Sosok raksasa bertaring, melotot, lidah menjulur dan perut buncit dengan rambut gimbal awut-awutan turun ke bumi menguasai Pulau Dewata pada malam Pengrupukan Jumat (20/3), sehari menjelang Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937.

Boneka raksasa dengan tinggi 3,5 sampai lima meter dan lebar dua meter itu merupakan salah satu dari ratusan bahkan ribuan ogoh-ogoh mirip sejenis boneka ondel-ondel di Jakarta, diarak keliling banjar, desa dan kota di Bali pada petang hingga malam peralihan tahun saka dari 1936 ke tahun baru saka 1937.

"Mahluk dunia ahirat" menyerupai bentuk "bhutakala" itu, sejalan dengan makna hari "Ngerupuk" yakni mengusir roh jahat, menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yaitu roh atau makluk khasat mata.

"Ogoh-ogoh itu setelah diarak seyogyanya dibakar (lebur) sehingga dunia beserta isinya diharapkan kembali bersih dan bebas dari segala gangguan makluk maupun roh jahat," tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.

Anak-anak muda yang tergabung dalam wadah Sekaa Teruna-Teruni maupun sesama rekannya dalam satu pemukiman, atau desa adat (pekraman) di Bali secara gotong-royong membuat ogoh-ogoh dan berlomba menampilkan yang terbaik, unik dan menarik.

Biayanya yang mencapai jutaan rupiah mereka urun secara gotong royong, bahkan secara khusus membentuk kepanitiaan yang bertugas menggali dana dengan cara minta sumbangan kepada warga sekitarnya.

Dana yang terkumpul itu mereka gunakan untuk membeli bahan ogoh-ogoh maupun baju kaos seragam yang digunakan pada saat arak-arakan.

Ratusan ogoh-ogoh sejak pagi hari sudah berjejer di sepanjang jalan di Kota Denpasar dan sekitarnya, setelah dikeluarkan dari balai banjar, tempat karya seni itu dibuat, sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas.

Sebagian ogoh-ogoh itu ada yang dilengkapi dengan roda yang diatur sedemikian rupa, sehingga tidak begitu banyak menghabiskan energi dalam menempuh rute yang akan dilalui.

Meskipun dilengkapi dengan roda, kelompok anak-anak remaja itu sudah mengantisipasinya untuk mudah diangkat guna digotong kembali untuk ditarikan mengikuti alunan irama musik gong blaganjur yang mengiringinya.

Sementara beberapa ogoh-ogoh yang akan diarak setingkat anak-anak sekolah dasar (SD) yang tidak diiringi gong blaganjur dilengkapi dengan pelantang dengan suara yang keras.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana sejak dini telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada 1.480 desa pekraman di daerah ini agar melakukan koordinasi pengamanan dengan desa adat sekitarnya dan pihak kepolisian setempat mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Polda Bali sendiri jauh sebelumnya telah memetakan daerah yang rawan terjadi gangguan keamanan pada malam Pengerupukan ketika berlangsungnya tradisi mengarak ogoh-ogoh.

Dengan pemetaan sejumlah kerawanan dan ancaman yang kemungkinan terjadi menerjunkan petugas pengamanan, disamping berkoordinasi dengan petugas keamanan desa adat masing-masing.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Komisaris Besar Hery Wiyanto menjelaskan, pengamanan prioritas akan dilakukan oleh satuan wilayah di sembilan kabupaten/kota di Pulau Dewata yang didukung oleh petugas dari Polda Bali.

Dukungan dari Polda Bali dilaksanakan oleh petugas Pengendalian Massa (Dalmas), Brimob dan Polisi Lalu Lintas untuk pengamanan rute-rute arak-arakan ogoh-ogoh.

Seluruh polres sudah memetakan kawasan rawan di masing-masing wilayah hukumnnya.

Awalnya sederhana

Ogoh-ogoh yang dibuat generasi muda Bali itu awalnya sangat sederhana yang dikerjakan dalam lingkungan desa adat, menggunakan bahan lokal apa adanya, baik dalam bentuk maupun penampilan, yang akhirnya terus berkembang.

Perkembangan kreativitas anak-anak muda itu diawali sekitar tahun 1989, saat Pesta Kesenian Bali (PKB), kegiatan tahunan seniman Pulau Dewata menampilkan arak-arakan ogoh-ogoh.

Kenyataan itu oleh beberapa seniman memberikan inspirasi untuk mengembangkan peluang bisnis, karena tidak semua anak-anak muda di banjar sempat membuat ogoh-ogoh yang membutuhkan waktu cukup lama.

Semangat dan darah seni itu terus berkembang pada anak muda di kota Denpasar, Kabupaten Badung dan tujuh kabupaten lainnya di daerah ini dalam pembuatan ogoh-ogoh, untuk diarak sehari menjelang hari suci Nyepi.

Pada malam penggrupukan kali ini 1.480 desa adat di Bali, baik di kota maupun pedesaan mengarak ogoh-ogoh keliling desa masing-masing.

Ketut Sumadi mengharapkan, pawai ogoh-ogoh pada malam pengrupukan itu ke depannya dapat dialihkan untuk memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar setiap tahun pada bulan Juni.

Hal itu atas pertimbangan arak-arakan hasil kreativitas anak-anak muda itu sangat rawan terjadi bentrok antar-pengusung ogoh-ogoh yang memicu terjadinya bentrok warga antar-banjar.

Pertimbangan pengalihan waktu itu juga didasarkan atas rasa, karena pawai ogoh-ogoh yang dilakukan secara meriah, identik dengan menghibur diri untuk bersenang-senang. Padahal saat itu umat Hindu mulai bersiap-siap melaksanakan Tapa Beratha Penyepian, empat pantangan, salah satunya di antaranya amati lelanguan yakni tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan atau bersenang-senang.

Tiga pantangan lainnya meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan) dan amati lelungan (tidak bepergian).

Pengalihan pawai ogoh-ogoh dari malam penggrupukan Nyepi sekaligus untuk menambah kesemarakan PKB, karena tidak akan mengurangi arti dan makna malam pengrupukan.

"Rangkaian kegiatan ritual untuk tingkat rumah tangga atau desa adat tetap dilaksanakan seperti selama ini, termasuk diantaranya yang disebut `mebiu-biu` pada waktu sandikala (petang hari) dengan sarana berupa sesajen, api dayuh (daun kelapa kering), air suci dan suara kulkul," tuturnya.

Dengan kegiatan ritual di tingkat rumah tangga yang sederhana seperti itu, seluruh anggota keluarga siap-siap untuk melaksanakan Tapa Beratha Penyepian.

Jika pawai ogoh-ogoh selama ini terkesan menonjolkan kesenangan untuk menghibur diri, sehingga kurang pas, karena keesokan harinya melaksanakan empat pantangan dengan mengurung diri dalam rumah, ujar Ketut Sumadi. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015