Denpasar (Antara Bali) - Ketua Bali Coruption Watch (BCW) Bali, Ir Putu Wirata Dwikora menilai, tindakan korupsi di Indonesia menimbulkan dampak buruk yang sangat besar terhadap masalah hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya.
"Untuk itu mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih harus didukung adanya transparansi, penegakan hukum, akuntabilitas, sikap responsif dan adanya independensi," kata Ketua BCW Bali, Putu Wirata Dwikora di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, kasus korupsi terjadi umumnya akibat aspek transparansi yakni keterbukaan hanya berlaku sebagian, lebih banyak justru bersifat tertutup.
Dengan demikian masyarakat sulit mengakses informasi dan pelayanan kebijakan tertentu diputuskan secara sembunyi.
Demikian pula sikap tanggap masyarakat sangat lamban terhadap masalah di lapangan khususnya menyangkut rakyat kecil, namun sebaliknya pelayanan yang baik dan cepat diberikan terhadap orang berduit.
Putu Wirata Dwikora menjelaskan, akibat terjadinya kasus korupsi mengakibatkan penegakan aspek hukum menjadi tebang pilih, yakni "maling kecil masuk penjara maling besar jadi raja".
Selain penyelenggara negara cenderung menuntut fasilitas yang maksimal, dibebankan ke anggaran negara, sementara `fasilitas publik' yang dibutuhkan masyarakat banyak sering kali diabaikan.
Demikian pula anggaran rutin untuk gaji pegawai lebih besar dibanging anggaran pembangunan, ujar Putu Wirata Dwikora.
Akibat kasus korupsi pimpinan sering kali melempar tanggung jawab ke pejabat yang diberi delegasi, dengan kontrol yang sangat minim, sehingga bawahan hanya dijadikan "kambing hitam" dan korban.
Bahkan ketika suatu kebijakan mendapat reaksi dari masyarakat, aspek independensi pelayanan menjadi diskriminatif, mengutamakan yang memberi uang atau kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, ujar Putu Wirata Dwikora. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Untuk itu mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih harus didukung adanya transparansi, penegakan hukum, akuntabilitas, sikap responsif dan adanya independensi," kata Ketua BCW Bali, Putu Wirata Dwikora di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, kasus korupsi terjadi umumnya akibat aspek transparansi yakni keterbukaan hanya berlaku sebagian, lebih banyak justru bersifat tertutup.
Dengan demikian masyarakat sulit mengakses informasi dan pelayanan kebijakan tertentu diputuskan secara sembunyi.
Demikian pula sikap tanggap masyarakat sangat lamban terhadap masalah di lapangan khususnya menyangkut rakyat kecil, namun sebaliknya pelayanan yang baik dan cepat diberikan terhadap orang berduit.
Putu Wirata Dwikora menjelaskan, akibat terjadinya kasus korupsi mengakibatkan penegakan aspek hukum menjadi tebang pilih, yakni "maling kecil masuk penjara maling besar jadi raja".
Selain penyelenggara negara cenderung menuntut fasilitas yang maksimal, dibebankan ke anggaran negara, sementara `fasilitas publik' yang dibutuhkan masyarakat banyak sering kali diabaikan.
Demikian pula anggaran rutin untuk gaji pegawai lebih besar dibanging anggaran pembangunan, ujar Putu Wirata Dwikora.
Akibat kasus korupsi pimpinan sering kali melempar tanggung jawab ke pejabat yang diberi delegasi, dengan kontrol yang sangat minim, sehingga bawahan hanya dijadikan "kambing hitam" dan korban.
Bahkan ketika suatu kebijakan mendapat reaksi dari masyarakat, aspek independensi pelayanan menjadi diskriminatif, mengutamakan yang memberi uang atau kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, ujar Putu Wirata Dwikora. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014