Pengakuan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak di Bali menjadi warisan budaya dunia.
Kondisi demikian menuntut adanya organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) untuk tetap dapat dilestarikan dan dijaga kesinambungannya dengan membangun subak abadi (sawah lestari).
Sawah abadi itu tidak hanya dibangun pada 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia (WBD).
Subak abadi itu juga perlu dibangun atau dikembangkan oleh delapan kabupaten dan satu kota lainnya di Bali sebagai upaya menyelamatkan subak, menyediakan udara yang bersih, segar, dan menghindari alih fungsi lahan pertanian yang belakangan ini tidak terkendali, tutur Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia.
Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 66 tahun yang silam yang pernah menjabat Sekretaris Tim Penyusunan Proposal Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak di Bali yang telah diputuskan UNESCO, 29 Juni 2012, menjelaskan bahwa subak adalah suatu sistem irigasi di Bali sekaligus salah satu dari sistem irigasi tradisional tertua di dunia.
Subak mulai diakui eksistensinya oleh raja-raja di Bali pada tahun 1071. Hingga kini, masih tetap eksis di kalangan petani. Sistem subak pada hakekatnya merupakan simbol dari implementasi harmoni dan kebersamaan, yang dalam bahasa Bali Kuno disebut Tri Hita Karana (THK), hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Artinya, kalau ingin hidup bahagia, harus membangun harmoni dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Konsep tersebut memang universal. Namun, hanya di Bali ada sebuah lembaga bernama subak, yang menerapkan THK dalam kehidupan organisasinya.
Oleh sebab itu, dalam pengakuan UNESCO terhadap subak (29 Juni 2012), disebutkan sebagai "Cultural Heritage of Bali Province: Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy".
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, kekuatan subak ada pada kemampuannya untuk membangun sistem harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan organisasi atau dapat diterjemahkan sebagai penjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam lingkungan yang lebih luas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu berkat adanya iklim harmoni dan kebersamaan sehingga nyaris tidak pernah terdengar adanya konflik antarsubak, atau antaranggota subak. Mengapa? Karena sistem irigasinya telah ditata sedemikian rupa agar para anggota subak bisa saling pinjam air irigasi, dan juga saling pinjam air irigasi antarsubak.
Kebutuhan petani yang paling esensial adalah air irigasi. Kalau sistem pengelolaan air irigasi sudah mampu diatur, ditata, dan dikendalikan, organisasi itu akan berjalan dengan baik.
Ditambah lagi, dengan adanya aktivitas kultural dan spiritual pada sistem subak tersebut, ikatan harmoni dan kebersamaan pada anggota subak akan semakin solid. Mengapa demikian? Karena subak diikat oleh ikatan fisik dan spiritual.
Banyak Peneliti Tertarik
Profesor Windia menjelaskan bahwa kearifan lokal yang dimiliki organisasi subak yang demikian itu membuat relatif banyak peneliti mancanegara tertarik pada nilai-nilai yang diimplemantasikan pada sistem subak.
Peneliti itu, di antaranya Cliford Geertz dan Stefen Lansing. Di sampung peneliti subak warga negara asing itu, juga peneliti warga Indonesia yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Misalnya, dari Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (PB), Universitas Andalas Universitas Indonesia dan Universitas Udayana.
Bahkan, Institute for Peace and Democracy Universitas Udayana selalu didorong oleh Kementerian Luar Negeri untuk melakukan kajian tentang subak sebagai wujud pelaksanaan demokrasi yang paling hakiki.
Diyakini bahwa kalau sudah terjadi harmoni dan kebersamaan, itulah sejatinya wujud demokratisasi yang sesungguhnya. Subak sejatinya adalah bagian dari sistem keteladanan, yang bisa dan harus menjadi acuan bagi elite dan sistem sosial politik di Indonesia.
Subak tidak saja mampu menghasilkan bahan makanan, memproduksi oksigen, menampung air berlebih untuk mencagah banjir, manghasilkan pemandangan yang memukau, dan sebagai media aktivitas kultural. Namun, subak diakui mampu memberikan keteladanan tentang penerapan nilai-nilai persatuan dan kesatuan atas dasar harmoni dan kebersamaan.
Oleh karena itu, kalau subak hancur, kebudayaan Bali juga akan hancur, dan ketahanan nasional juga akan melemah. Mengapa? Karena sistem ketahanan nasional tidak lagi memiliki referensi kutural, sebagai acuan tradisi yang berakar dari masyarakat bawah (grass root).
Harmoni-kebersamaan dan persatuan-kesatuan telah dibuktikan berhasil dalam memenangi perang kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga sosio-kultural yang memiliki nilai-nilai mendasar dan hakiki, seperti halnya subak, sangat perlu mendapatkan perhatian, perkuatan, dan pemberdayaan dari pemerintah.
"Jangan dibiarkan dia menyendiri, dalam era golbalisasi yang penuh dengan napas Barat. Kalau hal itu yang terjadi, subak akan segera mati," tegas mantan anggota DPR RI pada pemerintahan orde baru.
Di Bali saat ini luas sawah telah terkonversi sekitar 1.000 hektare per tahun. Sawah yang masih ada di Bali sekitar 81.000 hektare. Relatif banyak subak di Bali sudah lenyap karena sudah tidak ada sawah.
Berkurangnya luas sawah sebesar itu, menandakan bahwa Bali telah kehilangan beras sekitar 6.000 ton/tahun. Sementara itu, penduduk Bali terus meningkat, bahkan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tumbuh 4--5 persen/tahun.
Penduduk Bali tercatat hampir empat juta jiwa, sementara turis yang datang ke Bali, misalnya pada tahun 2014 sebanyak 3,76 juta orang. Mereka memerlukan makan, minum, dan ingin selalu melihat pemandangan alam yang teduh.
Semua itu kini sudah tidak lagi dapat dilayani dan dipenuhi oleh alam Bali. Alam Bali sudah rusak berat, ditandai dengan kemacetan lalu lintas di mana-mana, intrusi air laut, banjir, tindak pidana, dan danau terkontaminasi.
Jadi, rusaknya sawah dan subak di Bali, tidak saja berpengaruh pada ketersediaan bahan makanan, pemandangan alam, dan media kultural. Namun, juga berpengaruh pada makin berkurangnya minat wisatawan asing datang ke Pulau Dewata.
Akan tetapi, yang paling mahapenting adalah semakin berkurangnya referensi tentang keteladanan, demokratisasi, harmoni-kebersamaan, dan persatuan-kesatuan bangsa. Semua itu sejatinya adalah nilai-nilai yang merupakan tulang punggung jati diri bangsa Indonesia.
"Rusaknya sawah dan subak di Bali tampaknya akan berpengaruh nyata pada eksistensi kebudayaan Bali, dan ketahanan nasional Indonesia," ujar Prof. Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Kondisi demikian menuntut adanya organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) untuk tetap dapat dilestarikan dan dijaga kesinambungannya dengan membangun subak abadi (sawah lestari).
Sawah abadi itu tidak hanya dibangun pada 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia (WBD).
Subak abadi itu juga perlu dibangun atau dikembangkan oleh delapan kabupaten dan satu kota lainnya di Bali sebagai upaya menyelamatkan subak, menyediakan udara yang bersih, segar, dan menghindari alih fungsi lahan pertanian yang belakangan ini tidak terkendali, tutur Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia.
Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 66 tahun yang silam yang pernah menjabat Sekretaris Tim Penyusunan Proposal Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak di Bali yang telah diputuskan UNESCO, 29 Juni 2012, menjelaskan bahwa subak adalah suatu sistem irigasi di Bali sekaligus salah satu dari sistem irigasi tradisional tertua di dunia.
Subak mulai diakui eksistensinya oleh raja-raja di Bali pada tahun 1071. Hingga kini, masih tetap eksis di kalangan petani. Sistem subak pada hakekatnya merupakan simbol dari implementasi harmoni dan kebersamaan, yang dalam bahasa Bali Kuno disebut Tri Hita Karana (THK), hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Artinya, kalau ingin hidup bahagia, harus membangun harmoni dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Konsep tersebut memang universal. Namun, hanya di Bali ada sebuah lembaga bernama subak, yang menerapkan THK dalam kehidupan organisasinya.
Oleh sebab itu, dalam pengakuan UNESCO terhadap subak (29 Juni 2012), disebutkan sebagai "Cultural Heritage of Bali Province: Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy".
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, kekuatan subak ada pada kemampuannya untuk membangun sistem harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan organisasi atau dapat diterjemahkan sebagai penjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam lingkungan yang lebih luas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu berkat adanya iklim harmoni dan kebersamaan sehingga nyaris tidak pernah terdengar adanya konflik antarsubak, atau antaranggota subak. Mengapa? Karena sistem irigasinya telah ditata sedemikian rupa agar para anggota subak bisa saling pinjam air irigasi, dan juga saling pinjam air irigasi antarsubak.
Kebutuhan petani yang paling esensial adalah air irigasi. Kalau sistem pengelolaan air irigasi sudah mampu diatur, ditata, dan dikendalikan, organisasi itu akan berjalan dengan baik.
Ditambah lagi, dengan adanya aktivitas kultural dan spiritual pada sistem subak tersebut, ikatan harmoni dan kebersamaan pada anggota subak akan semakin solid. Mengapa demikian? Karena subak diikat oleh ikatan fisik dan spiritual.
Banyak Peneliti Tertarik
Profesor Windia menjelaskan bahwa kearifan lokal yang dimiliki organisasi subak yang demikian itu membuat relatif banyak peneliti mancanegara tertarik pada nilai-nilai yang diimplemantasikan pada sistem subak.
Peneliti itu, di antaranya Cliford Geertz dan Stefen Lansing. Di sampung peneliti subak warga negara asing itu, juga peneliti warga Indonesia yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Misalnya, dari Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (PB), Universitas Andalas Universitas Indonesia dan Universitas Udayana.
Bahkan, Institute for Peace and Democracy Universitas Udayana selalu didorong oleh Kementerian Luar Negeri untuk melakukan kajian tentang subak sebagai wujud pelaksanaan demokrasi yang paling hakiki.
Diyakini bahwa kalau sudah terjadi harmoni dan kebersamaan, itulah sejatinya wujud demokratisasi yang sesungguhnya. Subak sejatinya adalah bagian dari sistem keteladanan, yang bisa dan harus menjadi acuan bagi elite dan sistem sosial politik di Indonesia.
Subak tidak saja mampu menghasilkan bahan makanan, memproduksi oksigen, menampung air berlebih untuk mencagah banjir, manghasilkan pemandangan yang memukau, dan sebagai media aktivitas kultural. Namun, subak diakui mampu memberikan keteladanan tentang penerapan nilai-nilai persatuan dan kesatuan atas dasar harmoni dan kebersamaan.
Oleh karena itu, kalau subak hancur, kebudayaan Bali juga akan hancur, dan ketahanan nasional juga akan melemah. Mengapa? Karena sistem ketahanan nasional tidak lagi memiliki referensi kutural, sebagai acuan tradisi yang berakar dari masyarakat bawah (grass root).
Harmoni-kebersamaan dan persatuan-kesatuan telah dibuktikan berhasil dalam memenangi perang kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga sosio-kultural yang memiliki nilai-nilai mendasar dan hakiki, seperti halnya subak, sangat perlu mendapatkan perhatian, perkuatan, dan pemberdayaan dari pemerintah.
"Jangan dibiarkan dia menyendiri, dalam era golbalisasi yang penuh dengan napas Barat. Kalau hal itu yang terjadi, subak akan segera mati," tegas mantan anggota DPR RI pada pemerintahan orde baru.
Di Bali saat ini luas sawah telah terkonversi sekitar 1.000 hektare per tahun. Sawah yang masih ada di Bali sekitar 81.000 hektare. Relatif banyak subak di Bali sudah lenyap karena sudah tidak ada sawah.
Berkurangnya luas sawah sebesar itu, menandakan bahwa Bali telah kehilangan beras sekitar 6.000 ton/tahun. Sementara itu, penduduk Bali terus meningkat, bahkan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tumbuh 4--5 persen/tahun.
Penduduk Bali tercatat hampir empat juta jiwa, sementara turis yang datang ke Bali, misalnya pada tahun 2014 sebanyak 3,76 juta orang. Mereka memerlukan makan, minum, dan ingin selalu melihat pemandangan alam yang teduh.
Semua itu kini sudah tidak lagi dapat dilayani dan dipenuhi oleh alam Bali. Alam Bali sudah rusak berat, ditandai dengan kemacetan lalu lintas di mana-mana, intrusi air laut, banjir, tindak pidana, dan danau terkontaminasi.
Jadi, rusaknya sawah dan subak di Bali, tidak saja berpengaruh pada ketersediaan bahan makanan, pemandangan alam, dan media kultural. Namun, juga berpengaruh pada makin berkurangnya minat wisatawan asing datang ke Pulau Dewata.
Akan tetapi, yang paling mahapenting adalah semakin berkurangnya referensi tentang keteladanan, demokratisasi, harmoni-kebersamaan, dan persatuan-kesatuan bangsa. Semua itu sejatinya adalah nilai-nilai yang merupakan tulang punggung jati diri bangsa Indonesia.
"Rusaknya sawah dan subak di Bali tampaknya akan berpengaruh nyata pada eksistensi kebudayaan Bali, dan ketahanan nasional Indonesia," ujar Prof. Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015