Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah pertanian Dr. Gede Sedana mengatakan, pengembangan ekowisata di lingkungan organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
"Dengan pengembangan ekowisata itu sekaligus mampu menjadikan subak lebih berdaya dalam menghadapi masalah dan tantangan yang cenderung semakin berat," kata Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, interaksi di antara para petani yang dilandasi saling percaya didorong untuk semakin dikuatkan dan didasarkan pada aturan-aturan yang telah mereka sepakati.
Kepemimpinan subak menjadi faktor penting dalam mengkoordinasi berbagai kegiatan yang berkenaan dengan pengelolaan subak dan ekowisata di wilayah subak masing-masing.
Gede Sedana menambahkan, kemampuan pengelolaan ekowisata dalam subak mencakup aspek kemitraan dengan pihak lain, seperti pelaku pariwisata.
Kerja keras dan perjuangan berbagai pihak di Bali membuahkan hasil dengan dikukuhkannya subak dan tiga kawasan lainnya yang merupakan satu-satuan Warisan Budaya Dunia (WBD).
Keputusan dan pengukuhan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) mendapat apresiasi dari pemerintah dan masyarakat Bali.
"Namun di balik prestasi yang diraih itu mengandung beban moral dan tanggung jawab yang sangat berat dari seluruh komponen dan masyarakat Bali untuk mampu menjaga serta melestarikan subak," ujar Gede Sedana.
Namun keberadaan subak kini semakin menghadapi desakan dan tantangan akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
UNESCO menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Badung serta daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli, sebagai satu kesatuan, ujar Gede Sedana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Dengan pengembangan ekowisata itu sekaligus mampu menjadikan subak lebih berdaya dalam menghadapi masalah dan tantangan yang cenderung semakin berat," kata Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, interaksi di antara para petani yang dilandasi saling percaya didorong untuk semakin dikuatkan dan didasarkan pada aturan-aturan yang telah mereka sepakati.
Kepemimpinan subak menjadi faktor penting dalam mengkoordinasi berbagai kegiatan yang berkenaan dengan pengelolaan subak dan ekowisata di wilayah subak masing-masing.
Gede Sedana menambahkan, kemampuan pengelolaan ekowisata dalam subak mencakup aspek kemitraan dengan pihak lain, seperti pelaku pariwisata.
Kerja keras dan perjuangan berbagai pihak di Bali membuahkan hasil dengan dikukuhkannya subak dan tiga kawasan lainnya yang merupakan satu-satuan Warisan Budaya Dunia (WBD).
Keputusan dan pengukuhan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) mendapat apresiasi dari pemerintah dan masyarakat Bali.
"Namun di balik prestasi yang diraih itu mengandung beban moral dan tanggung jawab yang sangat berat dari seluruh komponen dan masyarakat Bali untuk mampu menjaga serta melestarikan subak," ujar Gede Sedana.
Namun keberadaan subak kini semakin menghadapi desakan dan tantangan akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
UNESCO menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Badung serta daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli, sebagai satu kesatuan, ujar Gede Sedana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014