Denpasar (Antara Bali) - Keanekaragaman seni budaya serta kehidupan ritual yang kokoh dalam keseharian masyarakat Bali menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.
Kondisi itu juga menjadi inspirasi bagi seniman, termasuk orang asing untuk menghasilkan karya yang bermutu, baik dalam bidang tabuh, tari, seni sastra, karya lukisan maupun untuk menulis buku.
Miguel Covarrubias, seorang penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko, misalnya pada tahun 1930 atau 84 tahun yang silam sempat menetap di Bali dan menulis buku berjudul "Island of Bali".
Walter Spies dan Miguel Covarrubias, dua warga negara asing yang "melarikan diri" dari Eropa pada perang dunia pertama bertemu di Bali dan akhirnya menemukan ketenangan dan kedamaian.
Mereka dengan keahliannya masing-masing memperkenalkan pesona seni budaya dan tari Bali kepada dunia barat hingga akhirnya pariwisata Bali berkembang pesat seperti sekarang, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Ketut Sumadi.
Untuk itu orang Bali termasuk para pendatang dari luar pulau wisata ini perlu memahami dengan baik tentang istilah "cakra yadnya" yang dalam implementasinya sejalan dengan konsep "karma yoga" pada ajaran agama Hindu yang dianut oleh warga desa adat (pakraman) di Pulau Dewata.
Karma yoga merupakan ajaran yang menuntun umat Hindu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus ikhlas.
Oleh karena itu, aktivitas kepariwisataan yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas tanah Bali.
Sesuai konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, umat dengan lingkungan dan Tuhan-nya yang melandasi kehidupan desa adat di Bali, maka penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci, sehingga makna religius tetap terjaga.
Warga desa adat di Bali kini tidak lagi dipusingkan oleh beban biaya untuk keperluan pelaksanaan ritual dan aktivitas sosial budaya yang telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata yang mampu memperpanjang waktu tinggal wisatawan di Pulau Dewata.
Demikian pula Bandara Ngurah Rai setiap hari disinggahi ratusan pesawat terbang dan melintas di atas Pulau Dewata termasuk pura atau tempat-tempat yang disucikan, yang dalam keyakinan orang Bali dirasakan menimbulkan pencemaran (keletehan) terhadap tempat suci.
Untuk menetralisir dampak pencemaran itu, orang Bali rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" atau "caru" sebagai tahap awal dalam setiap prosesi ritual piodalan (perayaan hari suci keagamaan) di lingkungan rumah tangga, pura (tempat suci) setiap enam bulan sekali dan di tempat-tempat tertentu secara berkala.
"Semua ritual itu memerlukan biaya yang besar dan sekarang menjadi beban berat hidup orang Bali di tengah berkembangnya pariwisata dengan meningkatnya volume lalu-lintas penerbangan di atas Pulau Dewata," tutur Ketut Sumadi.
Kearifan lokal
Ketut Sumadi mengingatkan, investor yang menanamkan modalnya di Bali, termasuk komponen pariwisata dan pengelola Bandara Internasional Ngurah Rai yang setiap hari melayani puluhan ribu orang menggunakan jasa penerbangan dipunguti airport tax atau pajak penerbangan.
Semestinya mereka yang mendapat keuntungan besar dari pariwisata termasuk pengelola Bandara Ngurah Rai tidak ragu-ragu meningkatkan kontribusinya kepada desa adat untuk melaksanakan aktivitas ritual demi menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Pulau Dewata sesuai kearifan lokal THK.
"Bukankah pungutan airport tax tidak termasuk dalam daftar pendapatan asli dalam pembiayaan pengelolaan sebuah Bandara Internasional, melainkan merupakan bentuk retribusi yang dipungut oleh pengelola bandara yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kearifan lokal penduduk lokal," tanya Dr Sumadi.
Namun terlepas dari kurangnya kontribusi para stakeholder pariwisata dan Bandara Ngurah Rai Bali kepada penduduk lokal, berkat berkembangnya pariwisata aktivitas religius di Pulau Dewata tetap dapat semakin meriah.
Masyarakat desa adat juga semakin sadar serta bergairah mengikuti setiap prosesi ritual, meski untuk itu banyak di antara mereka yang rela menjual tanah-tanah warisan leluhurnya.
Sikap kebersamaan dan penuh kegembiraan itu menunjukkan kedewasaan kaum beragama dalam iman dan amalnya, yang akhirnya berkembang menjadi masyarakat religius.
Kemeriahan dan kegairahan tersebut memang bukan merupakan hal yang bersifat hura-hura, melainkan sebagai wujud rasa bhakti (sujud dengan hati suci) warga masyarakat kepada Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka berkeyakinan bahwa jika masyarakat bhakti melaksanakan "yadnya" (pengorbanan suci), maka Tuhan berkenan (suweca) melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui industri pariwisata.
Dorong dapat bagian
Ketua Pansus RUU Keuangan Negara DPR RI, Achsanul Qosasi saat menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan di Pulau Dewata mendorong Pemerintah Provinsi Bali untuk memperjuangkan ke Kementerian BUMN supaya memperoleh bagian dari pajak bandara (airport tax) Ngurah Rai yang selama ini ditarik PT Angkasa Pura II.
Hal itu didasarkan atas wisatawan yang datang ke Bali bukan karena bandaranya yang bagus, tetapi terpikat oleh Bali yang menarik, sehingga dari sisi pembagian tentunya pemprov setempat seharusnya bisa mendapatkan hak untuk dibagi pajak bandaranya, dengan persentase tertentu yang tidak mengganggu hak dari Angkasa Pura II.
Persentase pajak bandara yang bisa dinikmati masyarakat dan pemerintah di Bali itu, dapat diperoleh dengan menghitung selisih (delta) perkembangan wisatawan yang datang ke Pulau Dewata dari tahun ke tahun.
Hal itu dapat menjadi dasar bagi Pemprov Bali untuk mengajukan dan minta bagian dari pajak bandara. Memang mestinya ada biaya-biaya khusus dialokasikan untuk Bali yang diambilkan dari wisatawan yang datang.
Achsanul Qosasi memandang wajar untuk dipertimbangkan oleh Kementerian BUMN sekaligus nantinya dapat menjadi bagian dari komitmen Pemprov Bali untuk memperbanyak wisatawan datang ke Indonesia terutama Pulau Dewata.
"Turis datang ke Bali bisa semakin banyak, pajak bandara makin besar. Itu artinya pemerintah daerah diuntungkan serta Angkasa Pura memperoleh pendapatan yang kontinyu," tutur Achsanul Qosasi, legislator dari Fraksi Demokrat.
Bandara Ngurah Rai Bali selain menerima pajak bandar udara juga menerima visa kunjungan (Visa on Arrival/VoA) dari wisatawan mancanegara yang ke Bali selama 2013 hingga September mencapai 36,6 juta dolar AS atau rata-rata 4,1 juta dolar per bulan.
Penerimaan sektor pariwisata itu selama triwulan III-2013 menghasilkan yang tertinggi yakni 18,7 juta dolar AS, seperti yang dituturkan Deputi Direktur Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III, Suarpika Bimantoro.
Penghasilan yang dipungut dari turis asing yang baru menginjakkan kakinya di pintu masuk Bali itu naik 15,14 persen dari periode sama sebelumnya 14,97 juta dolar AS. Penerimaan visa kunjungan dari orang asing yang berpelesiran ke Pulau Dewata itu cukup bagus jika dibandingkan kondisi ekonomi internasional yang ada.
Penerimaan dari sektor pariwisata sebanyak 18,7 juta dolar itu pada periode triwulan III-2013 dibayarkan oleh sekitar dua juta orang yang wajib membayar VoA saat menginjakkan kakinya di Bali. Sebab tidak semua wisatawan mancanegara yang datang ke daerah ini membayar VoA.
Sedangkan pada triwulan II-2013 penerimaan VoA hanya 14,97 juta dolar AS dari 720.114 orang. Ini artinya penerimaan VoA maupun jumlah pelancong yang datang ke Bali bertambah banyak, namun pendapatan itu sepeserpun tidak dinikmati oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta mengatakan akan segera menindaklanjuti masukan dari Pansus RUU Keuangan Negara DPR itu. "Kami akan menindaklanjuti ke Kementerian BUMN sehingga Bali bisa memperoleh pendapatan dari pajak bandara," katanya seraya berharap hal itu dapat berhasil, sehingga kelak bisa menunjang aneka kegiatan, termasuk aktivitas ritual. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Kondisi itu juga menjadi inspirasi bagi seniman, termasuk orang asing untuk menghasilkan karya yang bermutu, baik dalam bidang tabuh, tari, seni sastra, karya lukisan maupun untuk menulis buku.
Miguel Covarrubias, seorang penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko, misalnya pada tahun 1930 atau 84 tahun yang silam sempat menetap di Bali dan menulis buku berjudul "Island of Bali".
Walter Spies dan Miguel Covarrubias, dua warga negara asing yang "melarikan diri" dari Eropa pada perang dunia pertama bertemu di Bali dan akhirnya menemukan ketenangan dan kedamaian.
Mereka dengan keahliannya masing-masing memperkenalkan pesona seni budaya dan tari Bali kepada dunia barat hingga akhirnya pariwisata Bali berkembang pesat seperti sekarang, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Ketut Sumadi.
Untuk itu orang Bali termasuk para pendatang dari luar pulau wisata ini perlu memahami dengan baik tentang istilah "cakra yadnya" yang dalam implementasinya sejalan dengan konsep "karma yoga" pada ajaran agama Hindu yang dianut oleh warga desa adat (pakraman) di Pulau Dewata.
Karma yoga merupakan ajaran yang menuntun umat Hindu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus ikhlas.
Oleh karena itu, aktivitas kepariwisataan yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas tanah Bali.
Sesuai konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, umat dengan lingkungan dan Tuhan-nya yang melandasi kehidupan desa adat di Bali, maka penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci, sehingga makna religius tetap terjaga.
Warga desa adat di Bali kini tidak lagi dipusingkan oleh beban biaya untuk keperluan pelaksanaan ritual dan aktivitas sosial budaya yang telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata yang mampu memperpanjang waktu tinggal wisatawan di Pulau Dewata.
Demikian pula Bandara Ngurah Rai setiap hari disinggahi ratusan pesawat terbang dan melintas di atas Pulau Dewata termasuk pura atau tempat-tempat yang disucikan, yang dalam keyakinan orang Bali dirasakan menimbulkan pencemaran (keletehan) terhadap tempat suci.
Untuk menetralisir dampak pencemaran itu, orang Bali rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" atau "caru" sebagai tahap awal dalam setiap prosesi ritual piodalan (perayaan hari suci keagamaan) di lingkungan rumah tangga, pura (tempat suci) setiap enam bulan sekali dan di tempat-tempat tertentu secara berkala.
"Semua ritual itu memerlukan biaya yang besar dan sekarang menjadi beban berat hidup orang Bali di tengah berkembangnya pariwisata dengan meningkatnya volume lalu-lintas penerbangan di atas Pulau Dewata," tutur Ketut Sumadi.
Kearifan lokal
Ketut Sumadi mengingatkan, investor yang menanamkan modalnya di Bali, termasuk komponen pariwisata dan pengelola Bandara Internasional Ngurah Rai yang setiap hari melayani puluhan ribu orang menggunakan jasa penerbangan dipunguti airport tax atau pajak penerbangan.
Semestinya mereka yang mendapat keuntungan besar dari pariwisata termasuk pengelola Bandara Ngurah Rai tidak ragu-ragu meningkatkan kontribusinya kepada desa adat untuk melaksanakan aktivitas ritual demi menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Pulau Dewata sesuai kearifan lokal THK.
"Bukankah pungutan airport tax tidak termasuk dalam daftar pendapatan asli dalam pembiayaan pengelolaan sebuah Bandara Internasional, melainkan merupakan bentuk retribusi yang dipungut oleh pengelola bandara yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kearifan lokal penduduk lokal," tanya Dr Sumadi.
Namun terlepas dari kurangnya kontribusi para stakeholder pariwisata dan Bandara Ngurah Rai Bali kepada penduduk lokal, berkat berkembangnya pariwisata aktivitas religius di Pulau Dewata tetap dapat semakin meriah.
Masyarakat desa adat juga semakin sadar serta bergairah mengikuti setiap prosesi ritual, meski untuk itu banyak di antara mereka yang rela menjual tanah-tanah warisan leluhurnya.
Sikap kebersamaan dan penuh kegembiraan itu menunjukkan kedewasaan kaum beragama dalam iman dan amalnya, yang akhirnya berkembang menjadi masyarakat religius.
Kemeriahan dan kegairahan tersebut memang bukan merupakan hal yang bersifat hura-hura, melainkan sebagai wujud rasa bhakti (sujud dengan hati suci) warga masyarakat kepada Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka berkeyakinan bahwa jika masyarakat bhakti melaksanakan "yadnya" (pengorbanan suci), maka Tuhan berkenan (suweca) melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui industri pariwisata.
Dorong dapat bagian
Ketua Pansus RUU Keuangan Negara DPR RI, Achsanul Qosasi saat menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan di Pulau Dewata mendorong Pemerintah Provinsi Bali untuk memperjuangkan ke Kementerian BUMN supaya memperoleh bagian dari pajak bandara (airport tax) Ngurah Rai yang selama ini ditarik PT Angkasa Pura II.
Hal itu didasarkan atas wisatawan yang datang ke Bali bukan karena bandaranya yang bagus, tetapi terpikat oleh Bali yang menarik, sehingga dari sisi pembagian tentunya pemprov setempat seharusnya bisa mendapatkan hak untuk dibagi pajak bandaranya, dengan persentase tertentu yang tidak mengganggu hak dari Angkasa Pura II.
Persentase pajak bandara yang bisa dinikmati masyarakat dan pemerintah di Bali itu, dapat diperoleh dengan menghitung selisih (delta) perkembangan wisatawan yang datang ke Pulau Dewata dari tahun ke tahun.
Hal itu dapat menjadi dasar bagi Pemprov Bali untuk mengajukan dan minta bagian dari pajak bandara. Memang mestinya ada biaya-biaya khusus dialokasikan untuk Bali yang diambilkan dari wisatawan yang datang.
Achsanul Qosasi memandang wajar untuk dipertimbangkan oleh Kementerian BUMN sekaligus nantinya dapat menjadi bagian dari komitmen Pemprov Bali untuk memperbanyak wisatawan datang ke Indonesia terutama Pulau Dewata.
"Turis datang ke Bali bisa semakin banyak, pajak bandara makin besar. Itu artinya pemerintah daerah diuntungkan serta Angkasa Pura memperoleh pendapatan yang kontinyu," tutur Achsanul Qosasi, legislator dari Fraksi Demokrat.
Bandara Ngurah Rai Bali selain menerima pajak bandar udara juga menerima visa kunjungan (Visa on Arrival/VoA) dari wisatawan mancanegara yang ke Bali selama 2013 hingga September mencapai 36,6 juta dolar AS atau rata-rata 4,1 juta dolar per bulan.
Penerimaan sektor pariwisata itu selama triwulan III-2013 menghasilkan yang tertinggi yakni 18,7 juta dolar AS, seperti yang dituturkan Deputi Direktur Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III, Suarpika Bimantoro.
Penghasilan yang dipungut dari turis asing yang baru menginjakkan kakinya di pintu masuk Bali itu naik 15,14 persen dari periode sama sebelumnya 14,97 juta dolar AS. Penerimaan visa kunjungan dari orang asing yang berpelesiran ke Pulau Dewata itu cukup bagus jika dibandingkan kondisi ekonomi internasional yang ada.
Penerimaan dari sektor pariwisata sebanyak 18,7 juta dolar itu pada periode triwulan III-2013 dibayarkan oleh sekitar dua juta orang yang wajib membayar VoA saat menginjakkan kakinya di Bali. Sebab tidak semua wisatawan mancanegara yang datang ke daerah ini membayar VoA.
Sedangkan pada triwulan II-2013 penerimaan VoA hanya 14,97 juta dolar AS dari 720.114 orang. Ini artinya penerimaan VoA maupun jumlah pelancong yang datang ke Bali bertambah banyak, namun pendapatan itu sepeserpun tidak dinikmati oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta mengatakan akan segera menindaklanjuti masukan dari Pansus RUU Keuangan Negara DPR itu. "Kami akan menindaklanjuti ke Kementerian BUMN sehingga Bali bisa memperoleh pendapatan dari pajak bandara," katanya seraya berharap hal itu dapat berhasil, sehingga kelak bisa menunjang aneka kegiatan, termasuk aktivitas ritual. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014