Denpasar (Antara Bali) - Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) yang diwarisi secara turun temurun di Bali hingga kini merupakan yang terbaik di antara sistem pertanian yang ada di Indonesia maupun di berbagai negara belahan dunia.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD).

Pengakuan dunia internasional itu sudah cukup lama, namun petani anggota subak hingga kini masih menunggu, apa yang mereka akan dapatkan dari usahanya memelihara warisan untuk dunia, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Dr. I Wayan Windia.

Guru besar Fakultas Pertanian Unud itu melihat belum ada tanda-tanda nyata yang bisa dinikmati petani. Pemerintah Provinsi Bali maupun kabupaten/kota tidak ada yang memberikan apresiasi terhadap pengakuan UNESCO itu.

Hampir tidak ada gerakan yang antusias untuk merespon gerakan dunia yang mengakui subak sebagai warisan budaya dunia, padahal dengan pengakuan itu citra Bali dan Indonesia umumnya sangat membanggakan.

Namun pemerintah seolah-olah tidak bergeming, nyaris tak ada suara apapun dari pemerintah Provinsi Bali, kabupaten/kota dan juga pemerintah pusat. Padahal tatkala sawah dan subak di Bali mulai dibangun dengan berdarah-darah. Karena tidak gampang membangun sawah di kawasan Bali yang berlereng-lereng.

Bahkan setelah menjadi sawah, maka sawah itupun harus dibela dan dipertahankan dengan berdarah-darah. Tercatat bahwa perang antara Kerajaan Badung dan Mengwi pada abad ke-19, salah satu pertaruhannya adalah niat kedua kerajaan untuk menguasai Tukad Mambal.

Sebab, kalau Tukad Mambal dikuasai, maka ada jaminan terhadap sistem irigasi bagi sawah-sawah di kerajaan masing-masing. Dengan demikian betapa pentingnya sawah bagi kerajaan, karena sawah dan aktivitas pertanian merupakan salah satu landasan kultural kerajaan.

Menurut Prof Windia (65), pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 awal Abad ke-10 terjadi bencana dahsyat di Jawa, sebagai akibat meletusnya Gunung Merapi.

Penduduk melakukan eksodus ke arah timur, di antaranya dipimpin oleh Mpu Sendok yang kemudian mendirikan Kerajaan Kahuripan. Kerajaan ini dibangun di hulu Sungai Berantas, sekitar kaki Gunung Semeru.

Di pihak lain, karena adanya pewisik, maka satu rombongan lainnya dipimpin oleh Raja Sri Kesari Warmadewa atau Sri Ugrasena Warmadewa, menuju Sanur (Bali). Beliau didampingi oleh seorang bagawanta, yakni Rsi Markandya.

Sebagai pertanda bahwa Warmadewa telah menguasai Bali, dibangun Prasasti Belanjong, tahun 913, yang menyebut tentang kawasan darat, di antaranya kata Walidwipa.

Dengan menyebut kata Walidwipa (Pulau Bali), maka hal itu dianggap sebagai pertanda bahwa pada saat itu Warmadewa telah mengalahkan musuh-musuhnya dan menguasai Pulau Bali.

Penetapan sebuah prasasti merupakan perlambang dari sebuah kemenangan Setelah mengalami proses panjang dalam sejarah raja-raja di Bali, maka akhirnya muncul berbagai prasasti yang menyebut kata sawah, parlak atau mal (ladang), dan kebwan (kebun).

Prasasti itu muncul dalam masa pemerintahan Raja Udayana (989-1011), Namun kata subak mulai muncul dalam Prasasti Pandak Bandung, tahun 1071 yang menyebutkan bahwa bercocok tanam dengan sistem pengairan yang teratur telah diyakini ada beberapa abad sebelumnya, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Sukawana (tahun 882) dan Prasasti Bebetin (tahun 896).

Sedangkan pembuatan trowongan telah dikenal di Bali pada tahun 896 (Purwita, dan ada juga yang menyebutkan bahwa Rsi Markandya adalah adik kandung dari Rsi Trinawindhu, yang hidup pada zaman Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Berkait dengan cerita itu, Rsi Markandya disebutkan datang ke Bali pada Abad ke 12-13. Kalau keterangan ini benar, maka Rsi Markandya yang dikenal sebagai arsitek pembangunan sawah dan subak di Bali, harus bolak-balik Jawa-Bali).

Betapa Susahnya

Prof Windia mengingatkan, kondisi itu menggambarkan betapa susahnya membangun sawah dan subak di Bali, karena masyarakat harus merabas hutan yang lebat, membangun trowongan dan membuat saluran irigasi dari sumber air yang rendah hingga menjangkau sawah di bagian atas.

Untuk itu diperlukan komitmen, kerja keras, disiplin, bahkan mungkin tetesan darah, air mata, dan tentu saja tetesan keringat. Lalu apa yang kini terjadi? Tampaknya masyarakat Bali kini justru telah banyak menjual warisan sawah-nya yang dibangun oleh leluhurnya, sekitar 11 abad yang lalu.

Bahkan mereka menjualnya mungkin juga dengan `tetesan darah`, karena mereka (para pewarisnya) tidak jarang harus bersitegang, berkelahi, dan bahkan sampai ke pengadilan untuk memperebutkan rupiah demi rupiah dari sawah warisan leluhurnya itu.

Dalam lima tahun terakhir rata-rata sawah di Bali telah berkurang lebih dari 1000 hektare setiap tahunnya. Sedangkan dalam lima tahun sebelumnya, rata-rata berkurang sekitar 750 hektare per tahun.

Hal itu berarti bahwa kecendrungan penjualan sawah di Bali semakin cepat dan semakin meluas, bahkan masyarakat sangat tidak menghargai warisan leluhurnya yang dibangun dengan darah tersebut.

Prof Windia menjelaskan, kondisi itu bisa terjadi mungkin karena mereka telah berkembang menjadi orang yang loba, pragmatis, dan kemudian idealisme kalah melawan arus pragmatisme-globalisasi.

Globalisasi dunia ditandai dengan persaingan yang ketat, dan diwarnai dengan konsumerisme, materialisme, dan kapitalisme. Jika kalah, maka akan terlindas, dan akibatnya seluruh sistem sosial masyarakat, termasuk kebudayaannya akan menjadi "debu" Sawah,.

"Subak dan sistem pertanian merupakan landasan dan bagian integral dari kebudayaan Bali. Jika subak, pertanian, dan sawah sudah hancur (tidak ada), apakah kebudayaan Bali masih akan tersisa?," tanya Prof Windia.

Siapa Salah?

Prof Windia menambahkan, eksistensi subak terjadi, karena adanya petani yang mengelola sistem sawah, air, terowongan, dan berbagai infrastruktur lainnya. Kalau sawah-sawah di Bali telah dijual, air untuk irigasi diganggu oleh sektor lain, dan berbagai kebijakan yang meminggirkan sawah dan petani, apakah subak di Bali bisa bertahan?.

Lalu siapakah yang salah? Yang salah adalah kondisi yang diciptakan oleh pemerintah. Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan, yang justru membuat petani menjadi terpinggirkan, tidak nyaman, dan tidak membanggakan dalam kapasitasnya sebagai petani.

Misalnya, sistem pajak bumi dan bangunan (PBB) berlandaskan nilai jual objek pajak (NJOP), sistem administrasi konversi lahan dan kebijakan impor bahan pangan.

Sejatinya, petani sangat mencintai sawahnya. Mereka sadar bahwa sawah adalah warisan leluhurnya. Sebuah warisan tentu sangat riskan untuk dijual. Namun mereka terpaksa harus menjual sawahnya.

Mungkin karena mereka sudah tidak mampu lagi bertahan dari tekanan lingkungan sosial-ekonomi yang sangat kuat. Kelemahan pokok dari semua lembaga yang berlandaskan sosio-kultural (termasuk subak) adalah bahwa mereka tidak tahan terhadap tekanan eksternalnya, atau lingkungan sekitarnya.

Adapun tekanan utama yang diderita subak saat ini antara lain pendapatan petani sangat kecil. Petani yang menanam padi seluas satu hektare pendapatannya hanya Rp. 2 juta/bulan (Rp. 8 juta per musim tanam) hampir sama dengan penghasilan pengemis jalanan.

Pajak (PBB) yang sangat tinggi dan mencekik, khususnya petani yang bekerja di kawasan sawah yang berada dalam lingkungan yang sedang membangun. Jika di kawasannya ada pembangunan, maka pajak PBB-nya otomatis akan naik, karena dasar pajak PBB adalah lokasi (NJOP).

Seharusnya, yang adil adalah kalau pajak PBB dasarnya adalah produksi. Sangat banyak petani yang mengeluh tak mampu membayar pajak PBB sehingga terpaksa menjual sawahnya.

Kasus tersebut sekarang terjadi secara besar-besaran di kawasan sepanjang jalan by pass Ida Bagus Mantra (Denpasar-Gianyar-Klungkung), kawasan Renon Denpasar dan kawasan perkotaan lainnya.

Demikian pula air irigasinya mulai banyak dibagi untuk kepentingan non-pertanian, seperti pariwisata, pabrik, air minum perusahaan air minum (PDAM), di samping air irigasi banyak mengandung polusi, karena masyarakat membuang sampah plastik, dan berbagai barang bekas secara sembarang ke sungai dan saluran irigasi, sehingga sangat mengganggu persawahan petani, tutur Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014