Semerbak wangi bunga dan dupa di tengah dentingan suara dupa menyebar dalam lingkungan desa adat (pekraman) di delapan kabupaten dan satu kota di Pulau Bali.

Puja-pujian sang pendeta maupun jero mangku yang memimpin kegiatan ritual itu diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan) serta tembang-tembang kekidung dan warga sari yang berlangsung secara khidmat di 1.480 desa adat (pekraman) Pulau Dewata.

Kegiatan ritual melibatkan seluruh warga masyarakat mulai anak-anak, dewasa, hingga orang tua berlangsung secara berjenjang, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkatan rumah tangga, yang berakhir Jumat (20/3) sore.

"Kegiatan untuk tingkat Provinsi Bali dipusatkan di Penataran Agung Pura Besakih, Kabupaten Karangasem yang diikuti utusan dari seluruh kabupaten/kota dan kecamatan di daerah ini," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana.

Ritual Tawur Kesanga di pura terbesar di Pulau Dewata itu menggunakan kelengkapan sejumlah binatang kurban yang sehari sebelumnya telah disucikan (Mapepada).

Kegiatan yang melibatkan ribuan umat dari seluruh pelosok Pulau Dewata itu diwarnai dengan persembahyangan bersama yang berlangsung mulai pagi hari. Masing-masing kecamatan mengirim utusan untuk mencari air suci (tirta) guna selanjutnya dibagikan kepada seluruh umat di wilayahnya masing-masing.

Selesai di Pura Besakih kegiatan serupa dilanjutkan ke tingkat kabupaten/kota dengan tingkatan yang lebih kecil yang disebut "Panca Kelud Bhuana" atau sesuai dengan kemampuan masing-masing kabupaten/kota.

Kegiatan itu melibatkan seluruh warga masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang diharapkan sudah selesai sebelum pukul 12.00 WITA, tepat matahari di atas kepala.

Perempatan Agung

Kegiatan serupa di masing-masing kabupaten/kota di Bali dilaksanakan di Kawasan Catus Pata (Perempatan Agung) yang lalu lintasnya telah ditutup sejak persiapan sehari sebelumnya.

Untuk Kabupaten Badung, daerah terkaya di Bali yang bersumber dari pajak hotel dan restoran (PHR) menggelar ritual Tawur Kesanga di Catus Pata, Desa Adat Mengwi.

Kepala Dinas Dishubkominfo Kabupaten Badung I Wayan Weda Dharmaja mengatakan bahwa untuk kelancaran ritual tersebut, lalu lintas di jalur tersebut terpaksa dialihkan sementara.

Ada tiga sisi kawasan yang arus lalu lintas yang diubah, mulai dari utara, yakni simpang tiga Banjar Sayan dialihkan ke timur--Baha--Gulingan--Penarungan--Lukluk. Untuk simpang tiga Banjar Denkayu Delodan dialihkan ke timur, yaitu ke kawasan jalan Banjar Paku Aji--Gulingan--Penarungan--Lukluk.

Dari barat, di simpang empat Pasar Mengwi dialihkan ke utara, yakni menuju Banjar Denkayu Delodan--Banjar Paku Aji--Gulingan--Penarungan. Di sisi Timur, yakni simpang tiga Banjar Tengah Gulingan dialihkan ke selatan menuju Beringkit.

Untuk simpang empat Banjar Angkep Canging yang menuju ke Singaraja dialihkan ke Utara menuju Baha--Banjar Sayan. Arus lalu lintas dari simpang empat Banjar Sedahan, Jalan Sandat dialihkan ke selatan menuju Banjar Batu Lumbung--Beringkit, sementara simpang empat Taman Ayun dialihkan ke timur menuju Gulingan--Penarungan.

Ritual Tawur Agung Kesanga itu diawali dengan menyucikan sarana, termasuk binatang suci (Mepepada) sebagai kelengkapan korban suci (caru) yang dipimpin Ida Padanda Gde Kekeran dari Gria Bajing, Klungkung, Kamis (19/3).

Ritual "Mepepada" bertujuan menyucikan sarana dan keperluan ritual untuk melengkapi Tawur Agung Kesanga. Kelengkapannya binatang suci berupa kerbau, bateng, kambing, anjing bang bungkem, kucit butuan, angsa, dan itik blang kalung.

Usai ritual Mepepada, sarana binatang tersebut dipotong oleh masyarakat Desa Apat, yang lokasinya di sekitar kegiatan ritual tersebut. Masyarakat setempat mendapat tugas untuk menyiapkan sarana dan prasarana ritual tersebut.

Binatang suci yang dipotong itu selanjutnya diolah untuk kelengkapan ritual Tawur Kesanga. Ritual itu bertujuan membersihkan alam semesta dengan harapan kehidupan masyarakat aman, nyaman, damai, dan sejahtera.

Ritual serupa di tingkat kecamatan menggunakan upakara "Caru Panca Sanak", dilanjutkan di tingkat desa/kelurahan dengan menggunakan upakara "Caru Panca Sata", serta di tingkat banjar menggunakan upakara "Caru Eka Sata".

Kegiatan tersebut berakhir pada tingkatan rumah tangga pada sore hari dengan menggunakan banten "Sakasidan", dan segehan agung cacahan 11/33 tanding.

Sucikan Alam Semesta

Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi menjelaskan bahwa kegiatan ritual Tawur Kesanga yang dilakukan secara berjenjang sehari penuh itu mengandung makna untuk menyucikan alam semesta dan isinya serta meningkatkan hubungan yang keharmonisan dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan (Tri Hita Karana).

Dengan demikian, kehidupan manusia menjadi tenteram dan damai, hidup harmonis, berdampingan satu sama lainnya, terhindar dari konflik.

Ritual tawur kesanga dan rangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 itu sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan majelis tertinggi umat Hindu kepada seluruh desa pekraman (adat) di Pulau Dewata.

Meskipun demikian, pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan "desa, kala, patra, yakni tempat, waktu, dan keadaan. Setelah rangkaian tawur kesanga itu berakhir pada tingkat rumah tangga pada sere hari dilanjutkan dengan kegiatan "ngerupuk".

Dalam kegiatan "ngerupuk" itu di masing-masing rumah tangga juga melakukan kegiatan ritual skala kecil berupa menyalakan api dari daun kelapa kering (danyuh) dan membunyikan kulkul.

Kegiatan "Ngerupuk" itu di Bali dalam beberapa tahun terakhir identik dengan arak-arakan ogoh-ogoh karena hampir di setiap desa adat yang jumlahnya 1.480 buah itu membuat ogoh-ogoh.

Desa adat yang terdiri atas beberapa banjar itu membuat ogoh-ogoh antara satu sampai lima buah sehingga pada malam "pengrupukan" itu dimeriahkan dengan ribuan ogoh-ogoh, satu sama lainnya berusaha menampilkan yang terbaik.

Sosok raksasa berwajah menyeramkan, bertaring, mata melotot, lidah menjulur, dan perut buncit dengan rambut gimbal awut-awutan turun ke bumi menguasai Pulau Dewata pada malam Pengrupukan, sehari menjelang Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937.

Boneka raksasa ada yang berukuran tinggi 3,5--5 meter dan lebar 2 meter itu diarak keliling banjar, desa dengan iringan instrumen musik gong blaganjur yang sudah harus berakhir sebelum tengah malam.

"Makhluk dunia ahirat" menyerupai bentuk "bhutakala" itu, sejalan dengan makna hari "Ngerupuk", yakni mengusir roh jahat dan menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" untuk menyeimbangkan buana agung (alam semesta) dan buana alit (manusia)

"Ogoh-ogoh, karya seni yang bernilai mahal itu setelah diarak seyogianya dibakar (lebur) sehingga dunia beserta isinya diharapkan kembali bersih dan bebas dari segala gangguan makhluk maupun roh jahat," tutur Ketut Sumadi.

Dengan demikian, keesokan harinya, Sabtu (21/3), umat Hindu dapat melaksanakan ibadah tapa beratha penyepian dengan baik. Empat pantangan itu meliputi tidak bekerja atau melakukan kegiatan (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang, atau hura-hura (amati Lelanguan).

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015