Kehidupan yang sunyi senyap bagai pulau mati tanpa penghuni saat umat Hindu di Bali merayakan Hari Suci Nyepi, bertepatan dengan tibanya tahun saka (caka) yang dirayakan sekali dalam setahun.

Pada hari yang sangat istimewa itu, kali ini jatuh pada hari Sabtu, 21 Maret 2015, masyarakat Hindu di Pulau Dewata melarang segala aktivitas warga, baik di dalam maupun luar rumah, termasuk semua jenis siaran, baik televisi maupun radio.

Oleh sebab itu, seluruh lembaga penyiaran di Bali sepakat menghentikan sementara siaran selama 24 jam saat umat Hindu melaksanakan Tapa Bratha Penyepian, yakni empat pantangan yang meliputi tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang, atau hura-hura (amati lelanguan).

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bali I Nengah Muliarta mengatakan bahwa kesepakatan dan komitmen seluruh stasiun penyiaran, baik televisi maupun radio itu merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan kearifan lokal Pulau Dewata.

Hal lain yang tidak kalah penting merupakan bentuk kepedulian atas upaya penghematan penggunaan energi atau konservasi energi yang belakangan ini persediaannya makin terbatas.

Komitmen bersama itu diharapkan menjadi sebuah contoh bahwa industri penyiaran mampu mewujudkan sebuah industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sehingga tidak hanya mementingkan aspek bisnis, tetapi juga tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Komitmen tersebut menjadi bukti bahwa lembaga penyiaran di Pulau Dewata tidak hanya menyuarakan konsep Tri Hita Karana, tetapi juga terlibat dalam mengimplementasikan konsep tersebut dalam berbisnis.

Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa itu menjadikan lembaga penyiaran telah mampu menempatkan nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam berbisnis.

Kondisi demikian sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terutama Pasal 5 poin b yang menyebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.

Demikian pula, dalam hubunganya antarmanusia, lembaga penyiaran telah memberikan penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat, termasuk penghormatan terhadap hak pegawai atau karyawan untuk beristirahat.

Demikian pula, dalam hubunganya dengan lingkungan, lembaga penyiaran terlibat mampu mengurangi emisi gas buang yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan berdampak pada pemanasan global.

Padahal, penghentian siaran selama satu hari penuh itu pada dasarnya hanyalah seruan atau imbauan bagi lembaga penyiaran. Namun, komitmen bersama dalam melaksanakan memberikan dampak positif yang relatif cukup besar dalam menghadapi masalah krisis energi dan pemanasan global.

Banyak Penghematan

Hari Suci Nyepi di Bali identik dengan menghentikan seluruh aktivitas kehidupan selama satu hari penuh. Sebuah lembaga penyiaran memerlukan energi listrik yang relatif cukup besar untuk operasional kegiatannya tiap hari.

Demikian pula, jutaan pemirsa atau pendengar memerlukan energi listrik yang tidak sedikit untuk mampu mendengarkan pancaran siaran dari lembaga penyiaran tersebut. Bagi lembaga penyiaran, Nyepi siaran juga memiliki arti penghentian seluruh aktivitas siaran selama 24 jam.

Oleh sebab itu, menurut Nengah Muliarta, mematikan operasional pemancar stasiun siaran berarti tidak adanya penggunaan energi atau menghemat penggunaan energi. Dalam hal ini energi listrik dapat diibaratkan dengan api.

Dengan tidak menghidupkan pemancar memiliki arti ikut serta melakukan "amati geni" (tidak menyalakan api). Nyepi siaran juga bermakna menghentikan seluruh kegiatan peralatan dan manusia.

Dalam hal ini Nyepi siaran juga sejalan dengan pengertian "amati karya" atau tidak melakukan pekerjaan karena Nyepi siaran berarti seluruh karyawan lembaga penyiaran tidak pergi ke kantor atau tidak bepergian (amati lelungan).

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 4 Ayat (1), disebutkan bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan perekat sosial.

Dengan demikian, siaran saat hari suci Nyepi bertentangan dengan konsep "amati lelanguan" (tidak bersenang-senang/menikmati hiburan). Seberapa besar energi yang mampu dihemat oleh lembaga penyiaran dari kegiatan Nyepi siaran?

Jika dikalkulasi secara kasar saja, stasiun pemancar televisi di Bali umumnya menggunakan daya listrik sebesar 10--40 kilowatt per buah. Kalau rata-rata diambil 20 kilowatt dengan jumlah sasiun pemancar televisi yang ada sebanyak 20 buah, daya listrik yang terpakai mencapai 400 kilowatt.

Selain itu, di Pulau Dewata juga terdapat 54 lembaga penyiaran radio swasta dan publik yang menggunakan daya pancar sekitar 500--2.000 watt. Dengan menggunakan asumsi rata-rata daya pancar radio di Bali 1.000 watt, daya listrik yang digunakan lembaga sebesar 54.000 watt atau 54 kilowatt.

Lembaga penyiaran TV dan radio umumnya siaran selama 18 jam sehari meski ada yang selama 20--24 jam. Di Bali juga terdapat tiga radio komunitas dengan penggunaan daya listrik maksimal 50 watt. Radio komunitas itu secara aturan hanya bersiaran sekitar sepuluh jam.

Dengan demikian energi listrik yang digunakan lembaga penyiaran relatif cukup besar. Penghitungan itu baru penggunaan energi listrik untuk stasiun pemancar, belum termasuk penggunaan energi listrik untuk keperluan perkantoran sehingga energi listrik untuk keperluan operasional kantor lembaga penyiaran tentunya tidak sedikit.

Penggunaan energi itu mulai dari untuk lampu studio, ruang pendingin, komputer, dan peralatan sarana pendukung lainnya, ujar Nengah Muliarta. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015