Negara (Antara Bali) - Puluhan awak perahu tradisional di Desa Pengambengan, Kabupaten Jembrana ditangkap Satpol PP, karena tidak memiliki Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) sebagai warga pendatang.
"Rata-rata mereka berasal dari Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Setiap musim ikan di Desa Pengambengan, biasanya banyak pekerja dari penduduk pendatang," kata Kepala Seksi Ketertiban Umum, Kantor Satpol PP Jembrana, I Gede Nyoman Suda Asmara, yang memimpin operasi kependudukan, di Negara, Kamis.
Menurutnya, dari operasi di sejumlah rumah kos desa tersebut, pihaknya mendapati 37 penduduk pendatang tanpa SKTS, 14 diantaranya langsung dibawa ke Kantor Satpol PP, sementara sisanya hanya KTP nya dengan alasan buru-buru berangkat kerja.
Warga pendatang ini diminta menandatangani surat pernyataan sanggup mengurus SKTS, dan mengikuti aturan kependudukan di Kabupaten Jembrana.
"Ada juga beberapa orang yg hanya kami bawa KTP nya, karena buru-buru mau bekerja. Tapi mereka besok harus datang ke kantor," ujarnya.
Selain di Desa Pengambengan, dua penduduk pendatang juga diamankan dari Kelurahan Loloan Timur yang juga tidak memiliki SKTS.
"Kami juga melakukan operasi di beberapa hotel di Kecamatan Melaya, tapi tidak mendapatkan apa-apa," katanya.
Penduduk pendatang yang terjaring di Desa Pengambengan, rata-rata bekerja sebagai anak buah perahu tradisional, yang setiap panen tangkapan di laut biasanya pemilik perahu mencari anak buah hingga ke Jawa, karena disana kesulitan mendapatkannya.
Untuk mau dipekerjakan di perahu, mereka juga mendapatkan uang pengikat antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta, dengan perjanjian tidak akan kabur atau pindah ke perahu lain.
"Kalau hanya mencari di Pengambengan tidak akan mencukupi, satu perahu membutuhan anak buah 35 hingga 41 orang, sementara disini ada ratusan perahu," kata salah seorang warga, yang sering mencari anak buah perahu ke Jawa.
Karena hanya bekerja di perahu, menurutnya, mereka akan pulang saat ikan paceklik, yang belakangan sering terjadi di laut wilayah tersebut.
"Tidak ada yang tinggal sampai bertahun-tahun disini, bahkan sering hanya satu bulan bertahan lalu pulang," ujarnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Rata-rata mereka berasal dari Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Setiap musim ikan di Desa Pengambengan, biasanya banyak pekerja dari penduduk pendatang," kata Kepala Seksi Ketertiban Umum, Kantor Satpol PP Jembrana, I Gede Nyoman Suda Asmara, yang memimpin operasi kependudukan, di Negara, Kamis.
Menurutnya, dari operasi di sejumlah rumah kos desa tersebut, pihaknya mendapati 37 penduduk pendatang tanpa SKTS, 14 diantaranya langsung dibawa ke Kantor Satpol PP, sementara sisanya hanya KTP nya dengan alasan buru-buru berangkat kerja.
Warga pendatang ini diminta menandatangani surat pernyataan sanggup mengurus SKTS, dan mengikuti aturan kependudukan di Kabupaten Jembrana.
"Ada juga beberapa orang yg hanya kami bawa KTP nya, karena buru-buru mau bekerja. Tapi mereka besok harus datang ke kantor," ujarnya.
Selain di Desa Pengambengan, dua penduduk pendatang juga diamankan dari Kelurahan Loloan Timur yang juga tidak memiliki SKTS.
"Kami juga melakukan operasi di beberapa hotel di Kecamatan Melaya, tapi tidak mendapatkan apa-apa," katanya.
Penduduk pendatang yang terjaring di Desa Pengambengan, rata-rata bekerja sebagai anak buah perahu tradisional, yang setiap panen tangkapan di laut biasanya pemilik perahu mencari anak buah hingga ke Jawa, karena disana kesulitan mendapatkannya.
Untuk mau dipekerjakan di perahu, mereka juga mendapatkan uang pengikat antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta, dengan perjanjian tidak akan kabur atau pindah ke perahu lain.
"Kalau hanya mencari di Pengambengan tidak akan mencukupi, satu perahu membutuhan anak buah 35 hingga 41 orang, sementara disini ada ratusan perahu," kata salah seorang warga, yang sering mencari anak buah perahu ke Jawa.
Karena hanya bekerja di perahu, menurutnya, mereka akan pulang saat ikan paceklik, yang belakangan sering terjadi di laut wilayah tersebut.
"Tidak ada yang tinggal sampai bertahun-tahun disini, bahkan sering hanya satu bulan bertahan lalu pulang," ujarnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014