Balikpapan (Antara Bali) - Para petambak kepiting berharap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengubah peraturan yang melarang spesies yang sedang bertelur.

Permen Nomor 1/2015 melarang penangkapan kepiting bakau (Scylla spp) yang lebar karapasnya kurang 15 cm, rajungan (Portunus pelagicus spp) yang karapasnya di bawah 10 cm, dan udang lobster (Panulirus spp) yang cangkangnya belum sampai 8 cm. Menangkap hewan yang sedang bertelur dari spesies tersebut juga dilarang.

"Kepiting dari tambak ini titipan dari restoran yang ada di Balikpapan dari pembelian sebelum aturan itu keluar. Tapi ini juga tak lama lagi akan habis karena tidak ada lagi bibit untuk dibesarkan," kata Rian, petambak di Kelurahan Gunung Tembak, Balikpapan Timur, Minggu (25/1).

Selain kepiting, Rian juga memelihara bandeng dan ikan mas, karena tidak ada lagi pasokan bibit kepiting bakau dari para perakang, sebutan untuk para nelayan penangkap kepiting, maka tidak ada lagi kepiting untuk dibesarkan di dalam keramba-keramba tambak.

"Para perakang takut dengan sanksi pidana yang menyertai aturan tersebut," kata Rian.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, pada pasal 31 ada ancaman pidana penjara hingga 3 tahun dan denda sampai Rp150 juta.

Menangkap hewan yang dilindungi itu dianggap kejahatan.

"Menangkap saja sudah pelanggaran, apalagi memperdagangkan," tegas Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Balikpapan Sitti Chadidjah.

Pasokan bibit dari alam itu sangat beragam, mulai dari berat 50 gram hingga 150 gram.

Menurut Rian, sebelum ada Permen Nomor 1/2015, dari tambaknya saja dihasilkan hingga 60 kg per hari.

Dengan harga kepiting per kg berkisar Rp100.000, ia mendapat Rp6 juta dari kepiting saja. Saat ini produksinya tinggal separuh, yaitu 30 kg per hari dan terus menurun.

Namun demikian, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Kepiting Balikpapan Alimuddin, kepiting yang enak dikonsumsi justru yang berada rata-rata di ukuran karapas 10 cm tersebut, karena itulah yang ramai diperdagangkan yang berada di ukuran itu.

"Kalau yang mencapai 15 cm seperti yang diatur Permen itu, selain susah ditemukan di alam, rasanya juga tidak seenak kepiting yang biasa ini," kata Alimuddin.

Alimuddin mengaku pernah menikmati kepiting sebesar itu dari hasil tangkapan di Timika, Papua.

Kepiting sebesar itu beratnya mencapai 1 kg per ekor. Harga olahannya sampai jadi masakan siap saji mencapai Rp350 ribu.

"Memang, kalau ukurannya sebesar itu, satu ekor sudah mencapai 1 kg, kalau ukuran 10 cm ada 3 atau 4 kepiting," kata Rudi Setiawan.

Selanjutnya, baik Rian, Rudi, maupun Alimuddin berharap kondisi ini tidak berlangsung lama dan pemerintah mau mengubah Permen tersebut sementara para petambak dengan dibantu pemerintah membuat panti benih kepiting untuk mengurangi tangkapan dari alam.

"Itu cara yang paling realistis," kata Rudi Setiawan.(WDY)

Pewarta: Oleh Novi Abdi

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015