Dua puluh tiga tahun yang silam, tepatnya Minggu, 17 Maret 1991 umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1913, sementara umat Islam melakukan takbiran menyongsong Hari Raya Idul Fitri 1412 H.
Umat Hindu di Pulau Dewata dalam melaksanakan Tapa Brata penyepian wajib menjalani empat pantangan meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan/bersenang-senang).
Kondisi itu sangat kontradiktif dengan kegiatan takbiran menjelang umat Muslim menyongsong Idul Fitri 1412 H, sementara umat Kristen melakukan Kebaktian di Gereja.
Namun kenyataannya pada hari H saat umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi, umat Muslim melakukan Takbiran dan umat Kristen melakukan kebaktian sama-sama dapat terlaksana dengan baik, tanpa terjadi sentuhan dan benturan satu sama lain.
Semua itu berkat kesadaran dan saling pengertian umat lintas agama, sehingga kerukunan antarumat beragama dapat tercipta di daerah tujuan wisata Pulau Dewata, tutur Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali H M Taufik As`Adi S AG.
Ketika bertindak sebagai Khotib pada Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1435 H di Lapangan GOR Ngurah Rai Denpasar Senin (28/7), mantan Kepala Bidang Bimbingan Islam, pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali itu menuturkan, kondisi itu bertambah mesra dan manis setelah masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu, dapat berperanserta secara aktif menyukseskan pelaksanaan Seleksi Tilawatir Quran (STQ) tingkat nasional di Denpasar, Bali pada 14 Juli 1998.
Semua itu didasari atas rasa cinta damai dari seluruh umat lintas agama untuk menjungjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan antarumat beragama di Bali memang mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun silam.
Kerukunan antarumat beragama sangat kokoh, hampir tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut kehidupan antarumat beragama dan kondisi itu bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kerukunan secara dinamis di Indonesia maupun dunia internasional, tutur Taufik As`Adi di hadapan umat muslim pada shalat Idul Fitri dengan imam Haji Abu Zidan Abdullah.
Kondisi kerukunan lintas agama yang kokoh dan mantap di daerah tujuan wisata Pulau Bali itu diharapkan tetap dapat terpelihara dengan baik dan ditingkatkan pada masa-masa mendatang, melalui peningkatkan pemahaman satu sama lain.
Oleh sebab itu semua pihak dan umat lintas agama hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kondisi itu penting dapat diwujudkan, dunia ini ibarat sebuah kebun dihiasi oleh lima jenis yang meliputi ilmu para ulama, cendikiawan, keadilan yang memegang kekuasaan, ketertiban ibadah, kepercayaan pedagang dan kedisiplinan atau loyalitas masyarakat.
"Dengan mengumpamakan dunia sebagai kebun ke lima unsur masyarakat itu ibarat bunga yang memberikan keindahan terhadap kebun itu, yang masing-masing dengan corak dan warna sesuai pembawaannya," ujarnya.
Perhiasan ilmu ulama dan para cendikiawan dengan segala macam perkembangannya akan mampu menjadikan masyarakat untuk memperoleh cahaya terang untuk kemudahan dan manfaat yang besar dalam mewujudkan kehidupan masyarakat mental spiritual dan bidang kebudayaan.
Demikian pula perhiasan keadilan, sehingga kemakmuran dan kejujuran akan merata ke seluruh rakyat sekaligus ketaatan rakyat kepada pemerintah dan pemimpinnya. Pedagang (pengusaha) terpercaya dalam menjaga mutu barang dagangan untuk konsumen, memenuhi kewajibannya membayar pajak dan zakat.
Kedisiplinan dan loyalitas kerja karyawan dan semua pihak akan memperlancar roda pembangunan, mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan mendekatkan hati rakyat yang dilayani.
Jika kelima unsur yang menghiasi masyarakat dunia itu dapat terlaksana dengan baik secara otomatis akan mampu mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama, rasa aman, nyaman, damai dan makmur.
Kondisi itu sekaligus menjelma menjadi semangat kerja sama, persaudaraan, silaturahmi dan semangat pengabdian untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, rakyat, bangsa dan negara.
Untuk itu dalam menjaga jiwa kebersamaan mesti dilakukan secara terus menerus dengan mengembangkan semangat silaturahim rasa persaudaraan dengan bentuk melaksanakan berbagai amal kebajikan.
Tebar Kedamaian
H M Taufik As`Adi juga mengingatkan, kebersamaan jiwa perlu dijaga dan dipelihara secara terus menerus sambil menebarkan kedamaian di manapun dan kapan saja.
Hal itu penting jangan sampai mengalami keadaan yang kacau dan tidak terkendali, karena manusia adalah umat yang satu dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Hubungkan tali silaturahmi itu sangat penting dalam memperkokoh persaudaraan, memupuk jiwa kebersamaan sekaligus menghargai adanya keragaman.
Untuk itu setiap malam melaksanakan shalat untuk mendoakan dan memohon keamanan serta kemakmuran bersama, dengan harapan mampu meningkatkan kualitas kehidupan kearah yang lebih baik sekaligus mewujudkan masyarakat madani yakni masyarakat yang tertib, teratur, cerdas dansejahtera.
Di hadapan sekitar seribuan umat Islam yang melaksanakan shalat dengan Imam Haji Abu Zidan Abdullah, Ia mengingatkan, kondisi yang demikian itu akan sangat memperlancar pelaksanaan pembangunan menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Hal itu mampu mengubah jarak dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat serta mendekatkan hati rakyat yang dilayani. Semua itu akan mampu mewujudkan keamanan, kedamaian dan kemakmuran masyarakat, sekaligus mewujudkan kerja sama, persaudaraan, silaturahmi dan semangat pengabdian untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk itu menjaga jiwa kebersamaan harus dilakukan secara terus menerus dengan mengembangkan semangat silaturahmi, rasa kebersamaan dalam bentuk melaksanakan berbagai amal kebajikan.
Agama Islam masuk ke Bali pada zaman kerajaan abad XIV tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh, namun mempunyai sejarah dan latarbelakang tersendiri dari masing-masing komunitas muslim di Pulau Dewata.
Penyebaran agama Islam ke Bali berasal dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali Bali lewat pusat pemerintahan pada abad ke XIV pada zaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong.
Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, saat berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam.
Ke-40 orang pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di Pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.
Para pengawal yang beragama Islam itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberinama Masjid Gelgel, yang merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Bali
Demikian pula komunitas Muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).
Masing-masing komunitas tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur Bali atau menyerupai stil wantilan (joglo).
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan tempat suci umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
Akultutasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Umat Hindu di Pulau Dewata dalam melaksanakan Tapa Brata penyepian wajib menjalani empat pantangan meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan/bersenang-senang).
Kondisi itu sangat kontradiktif dengan kegiatan takbiran menjelang umat Muslim menyongsong Idul Fitri 1412 H, sementara umat Kristen melakukan Kebaktian di Gereja.
Namun kenyataannya pada hari H saat umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi, umat Muslim melakukan Takbiran dan umat Kristen melakukan kebaktian sama-sama dapat terlaksana dengan baik, tanpa terjadi sentuhan dan benturan satu sama lain.
Semua itu berkat kesadaran dan saling pengertian umat lintas agama, sehingga kerukunan antarumat beragama dapat tercipta di daerah tujuan wisata Pulau Dewata, tutur Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali H M Taufik As`Adi S AG.
Ketika bertindak sebagai Khotib pada Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1435 H di Lapangan GOR Ngurah Rai Denpasar Senin (28/7), mantan Kepala Bidang Bimbingan Islam, pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali itu menuturkan, kondisi itu bertambah mesra dan manis setelah masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu, dapat berperanserta secara aktif menyukseskan pelaksanaan Seleksi Tilawatir Quran (STQ) tingkat nasional di Denpasar, Bali pada 14 Juli 1998.
Semua itu didasari atas rasa cinta damai dari seluruh umat lintas agama untuk menjungjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan antarumat beragama di Bali memang mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun silam.
Kerukunan antarumat beragama sangat kokoh, hampir tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut kehidupan antarumat beragama dan kondisi itu bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kerukunan secara dinamis di Indonesia maupun dunia internasional, tutur Taufik As`Adi di hadapan umat muslim pada shalat Idul Fitri dengan imam Haji Abu Zidan Abdullah.
Kondisi kerukunan lintas agama yang kokoh dan mantap di daerah tujuan wisata Pulau Bali itu diharapkan tetap dapat terpelihara dengan baik dan ditingkatkan pada masa-masa mendatang, melalui peningkatkan pemahaman satu sama lain.
Oleh sebab itu semua pihak dan umat lintas agama hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kondisi itu penting dapat diwujudkan, dunia ini ibarat sebuah kebun dihiasi oleh lima jenis yang meliputi ilmu para ulama, cendikiawan, keadilan yang memegang kekuasaan, ketertiban ibadah, kepercayaan pedagang dan kedisiplinan atau loyalitas masyarakat.
"Dengan mengumpamakan dunia sebagai kebun ke lima unsur masyarakat itu ibarat bunga yang memberikan keindahan terhadap kebun itu, yang masing-masing dengan corak dan warna sesuai pembawaannya," ujarnya.
Perhiasan ilmu ulama dan para cendikiawan dengan segala macam perkembangannya akan mampu menjadikan masyarakat untuk memperoleh cahaya terang untuk kemudahan dan manfaat yang besar dalam mewujudkan kehidupan masyarakat mental spiritual dan bidang kebudayaan.
Demikian pula perhiasan keadilan, sehingga kemakmuran dan kejujuran akan merata ke seluruh rakyat sekaligus ketaatan rakyat kepada pemerintah dan pemimpinnya. Pedagang (pengusaha) terpercaya dalam menjaga mutu barang dagangan untuk konsumen, memenuhi kewajibannya membayar pajak dan zakat.
Kedisiplinan dan loyalitas kerja karyawan dan semua pihak akan memperlancar roda pembangunan, mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan mendekatkan hati rakyat yang dilayani.
Jika kelima unsur yang menghiasi masyarakat dunia itu dapat terlaksana dengan baik secara otomatis akan mampu mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama, rasa aman, nyaman, damai dan makmur.
Kondisi itu sekaligus menjelma menjadi semangat kerja sama, persaudaraan, silaturahmi dan semangat pengabdian untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, rakyat, bangsa dan negara.
Untuk itu dalam menjaga jiwa kebersamaan mesti dilakukan secara terus menerus dengan mengembangkan semangat silaturahim rasa persaudaraan dengan bentuk melaksanakan berbagai amal kebajikan.
Tebar Kedamaian
H M Taufik As`Adi juga mengingatkan, kebersamaan jiwa perlu dijaga dan dipelihara secara terus menerus sambil menebarkan kedamaian di manapun dan kapan saja.
Hal itu penting jangan sampai mengalami keadaan yang kacau dan tidak terkendali, karena manusia adalah umat yang satu dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Hubungkan tali silaturahmi itu sangat penting dalam memperkokoh persaudaraan, memupuk jiwa kebersamaan sekaligus menghargai adanya keragaman.
Untuk itu setiap malam melaksanakan shalat untuk mendoakan dan memohon keamanan serta kemakmuran bersama, dengan harapan mampu meningkatkan kualitas kehidupan kearah yang lebih baik sekaligus mewujudkan masyarakat madani yakni masyarakat yang tertib, teratur, cerdas dansejahtera.
Di hadapan sekitar seribuan umat Islam yang melaksanakan shalat dengan Imam Haji Abu Zidan Abdullah, Ia mengingatkan, kondisi yang demikian itu akan sangat memperlancar pelaksanaan pembangunan menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Hal itu mampu mengubah jarak dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat serta mendekatkan hati rakyat yang dilayani. Semua itu akan mampu mewujudkan keamanan, kedamaian dan kemakmuran masyarakat, sekaligus mewujudkan kerja sama, persaudaraan, silaturahmi dan semangat pengabdian untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk itu menjaga jiwa kebersamaan harus dilakukan secara terus menerus dengan mengembangkan semangat silaturahmi, rasa kebersamaan dalam bentuk melaksanakan berbagai amal kebajikan.
Agama Islam masuk ke Bali pada zaman kerajaan abad XIV tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh, namun mempunyai sejarah dan latarbelakang tersendiri dari masing-masing komunitas muslim di Pulau Dewata.
Penyebaran agama Islam ke Bali berasal dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali Bali lewat pusat pemerintahan pada abad ke XIV pada zaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong.
Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, saat berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam.
Ke-40 orang pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di Pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.
Para pengawal yang beragama Islam itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberinama Masjid Gelgel, yang merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Bali
Demikian pula komunitas Muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).
Masing-masing komunitas tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur Bali atau menyerupai stil wantilan (joglo).
Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid, menjadikan tempat suci umat Islam di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
Akultutasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014