Dua ekor kerbau jantan dengan berat lebih dari 600 kg/ekor "dirakit" seperti halnya petani membajak di sawah yang dibuat sedemikian rupa untuk menarik dua buah pedati.

Di antara kedua pedati itu terdapat tempat untuk berdirinya sais, seseorang yang mengendalikan kedua ekor kerbau agar berlari kencang di tanah lapang dalam istilah masyarakat setempat disebut Mekepung.

Kegiatan unik dan menarik itu dilakukan secara rutin oleh masyarakat Kabupaten Jembrana, Bali barat seusai panen di sawah. Mekepung yang biasa dilakukan masyarakat dalam tingkat banjar, desa, kecamatan bahkan kabupaten.

Kegiatan adu kecepatan lari kerbau yang dikendalikan oleh masing-masing sais diiringi dengan alunan Jegong, instrumen misik tradisional khas Bali barat yang terbuat dari bahan baku bambu.

Semakin keras suara jegog, semakin semangat sais memukul punggung ke dua kerbau, sehingga larinya kencang. Kerbau yang dilengkapi dengan berbagai hiasan dikendalikan oleh seseorang (sais) untuk diadu kecepatan dengan pasangan kerbau lainnya di tanah lapang.

Atraksi mekepung yang satu-satunya hanya ada di Bali barat menjadi daya tarik wisata, disamping kelestarian seni budaya serta keindahan pesona alam, tutur Bupati Jembrana Putu Artha.

Kesenian atraksi pacuan kerbau khas kabupaten Jembrana, Bali barat itu kini telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional (WBN) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Dengan dihidupkannya kembali atraksi lawas itu akan memberikan dampak ekonomi bagi warga setempat, karena harga ternak kerbau untuk kepentingan mekepung bisa mencapai Rp30 juta hingga Rp40 juta per ekor.

Bupati Jembrana Putu Artha mengatakan, dengan ditetapkan mekepung menjadi Warisan Budaya Nasional masyarakat Jembrana patut berbangga karena penetapan tersebut bukan usulan dari pemkab setempat, namun dari sebuah perguruan tinggi di Bali.

Sebelum penetapan kementerian terkait terlebih dulu dilakukan penelitian menyangkut kekhasan mekepung karena beberapa daerah ada kesenian yang hampir mirip seperti karapan sapi di Madura, Jawa Timur dan Magembengan di Kabupaten Buleleng, Bali.

Menyusul penetapan atraksi Mekepung sebagai WBN Pemkab Jembrana mewajibkan pegawai negeri sipil (PNS) di daerah itu mengenakan pin bergambar mekepung pada baju tugas yang mereka pakai serta pemasangan baliho. Pin dan baliho mekepung itu didominasi kerbau.

Tidak boleh Ditiadakan

Bupati Putu Artha mengharapkan dengan adanya pengakuan pemerintah pusat atraksi mekepung bisa dihidupkan kembali untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata, disamping melestarikan seni budaya.

Makepung sebagai warisan budaya yang semestinya dilakukan secara berkesinambungan sehabis panen di sawah dan tidak boleh ditiadakan.

"Ini komitmen kita. Makepung itu semangat masyarakat Jembrana. adalah warisan budaya," tegas Bupati Artha.

Makepung merupakan kearifan lokal yang terus harus dijaga dan dilestarikan, bina dan kembangkan sehingga berkembang dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam kesenian Makepung itu terkandung nilai-nilai lokal masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun.

Oleh sebab itu semua pihak hendaknya mempunyai komitmen untuk menjaga warisan budaya dan kearifan lokal di Pulau Dewata. "Bahkan nilai lokal, warisan budaya dan kearifan lokal yang sudah punah kita hidupkan lagi," ujarnya.

Hal itu penting dilakulan, karena seni dan budaya Bali merupakan roh masyarakat Bali. Itu yang bisa menghidupkan Bali yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi kepada bangsa melalui sumbangan pariwisata Bali yang berbasis budaya.

Seorang tokoh masyarakat Jembrana, Wayan Mawa menilai, komitmen untuk melestarikan Mekepung di Bali barat merupakan langkah yang sangat tepat dan terpuji.

Menghidupkan kembali kesenian Mekepung merupakan kewajiban mutlak yang harus diemban bersama, karena Mekepung menjadi ikon warga Jembrana yang tidak semestinya ditiadakan sejak beberapa tahun belakangan ini.

Warga Jembrana selama ini bersatu padu memberikan kontribusi positif. Bersatu padu memacu kreativitas menunjukkan eksitensi memajukan Jembrana dan Bali. Mekepung itu sudah turun temurun, ujar Mawa.

Upaya membangkitkan kembali semangat mekepung itu sangat relevan dengan keinginan Pemkab Jembrana yang mengusulkan kesenian jegog yang biasa digunakan untuk mengiringi mekepung itu sebagai warisan budaya dunia (WBD).

Keunikan dan kekhasan pada musik Jegong yang berkembang hampir di seluruh banjar, baik di pedesaan dan kota di Kabupaten Jembrana mendorong Pemkab setempat untuk mendaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia.

Alunan instrumen musik yang merdu itu semakin mendapat tempat di hati masyarakat Pulau Dewata, terbukti di samping panggung kehormatan setiap pembukaan Pesta kesenian Bali (PKB), aktivitas tahunan seniman Pulau Dewata, Jegog dipercaya mengiringi atraksi budaya.

Keindahan jegog -- mendayu-dayu, keras dan sayup-sayup itu, sanggup memberikan semangat terhadap kehidupan umat manusia, khususnya setiap penonton yang menyaksikan, termasuk wisatawan mancanegara.

Bahkan kesenian jegog dalam perkembangannya sudah mendunia, karena Sekaa (grup) Jegog Suar Agung dari Jembrana pimpinan Ketut Suwentra (67) hampir setiap tahun mengadakan lawatan ke Jepang dan negara di belahan dunia lainnya. (ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014