Denpasar (Antara Bali) - Lembaga Bantuan Hukum LBH APIK Bali mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Pulau Dewata akhir ini semakin meningkat.
"Kalau dari pantauan kami, kekerasan tidak hanya marak di Kabupaten Jembrana, namun juga di beberapa kota lainnya di Bali, seperti di Kota Denpasar," kata Luh Anggreni dari LBH APIK di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi (kespro) dan UU Perlindungan Anak di kalangan siswa sekolah, menjadi penyebab maraknya kejahatan seksual terhadap anak. Ia menyebutkan dari 125 kasus terkait kekerasan perempuan dan anak di Polresta Denpasar, peringkat pertama adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian kasus kekerasan seksual terhadap anak di posisi kedua yang menunjukkan tren naik.
Munculnya kasus kekerasan seksual, kata Anggraeni, salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pemahaman diri mereka soal alat reproduksi dan kesehatan reporduksi. Dalam kasus kekerasan seksual anak di bawah umur di Bali, pelaku dan juga korban sebagian besar sama-sama remaja, yang melakukan hubungan seksual pra nikah.
Kasus itu, kata Anggraeni, sudah menjadi perhatian LBH APIK di Bali dan para aktivis nasional. Ini sudah dikategorikan isu besar dan wajib mendapat perhatian serius semua pihak. Kasus kekerasan seksual terhadap anak bawah umur juga bisa terjadi karena sikap sikap remaja yang permisif, anggap seks luar nikah sebagai hal yang biasa.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual terhadap anak, harus dimulai dari awal. Ada akses informasi tentang bahaya kekerasan seksual anak, informasi kesehatan reproduksi seksual, perangkat hukum yang mengikat seperti UU Perlindungan Anak, dan lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Kalau dari pantauan kami, kekerasan tidak hanya marak di Kabupaten Jembrana, namun juga di beberapa kota lainnya di Bali, seperti di Kota Denpasar," kata Luh Anggreni dari LBH APIK di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi (kespro) dan UU Perlindungan Anak di kalangan siswa sekolah, menjadi penyebab maraknya kejahatan seksual terhadap anak. Ia menyebutkan dari 125 kasus terkait kekerasan perempuan dan anak di Polresta Denpasar, peringkat pertama adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian kasus kekerasan seksual terhadap anak di posisi kedua yang menunjukkan tren naik.
Munculnya kasus kekerasan seksual, kata Anggraeni, salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pemahaman diri mereka soal alat reproduksi dan kesehatan reporduksi. Dalam kasus kekerasan seksual anak di bawah umur di Bali, pelaku dan juga korban sebagian besar sama-sama remaja, yang melakukan hubungan seksual pra nikah.
Kasus itu, kata Anggraeni, sudah menjadi perhatian LBH APIK di Bali dan para aktivis nasional. Ini sudah dikategorikan isu besar dan wajib mendapat perhatian serius semua pihak. Kasus kekerasan seksual terhadap anak bawah umur juga bisa terjadi karena sikap sikap remaja yang permisif, anggap seks luar nikah sebagai hal yang biasa.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual terhadap anak, harus dimulai dari awal. Ada akses informasi tentang bahaya kekerasan seksual anak, informasi kesehatan reproduksi seksual, perangkat hukum yang mengikat seperti UU Perlindungan Anak, dan lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015