Denpasar (Antara Bali) - Anggota DPR RI Gde Sumarjaya Linggih berpendapat rencana pembangunan bandar udara baru di Kabupaten Buleleng lebih tepat jika dibangun di kawasan Kubutambahan karena sekaligus dapat mengangkat perekonomian dua kabupaten lainnya.
"Dilihat secara sosio-ekonomi, paling tepat dibangun di daerah tengah (Kubutambahan) dibandingkan di Sumberkima atau kawasan barat Buleleng. Di Kubutambahan selain dekat dengan berbagai tempat wisata juga dekat dengan kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Bangli dan Karangasem," katanya, di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, harus dipertimbangkan manfaat adanya bandara baru tidak saja bagi Buleleng sendiri, namun juga bagi Kabupaten Bangli yang masih banyak menyisakan penduduk miskin, maupun kawasan kering di daerah Kubu, Kabupaten Karangasem yang penduduknya sulit mencari penghidupan.
"Selain itu, secara sosial, penduduk miskin kita lebih banyak berada di kawasan Bali timur. Kalau pembangunan bandara baru di kawasan barat Buleleng, saya pikir orang lain yang akan menikmati manfaatnya dan bukan masyarakat Bali," ujarnya yang juga anggota Badan Anggaran DPR itu.
Berkaca dari kemajuan perekonomian di Bali selatan, tambah dia, itu disebabkan karena adanya bandara. Pertumbuhan ekonomi akan tinggi jika ada bandara. Oleh karena itu, semestinya pembangunan bandara yang baru di Bali utara itu dibangun pada tempat-tempat yang saat ini pertumbuhan ekonominya rendah dan masih banyak penduduk miskinnya.
Di sisi lain, pria yang akrab disapa Demer itu mengatakan bandara baru harus segera dibangun karena diprediksikan Bandara Internasional Ngurah Rai di Kabupaten Badung saat ini akan jenuh pada 2018.
"Perbaikan yang telah dilakukan baru dari segi terminal dan bukan dari sisi landasan pacu maupun parkir pesawat yang sebenarnya kedua hal itu menentukan kapasitas bandara," ucapnya.
Saat ini, tambah dia, kenaikan pertumbuhan penerbangan di Ngurah Rai sekitar 17 persen per tahun. Kalau bandara itu sudah jenuh pada 2018, akan berdampak besar menyebabkan harga tiket pesawat semakin mahal dan perang tarif hotel dengan okupansi yang makin rendah.
"Kalau sudah terjadi perang tarif hotel, situasinya akan mirip ketika terjadi tragedi Bom Bali beberapa tahun silam. Nanti akan banyak masyarakat kita yang menganggur dan pekerja pariwisata diistirahatkan sementara dari tempatnya bekerja," kata Demer.
Ia pun tidak memungkiri, pembangunan bandara selain harus mempertimbangkan sosio-ekonomi, pun tidak boleh mengesampingkan dari sisi teknis keselamatan penerbangan. "Kalau pemikiran teknis, tentu harus ada hitung-hitungannya dari sisi arah angin, kedekatan dengan pegunungan, kontur tanah dan sebagainya," ujarnya.
Hingga saat ini, lokasi pembangunan bandara baru di Buleleng belum ditentukan, ada dua pilihan yang mengerucut yakni di Sumberkima dan Kubutambahan, Buleleng. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Dilihat secara sosio-ekonomi, paling tepat dibangun di daerah tengah (Kubutambahan) dibandingkan di Sumberkima atau kawasan barat Buleleng. Di Kubutambahan selain dekat dengan berbagai tempat wisata juga dekat dengan kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Bangli dan Karangasem," katanya, di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, harus dipertimbangkan manfaat adanya bandara baru tidak saja bagi Buleleng sendiri, namun juga bagi Kabupaten Bangli yang masih banyak menyisakan penduduk miskin, maupun kawasan kering di daerah Kubu, Kabupaten Karangasem yang penduduknya sulit mencari penghidupan.
"Selain itu, secara sosial, penduduk miskin kita lebih banyak berada di kawasan Bali timur. Kalau pembangunan bandara baru di kawasan barat Buleleng, saya pikir orang lain yang akan menikmati manfaatnya dan bukan masyarakat Bali," ujarnya yang juga anggota Badan Anggaran DPR itu.
Berkaca dari kemajuan perekonomian di Bali selatan, tambah dia, itu disebabkan karena adanya bandara. Pertumbuhan ekonomi akan tinggi jika ada bandara. Oleh karena itu, semestinya pembangunan bandara yang baru di Bali utara itu dibangun pada tempat-tempat yang saat ini pertumbuhan ekonominya rendah dan masih banyak penduduk miskinnya.
Di sisi lain, pria yang akrab disapa Demer itu mengatakan bandara baru harus segera dibangun karena diprediksikan Bandara Internasional Ngurah Rai di Kabupaten Badung saat ini akan jenuh pada 2018.
"Perbaikan yang telah dilakukan baru dari segi terminal dan bukan dari sisi landasan pacu maupun parkir pesawat yang sebenarnya kedua hal itu menentukan kapasitas bandara," ucapnya.
Saat ini, tambah dia, kenaikan pertumbuhan penerbangan di Ngurah Rai sekitar 17 persen per tahun. Kalau bandara itu sudah jenuh pada 2018, akan berdampak besar menyebabkan harga tiket pesawat semakin mahal dan perang tarif hotel dengan okupansi yang makin rendah.
"Kalau sudah terjadi perang tarif hotel, situasinya akan mirip ketika terjadi tragedi Bom Bali beberapa tahun silam. Nanti akan banyak masyarakat kita yang menganggur dan pekerja pariwisata diistirahatkan sementara dari tempatnya bekerja," kata Demer.
Ia pun tidak memungkiri, pembangunan bandara selain harus mempertimbangkan sosio-ekonomi, pun tidak boleh mengesampingkan dari sisi teknis keselamatan penerbangan. "Kalau pemikiran teknis, tentu harus ada hitung-hitungannya dari sisi arah angin, kedekatan dengan pegunungan, kontur tanah dan sebagainya," ujarnya.
Hingga saat ini, lokasi pembangunan bandara baru di Buleleng belum ditentukan, ada dua pilihan yang mengerucut yakni di Sumberkima dan Kubutambahan, Buleleng. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014