Denpasar (Antara Bali)- Ratusan keris pusaka dalam berbagai bentuk dan ukuran tertata rapi, lengkap dengan identitas dan tahun pembuatan karya seni itu dalam sebuah ruangan besar di Museum Neka Perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar.

Museum swasta pertama di Indonesia yang diresmikan 7 Juli 1982 atau 32 tahun yang silam awalnya hanya mengoleksi seni lukis dan seni patung. Namun bertepatan dengan Hari Ulang tahun (HUT) ke-25 Museum Seni Neka ke-25, tepat 7 Juli 2007, dilengkapi dengan paviliun keris.

Koleksi keris pusaka pada awalnya bisa dihitung dengan jari, namun sekarang sudah bertambah menjadi 312 pucuk, disamping 450 pkoleksi berbagai jenis lukisan dan patung.

Koleksi keris itu berupa keris Nusantara hasil karya mpu keris dari Bali dan luar Bali. Terutama dari Jawa dan Madura. Koleksinya mulai dari keris kuno bersejarah, keris pusaka sampai keris kamardikan.

Di antaranya ada keris pijetan (abad ke-13), Keris pusaka Ki Baju Rante (abad ke-16), Ki Gagak Petak (abad ke-17), dan keris kamardikan hasil lomba keris nasional.

Hal itu dilatarbelakangi Organisasi Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia, tutur pendiri sekaligus pengelola Museum Neka di Perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Pande Wayan Suteja Neka.

Suuami dari Gusti Made Srimin itu menjelaskan selama tahun 2012 misalnya berhasil menambah 88 pucuk keris. Keris yang menjadi koleksi itu umumnya berumur ratusan tahun yang "diburunya" satu persatu dari berbagai pelosok pedesaan di Bali maupun dari sejumlah daerah di Tanah Air.

Dari ratusan koleksi keris tersebut, 27 buah di antaranya warisan puri dari zaman kerajaan di Bali, seperti keris Ki Baju Rantai dari Puri Agung Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali maupun Ki Gajah Petak dari Puri Kanginan Singaraja, daerah pesisir utara Pulau Dewata.

Demikian pula keris Ki Belang Uyang dari Puri Agung Gianyar dan sekitar 100 keris tangguh (kuno) yang dipereh dari berbagai daerah di Indonesia.

Koleksi keris tersebut juga ada yang digolongkan keris kamardikan, yakni dibuat oleh empu keris setelah Indonesia merdeka, atau berumur lebih dari setengah abad.

Padahal sebelumnya keris-keris tersebut disimpan pihak puri, hanya bisa dilihat sekali dalam 420 hari (enam bulan) saat ritual "Tumpek Landep".

Pengukuhan oleh UNESCO terhadap keris Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia menjadikan keberadaan keris Indonesia, sekaligus mendapat penghargaan dunia internasional.

Pengakuan itu secara tidak langsung membangkitkan perkerisan di Bali, sehingga tidak hanya dipandang sebagai benda sakral untuk kelengkapan kegiatan ritual, namun juga sebagai benda seni dan benda budaya yang diagungkan.

Keris bagi masyarakat Bali dinilai sakral, karena sebagian besar kegiatan ritual keagamaan melibatkan keris pusaka sebagai salah satu kelengkapannya, tutur Pande Suteja Neka yang kini berusia 75 tahun yang tetap sehat bugar.

Penghargaan bergengsi

Berkat dedikasi, prestasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa pernah putus sosok Pande Wayan Suteja Neka mendapat penghargaan Purwakalagrha Kategori Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) 2014.

Penghargaan "Life Achievement Museum Award 2014` itu berkat dedikasi melestarikan seni lukis, seni rupa termasuk keris yang menjadikan Museum Seni Neka sebagai rujukan seni rupa dan seni keris secara nasional dan internasional.

Kegiatan tersebut dilaksanakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Ir Wiendu Nuryanti, M.Arch.,Ph.D di panggung Kick Andy, Metro TV Jakarta belum lama ini.

Penghargaan serupa tahun sebelumnya pernah diterima oleh Amir Sutaarga, seorang tokoh permuseuman nasional dan Daoed Joesoef seorang budayawan serta mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Keberhasilan Pande Suteja Neka itu dapat dilihat dari keindahan alam dan budaya Bali dalam bentuk lukisan yang dihasilkan oleh seniman Bali, seniman Indonesia dan seniman mancanegara yang mendapatkan inspirasi dari lingkungan alam dan budaya Bali.

Seniman tersebut di antaranya almarhum I Gusti Nyoman Lempad, seniman nasional Affandi, Abdul Aziz serta beberapa seniman mancanegara seperti Arie Smit, Rudolf Bonnet dan WG. Hofker.

Pande Wayan Suteja Neka memang mempunyai kecintaaan terhadap seni budaya yang berkembang lebih jauh terhadap seni rupa berupa keris.

Nunus Supardi salah seorang Dewan Juri Museum Award 2014 menilai, tokoh kelahiran Bali pada 21 Juli 1939 itu mengumpulkan dan merawat berbagai lukisan yang bertemakan keindahan alam dan budaya Bali dalam sebuah museum seni sejak tahun 1966.

Museum tersebut merupakan museum pelopor, museum swasta pertama di Bali. Oleh sebab itu Dewan Juri Museum Awards 2014 memutuskan penghargaan "Lifetime Achievement" untuk Museum Awards 2014 dianugrahkan kepada Pande Wayan Suteja Neka.

Museum Seni Neka bisa terus berkembang dan tetap berdedikasi untuk melestarikan seni budaya sejak pertama berdiri tahun 1972 dan dibuka secara resmi tahun 1982.

Di Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar kini ada enam museum swasta, kecamatan yang paling banyak memiliki museum di di Indonesia. Museum Seni Neka mempunyai visi dan misi untuk melestarikan seni lukis yang dibuat oleh seniman Bali, seniman Indonesia luar Bali dan seniman mancanegara yang mendapatkan inspirasi dan mengabadikan alam lingkungan dan budaya Bali.

Awalnya Museum Seni Neka hanya memilik koleksi 45 lukisan yang berasal dari koleksi terbaik milik Suteja Neka sendiri. Kemudian berkembang dalam waktu 40-an tahun bertambah menjadi 450 lukisan. Beberapa koleksi adalah sumbangan sukarela sang pelukis dan kolektor sejati Indonesia.

Proses pendirian Museum Seni Neka penuh dengan perjuangan yang menguras emosi dan tentu saja materi. Demikian juga proses pengumpulan koleksi yang saat ini dinikmati pengunjung museum banyak menyimpan cerita menarik.

Ada cerita yang mengharukan ada cerita heroik. Dalam mengumpulkan koleksi ada beberapa pengalaman menarik. Cerita tentang pelukis I Gusti Nyoman Lempad seorang seniman legendaris Bali yang mangharukan.


Setelah beberapa lukisan terbaik karya sang seniman dipilih untuk dibeli. Saat ditanya berapa harga semua lukisan yang akan dipajang sebagai koleksi Museum Seni Neka, sungguh di luar dugaan , sang seniman berkata, " Kalau untuk koleksi museum, sillakan dibawa saja. Tidak usah dibayar," kenang Neka.

Lain lagi pengalaman heroik pada 1989 saat di Makati, Pilipina. Ada dua lukisan karya Affandi yang dijual kembali oleh kolektor Pilipina. Saat itu Suteja Neka dan Ni Gusti Srimin mesti mengambilnya sendiri ke Pilipina.

Saat itu suasana politik di Pilipina sedang panas di awal pemerintahan Presiden Corazon Aquino. Meski demikian demi lukisan Affandi, Suteja Neka dan istrinya Gusti Srimin tetap berangkat.

Sehari sebelum jadwal balik ke Bali terjadi kudeta untuk menjatuhkan Presiden Corazon Aquino. Makati sangat mencekam saat itu. Suara tembakan dan bom riuh rendah. "Syukurlah saya dan istri beserta lukisan Afandi bisa selamat sampai di Bali," tutur Pande Wayan Suteja Neka.

Menurut C. Musiana Yudhawasthi, Ketua Komunitas Jelajah Nusantara yang penggagas Museum Awards, Museum Awards memiliki beberapa tujuan penting, di antaranya memberikan penghargaan terhadap tokoh, pengelola museum dan pekerja di bidang sejarah, kepurbakalaan dan permuseuman.

Selain itu juga meningkatkan apresiasi masyakarat terhadap sejarah, kepurbakalaan, permuseuman dan para pecinta warisan budaya. Dan yang terpenting, Museum Awards mampu menginspirasi generasi muda untuk terus belajar dan mencintai warisan budaya bangsa. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014