Denpasar (Antara Bali) - Bali tiada hari tanpa aktivitas ritual yang digelar masyarakat di tengah-tengah kesibukan sehari-hari. Hari suci yang jatuh secara beruntun dalam beberapa hari terakhir ini.

Berawal dari hari suci Siwa Ratri hari perenungan dosa yang dirayakan pada 29-30 Januari 2014, menyusul hari Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada hari Sabtu (8/3).

Umat Hindu di Pulau Dewata Rabu (12/3) kembali merayakan hari suci Pagerwesi yang bermakna untuk meningkatkan keteguhan iman dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dunia beserta isinya diberikan keselamatan, Rabu (12/3).

Kegiatan ritual yang digelar di tempat suci rumah tangga (merajan/sanggah) masing-masing menghaturkan sesaji serta rangkaian janur, bunga dan buah-buahan (banten) yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga.

Hari suci Pagerwesi merupakan "tonggak" untuk mengingatkan umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai penguasa alam semesta, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Ketut Sumadi.

Upaya itu dilakukan dengan cara bhakti maupun pengorbanan suci secara tulus ikhlas (yadnya). Hari suci terbesar kedua setelah hari Raya Galungan dan Kuningan (Kemenangan Dharma) juga dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan dan bimbingan ke jalan yang benar serta mampu menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama dan hati nurani.

Tata cara pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di delapan kabupaten dan satu kota di Bali sangat beragam sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala patra).

Ritual Pagerwesi itu juga dilandasi tradisi masing-masing desa adat (pekraman) dalam mengenang kembali terhadap kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Kegiatan ritual atau ajaran agama pada hakekatnya itu mampu menyejukkan diri umatnya (pageh) yang menjadi aplikasi dari jati diri dalam memfungsikan bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Umat manusia dalam kehidupan yang dilakoninya tidak henti-hentinya menghadapi masalah yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Lewat ritual itu umat manusia selalu mengharapkan dan memohon kehidupan yang lebih baik, mampu mengatasi segala permasalahan, berusaha mewujudkan kehidupan yang serasi dengan mematuhi ketentuan norma dan hukum berlaku, tutur Jero Sumadi, pria kelahiran Batuyang, Kabupaten Gianyar 31 Desember 1962 atau 52 tahun yang silam.

Alumnus program doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu menjelaskan, pada ritual Pagerwesi yang dirayakan setiap 210 hari sekali, umat juga memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai "Paramesti guru".

Dengan demikian diharapkan kekuatan iman serta bimbingan dan lindungan-Nya, ilmu pengetahuan yang telah diturunkan pada Hari Raya Saraswati, yang dirayakan empat hari sebelumnya penggunaannya dilandasi oleh kesucian, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup umat manusia.

Melalui perayaaan Pagerwesi diharapkan mampu memperkuat "benteng iman" melalui yoga semadi, sekaligus dapat mengambil hikmah untuk mengendalikan musuh dalam diri maupun musuh yang berasal dari luar.

Kearifan lokal

Kegiatan ritual yang digelar masyarakat Pulau Dewata yang tidak pernah hentinya dari hari ke hari serta kearifan lokal yang diwarisi masyarakat setempat mampu menuntun umat Hindu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Upaya itu dapat diwujudkan melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus ikhlas. Demikian pula aktivitas pariwisata yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas tanah Bali.

Menurut Jero Ketut Sumadi hal itu sesuai konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang melandasi kehidupan Desa Adat di Bali.

Dengan demikian penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci, sehingga makna religius tetap terjaga.

Warga desa adat di Bali kini tidak lagi dipusingkan oleh beban biaya untuk keperluan pelaksanaan ritual dan aktivitas sosial budaya yang telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata yang mampu memperpanjang waktu tinggal wisatawan di Pulau Dewata, ujar Ketut Sumadi.

Libur lokal

Kegiatan ritual di Bali yang digelar beruntun itu menyita waktu untuk persiapan dan pelaksanaan dari semua lapisan masyarakat.

Hal itu mendorong Gubernur Bali, Made Mangku Pastika menetapkan 21 hari kerja sebagai hari libur lokal (fakultatif) terkait berbagai kegiatan ritual keagamaan umat Hindu, di samping 15 hari untuk libur nasional dan empat hari cuti bersama selama tahun 2014.

Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, I Ketut Teneng menuturkan libur lokal khusus di Bali itu dimaksudkan agar umat Hindu dapat melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan dan persembahyangan dengan baik.

Fakultatif yang ditetapkan sebanyak 21 hari kerja selama 2014 itu terdiri atas Hari Siwa Ratri, hari perenungan dosa selama dua hari, 29-30 Januari 2014, menyusul Saraswati hari lahirnya ilmu pengetahuan pada hari Sabtu, 8 Maret 2014.

Hari Pagerwesi yang bermakna untuk mengokohkan kekuatan iman pada hari Rabu, 12 Maret 2014, tiga hari terkait Hari Suci Nyepi tahun Saka 1936 yakni Tawur Kesanga, 30 Maret 2014, Hari Suci Nyepi 31 Maret 2014 dan Ngembak Geni 1 April 3024.

Menyusul tiga hari lagi terkait Hari Suci Galungan, yakni hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) 20-22 Mei 2014 dan tiga hari terkait Hari Suci Kuningan, rangkaian Galungan 30 Mei-1 Juni 2014.

Kembali Hari Suci Saraswati yang diperingati setiap 210 hari sekali itu jatuh pada 4 Oktober 2014, Hari suci Pagerwesi 8 Oktober 2014, Hari Raya Galungan yang juga diperingati setiap 210 hari itu jatuh pada 16-18 Desember 2014.

Libur Kuningan rangkaian hari suci Galungan selama tiga hari 26-28 Desember 2014.

Surat edaran Gubernur Bali tertanggal 25 November 2013 tentang hari libur lokal, nasional dan cuti bersama telah disampaikan kepada seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD), BUMN, BUMD, Bupati, wali kota dan perusahaan swata di Bali.

Instansi, baik pusat maupun daerah yang mengemban tugas memberikan pelayanan menyangkut kepentingan masyarakat, seperti rumah sakit, pelayanan telekomunikasi, listrik dan pemadam kebakaran agar melakukan pengaturan kerja karyawan sedemikian rupa, agar pelayanan publik tetap terlaksana dengan baik, ujar Ketut Teneng.  (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014