang dimiliki, disamping keterampilan mengukir gading gajah dan kayu.

Sosok pria yang tidak pernah menikmati pendidikan formal itu, memang keturunan seniman. Sejak umur 12 tahun, mempunyai kesenangan dalam bidang mengukir sudah tumbuh dan kesenangan itu dikembangkan dengan belajar mengukir dari seniman handal yang membinanya I Ketut Lebah, yang lokasinya tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya.

Atas ketekunan dan keahlian dalam bidang seni ukir mampu menghasilkan berbagai jenis cinderamata yang tergolong unik, menarik dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, sehingga mampu menambah pendapatan keluarga.

Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam bidang seni ukir itu sosok Nengah Pedet menerima anugrah Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-57 Pemprov Bali, 14 Agustus 2015.

Ia merupakan salah seorang dari sembilan seniman Pulau Dewata yang menerima Satya Lencana Dharma Kusuma berupa emas seberat 20 gram dengan kadar 23 karat menyerupai ornamen Siwa Nataraja lambang Pesta Kesenian Bali (PKB), sekaligus kebesaran seni budaya Bali yang diserahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.

I Nengah Padet, pria berusia senja yang masih enerjik itu pernah mengalami masa kejayaan sekitar tahun 2000, di mana menerima banyak pesanan dari sejumlah pedagang cindermata, disamping konsumen yang langsung datang ke rumahnya.

"Saat itu pesanan sampai tidak dapat dipenuhi, karena proses pengerjaan membutuhkan waktu paling tidak seminggu untuk sebuah ukiran telur," ujar Nengah Padet yang berangkat dari keterampilan mengukir batok kelapa.

Suami dari Nengah Mendri itu juga dikenal sebagai pengukir gading dan karyanya menjadi koleksi antara lain Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm), Prof Dr Ida Bagus Oka (alm), keduanya mantan gubernur Bali.

Selain itu juga pernah mengukir gading memenuhi pesanan Prof Dr I Made Bandem, mantan rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan mantan Rektor ISI Yogyakarta disamping pesanan dari sejumlah pejabat lainnya.

Karya seni yang unik dan menarik itu tidak hanya dipesan oleh konsumen dalam negeri, namun juga memenuhi pesanan pencinta benda unik dan antik dari Swiss atas nama Regeweds Beat.

Selain itu juga pernah mengajar mengukir telur kepada Nabuko, seorang warga negara Jepang saat berliburan ke Bali hingga akhirnya beberapa kali datang lagi ke Pulau Dewata untuk mendalami jenis keterampilan tersebut.

Keterampilan mengukir telur dan gading itu juga berhasil diwariskan kepada salah seorang putranya I Nyoman Buda dan sejumlah masyarakat sekitarnya.

Pasaran Ekspor

I Nengah Padet lewat karya-karya seni ukirnya mampu menembus pasaran ekspor maupun yang dibeli oleh wisatawan mancanegara saat menikmati liburan di Pulau Dewata, dinilai mempunyai dampak sangat luas terhadap pengembangan seni dan budaya Bali.

Sosok pria yang berpenampilan lugu itu dengan senang hati mengajar anak-anak dalam bidang ukir, dengan harapan mampu mencetak kader-kader penerus, pewaris seni budaya Bali yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke Bali.

Ukiran telur, gading dan kayu merupakan bagian dari puluhan jenis matadagangan hasil industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang berkembang di Bali dan hasil sentuhan tangan-tangan terampil itu mampu menembus pasaran ekspor, sekaligus meningkatkan perolehan devisa.

Ia merupakan salah seorang dari ratusan dan ribuan manusia Bali yang dinilai sangat kreatif menciptakan aneka barang seni yang mempunyai daya saing tinggi di pasaran luar negeri, berkat keunikan dan kekhasannya.

Kerajinan kayu khususnya patung memang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perolehan ekspor non migas.

Sosok I Nengah Padet dan putranya I Nyoman Buda yang kesehariannya bergelut dengan alat ukir "temutik" maupun telur, gading dan kayu yang diubahnya menjadi benda seni mengaku tidak pernah menghitung, entah berapa ratus bahkan ribuan ukiran telur, gading dan kayu yang berhasil dirampungkan.

Sebagian karya seni hasil sentuhannya itu menjadi koleksi perorangan di dalam dan luar negeri, bahkan sampai ke Tiongkok, Jepang dan Belanda, karena sejumlah konsumen negara itu pernah memesannya secara khusus.

Namun demikian dalam mengukir telur sering kesulitan bahan baku, karena burung kasuari termasuk salah satu binatang yang dilindungi undang-undang. Kebanyakan telur yang diperolehnya dalam kondisi rusak yang tidak bisa ditetaskan.

Telur raksasa itu biasanya ada yang membawakan dalam kondisi sudah diawetkan, yakni seluruh isinya sudah dihilangkan, sehingga tahan dalam waktu yang sangat lama, ujarnya. (APP)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015