Denpasar (Antara Bali) - Kesenian Gambuh yang menjadi dasar seni tari yang diwarisi secara turun-temurun di Bali, hingga kini diperkirakan telah berumur lima abad dan bahkan tetap lestari di Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.

"Jenis kesenian klasik itu diperkirakan sudah ada tahun 1528 masehi, sehingga sudah mencapai umur lima abad," kata I Wayan Sucipta, mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Selasa.

Ia melakukan penelitian dan pengkajian terhadap kesenian Gambuh di Desa Kedisan sebagai persyaratan meraih gelar S-1 dan mempertanggungjawabkan di hadapan tim dosen penguji lembaga pendidikan tinggi seni tersebut.

Kesenian Gambuh di Desa Kedisan itu diperkirakan ada sejak tahun 1528 masehi dan merupakan kesenian paling tua di antara jenis tabuh dan tari yang berkembang di Pulau Dewata.

Dalam hasil kajian yang berjudul "Eksistensi Seni Pertunjukan Gambuh di Desa Kedisan", Wayan Sucipta menjelaskan, kesenian Gambuh Kaga Wana Giri di Desa Kedisan sejalan terbentuknya desa tersebut yang diperkirakan kini telah berumur 482 tahun.

Hal itu berawal datangnya I Gusti Kacang Dawa yang disertai putranya Ki Pasek Gelgel Aan yang berbekal hiasan kepala "Gelungan Panji" sebagai tanda kesaktian yang hingga kini masih tersimpan dan disakralkan masyarakat setempat.

Kesenian gambuh tersebut lebih banyak mengalami perubahan dibanding perkembangannya. Meskipun jenis kesenian klasik itu hingga sekarang tetap lestari, namun anggotanya hanya 25 orang, termasuk penabuh dan penari.

Instrumen terdiri atas empat buah suling, sepasang kendang krumpungan, satu buah rebab, satu buah kajar, sebuah ceng-ceng ricik, sebuah klenang dan sebuah kenyur.

Kesenian tersebut hanya dipentaskan untuk kelengkapan ritual Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya, yang secara tidak langsung juga menjadi hiburan masyarakat maupun wisatawan dalam menikmati liburan di Pulau Dewata, ujar Wayan Sucipta.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010