Negara (Antara Bali) - Warga Desa Yehembang, Kabupaten Jembrana menuntut lahan pertanian di dalam hutan atau yang oleh warga setempat disebut "lahan awen" ditutup, karena dianggap merusak kelestarian hutan.
"Rencananya besok kami akan menggelar aksi damai di Kantor Desa Yehembang, untuk menuntut penutupan lahan awen tersebut. Karena hutan dijadikan lahan pertanian, menyebabkan kekeringan saat musim kemarau seperti sekarang," kata I Gusti Putu Gede Budiasa, salah seorang warga, Senin.
Menurutnya, perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dengan ditanami pisang, jagung serta lain-lainnya, sudah berlangsung bertahun-tahun dan hanya menguntungkan segelintir oknum warga.
Akibat perusakan hutan dengan dijadikan lahan pertanian tersebut, katanya, berdampak besar pada aliran air ke sawah-sawah di bawah hutan, termasuk pasokan air bersih untuk warga.
Ia mengungkapkan, pihaknya menuntut aparat desa dinas maupun adat bertindak tegas terhadap para perambah hutan ini, agar lahan mereka tidak semakin luas.
"Aksi damai akan diikuti warga yang peduli kelestarian hutan, serta pengurus subak atau irigasi, yang paling merasakan dampak kerusakan hutan. Akibat sumber air dari hutan yang terus berkurang, pola tanam petani di sawah jadi tidak teratur," ujarnya.
Selain kerusakan hutan, menurutnya, muncul kecemburuan antara warga yang tinggal dekat hutan, dengan yang jauh dari wilayah tersebut.
Ia mengungkapkan, warga penyanding hutan dengan leluasa mengkapling-kapling hutan untuk lahan pertanian yang menguntungkan mereka, sementara masyarakat di hilir hutan menerima dampak karena kekurangan air.
Kepala Desa atau Perbekel Yehembang, I Made Semadi mengaku, pihaknya tidak keberatan dengan rencana aksi damai tersebut, dan siap menerima kedatangan warga.
"Asal aksi dilakukan dengan damai, tanpa tindakan anarkhis, kami siap menerimanya. Segala aspirasi warga harus kami tampung dan carikan jalan keluar," katanya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Rencananya besok kami akan menggelar aksi damai di Kantor Desa Yehembang, untuk menuntut penutupan lahan awen tersebut. Karena hutan dijadikan lahan pertanian, menyebabkan kekeringan saat musim kemarau seperti sekarang," kata I Gusti Putu Gede Budiasa, salah seorang warga, Senin.
Menurutnya, perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dengan ditanami pisang, jagung serta lain-lainnya, sudah berlangsung bertahun-tahun dan hanya menguntungkan segelintir oknum warga.
Akibat perusakan hutan dengan dijadikan lahan pertanian tersebut, katanya, berdampak besar pada aliran air ke sawah-sawah di bawah hutan, termasuk pasokan air bersih untuk warga.
Ia mengungkapkan, pihaknya menuntut aparat desa dinas maupun adat bertindak tegas terhadap para perambah hutan ini, agar lahan mereka tidak semakin luas.
"Aksi damai akan diikuti warga yang peduli kelestarian hutan, serta pengurus subak atau irigasi, yang paling merasakan dampak kerusakan hutan. Akibat sumber air dari hutan yang terus berkurang, pola tanam petani di sawah jadi tidak teratur," ujarnya.
Selain kerusakan hutan, menurutnya, muncul kecemburuan antara warga yang tinggal dekat hutan, dengan yang jauh dari wilayah tersebut.
Ia mengungkapkan, warga penyanding hutan dengan leluasa mengkapling-kapling hutan untuk lahan pertanian yang menguntungkan mereka, sementara masyarakat di hilir hutan menerima dampak karena kekurangan air.
Kepala Desa atau Perbekel Yehembang, I Made Semadi mengaku, pihaknya tidak keberatan dengan rencana aksi damai tersebut, dan siap menerima kedatangan warga.
"Asal aksi dilakukan dengan damai, tanpa tindakan anarkhis, kami siap menerimanya. Segala aspirasi warga harus kami tampung dan carikan jalan keluar," katanya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014