Dentingan suara genta, semerbak wangi bunga dan dupa menyebar dalam kawasan Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Bali, menandai pelaksanaan kegiatan ritual berskala besar yang disebut Betara Turun Kabeh. Puja-pujian sang pendeta maupun Jero Mangku yang memimpin kegiatan ritual itu diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan) serta tembang-tembang kekidung dan warga sari yang berlangsung secara khidmat. Rangkaian kegiatan itu diawali dengan "Nedunang Ida Betara" pada Jumat (11/4) yang dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Wagub Bali Ketut Sudikerta dan segenap Kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali yang berbaur dengan ribuan orang warga setempat, tutur Bendesa Adat Besakih, I Wayan Gunatra yang juga Ketua Panitia kegiatan ritual tersebut. Menyusul "Melasti", yakni prosesi penyucian pratime dan benda-benda yang disakralkan dari puluhan pura di kompleks Pura Besakih ke sumber air di Tegal Suci Yeh Sah Desa Rendang, sekitar lima kilometer selatan tempat suci Pura Besakih. Kegiatan penyucian pratime itu telah dilakukan Sabtu (12/4) dengan melibatkan ribuan umat Hindu yang datang dari berbagai pelosok pedesaan di delapan kabupaten dan kota di Bali. Umat yang mengenakan busana adat Bali, dinominasi warna putih itu berjalan kaki diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali "Gong Blaganjur" yang bertalu-talu menuju tempat permandian suci (beji) yang berjarak sekitar lima kilometer. "Hari ini Minggu (13/4) melakukan ritual mepepada, yakni menyucikan binatang kurban untuk kelengkapan ritual BTK," ujar Wayan Gunatra. Puncak kegiatan ritual Betara Terun Kabeh (BTK) akan dilakukan pada hari purnama kedasa (Senin, 14/4). Acara tersebut akan dipimpin puluhan pendeta dan Jero Mangku berlangsung (Nyejer) selama 21 hari hingga 5 Mei 2014. Waktu yang cukup panjang itu dengan harapan masyarakat dapat mengatur dirinya untuk melakukan persembahyangan ke Pura Besakih maupun Pura Batur, disamping untuk menghindari terjadinya antrian persembahyangan di kedua tempat suci sekaligus mencegah kemacetan lalu lintas di jalur menuju kedua pura di Bali timur itu. Pura Besakih selalu menebar kedamaian bagi rakyat Pulau Dewata. Umat Hindu Bali meyakini pura agung itulah tempat para dewa-dewi bertahta dan turun ke mayapada (bumi) membebaskan manusia dari musibah dan bencana. Oleh sebab itu, kesucian dan kesakralan pura terbesar dan termegah di Pulau Dewata itu senantiasa terjaga hingga sekarang. Tempat suci yang terletak di kaki Gunung Agung itu selalu menjadi pusat kegiatan ritual umat Hindu, termasuk upacara Betara Turun Kabeh (dewata turun semua) yang digelar secara berkesinambungan pada bulan purnama ke sepuluh setiap tahunnya. Kharisma Besakih, tidak hanya dikagumi umat Hindu di Bali, namun juga wisatawan nusantara dan mancanegara. Mereka selalu menyempatkan untuk bertandang ke Besakih, jika berlibur di Pulau Dewata. Pura Besakih, yang terdiri atas beberapa kompleks bangunan suci yang menjadi satu-kesatuan tak terpisah, pondasinya konon dibangun oleh Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi). Kedamaian dan keselamatan I Wayan Gunastra yang juga tokoh masyarakat sekitar kawasan suci itu menjelaskan, kegiatan ritual BTK yang diwarisi secara turun temurun bermakna untuk memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa agar umat manusia dianugerahi keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan serta terhindar dari musibah dan bencana alam. Pura Besakih adalah tempat suci umat Hindu terbesar di Bali yang mempunyai arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yakni tempat beristananya para Dewa. Pura Besakih di lereng kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali itu tercatat dalam prasasti Purana dan lontar sebagai tempat beristananya para dewa, sehingga mempunyai fungsi paling penting diantara pura-pura lainnya. Peran dan fungsi yang sangat istimewa, antara lain sebagai Pura "Rwa Bhineda", "Sad Kahyangan", "Padma Bhuana" dan pusat dari segala kegiatan upacara keagamaan. Pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan Raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi) sangat menghormati keberadaan Pura Besakih. Demikian pula Belanda yang pernah menguasai Nusantara juga menaruh perhatian besar dengan merestorasi secara besar-besaran terhadap beberapa kompleks bangunan suci yang rusak akibat bencana alam. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia juga melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus mengintensifkan pelaksanaan ritual keagamaan. Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 1967 menyerahkan pengawasan dan pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada "Prawartaka" Pura Besakih. Hingga kini, Pemerintah Provinsi Bali bersama delapan pemerintah kabupaten dan satu perintah kota di samping swadaya umat secara bergotong-royong mengalokasikan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak maupun mendukung pelaksanaan ritual keagamaan. Kawasan suci Pura Besakih yang berada di wilayah Kabupaten Karangasem itu sehari-harinya adalah objek wisata yang banyak dikunjungi pelancong. Namun mereka dilarang memasuki tempat-tempat yang khusus untuk persembahyangan umat. Rakyat Bali sangat menjaga kesucian Besakih, karena mereka berharap Tuhan tetap melindungi dan menebar damai di Bumi Dewata. Pada ritual Betara Turun Kabeh kali ini, kembali umat memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Bali terbebas dari musibah dan bencana, sekaligus dianugrahi kesejahteraan dan kedamaian. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014