Oleh Masuki M. Astro
Seoul (Antara Bali) - Tiga bulan pertama menjadi dosen tamu di "Hankuk University of Foreign Studies" atau HUFS, Maman S Mahayana mengaku stres berat. Kalau saja tidak malu untuk menangis di depan kelas, maka pilihan itu akan diambilnya untuk mengungkapkan rasa sedih.
"Sebetulnya saya menangis juga, tetapi tidak meneteskan air mata," kata kritikus sastra itu ketika ditemui di kampus HUFS di Seoul, Korea Selatan, baru-baru ini.
Maman menceritakan bagaimana kelugasan orang Korea Selatan mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain. Demikian juga terhadap mata pelajaran di kampus kalau si mahasiswa tidak suka. Tidak jarang mahasiswa itu keluar kelas karena merasa sulit mempelajari Bahasa Indonesia.
"Saya sangat sedih dan sebagai dosen merasa terhina mendapati kenyataan seperti itu. Karenanya saya terus memperbaiki cara mengajar dan pelan-pelan saya beri tahu mahasiswa bahwa cara seperti itu tidak bagus. Ada cara lain mengungkapkan ketidaksukaan agar orang lain tidak tersinggung," kata dosen Universitas Indonesia yang mulai mengajar di HUFS sejak Agustus 2009.
Penulis produktif ini mulai melakukan berbagai upaya untuk mengatasi mahasiswa yang merasa sulit mempelajari Bahasa Indonesia. Ia kemudian menemukan cara, yakni pendekatan di luar kelas. Dia mengundang mahasiswa itu untuk makan bersama di rumahnya. Ternyata cara itu berhasil memancing para mahasiswa yang kesulitan untuk berani berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Cara itu cukup efektif. Apalagi ajaran Konfusianisme masih dipegang teguh dalam tradisi masyarakat Korea, khususnya penghormatan terhadap guru dan senior. Ketidaksukaan pada dosen dan pelajaran mulai berkurang.
Awalnya mahasiswa menganggap aneh dengan pendekatan seperti itu. Namun, lama-kelamaan hal tersebut bisa dipahami. Sangat jarang dosen di Korea mengundang mahasiswanya bertandang ke rumahnya.
"Intinya adalah bagaimana menumbuhkan keberanian mahasiswa untuk berbicara. Ini juga menyadarkan saya bahwa belajar bahasa asing itu yang penting berani bicara dulu, bukan soal tata bahasanya. Saya ingat waktu belajar Bahasa Inggris pertama kali langsung dijejali dengan tata bahasa, itu tidak efektif," kata pria yang lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957 ini.
Mengenai pendekatan undangan ke rumah, para mahasiswa kemudian menjadi paham, bagaimana pola hubungan sosial di tengah masyarakat Indonesia yang selalu ingin dekat satu sama lain. Hal itu dipahami para mahasiswa Korea ketika mereka menjalani tugas belajar ke Indonesia selama satu semester.
Oleh karena itu, mereka kemudian tidak merasa aneh ketika bertemu seseorang yang kemudian menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah diketahui. Misalnya, bertanya apakah mau kuliah ketika melihat seseorang berangkat ke kampus. Di Korea budaya sapaan seperti itu menjadi aneh karena akan dianggap memasuki wilayah pribadi.
"Baru pada tahun kedua saya menikmati mengajar di Korea ini. Setiap semester ada penilaian dari mahasiswa terhadap dosen. Saya termasuk yang tertinggi nilainya. Mungkin karena pendekatan seperti itu. Saya juga sudah menyusun buku-buku pelajaran untuk memudahkan mereka belajar. Dalam kaitan ini teks bacaan untuk mahasiswa ditarik ke latar budaya di Indonesia," kata penulis belasan buku, antara lain "Pengarang Tidak Mati" ini.
Ikatan batin tidak saja terjalin saat di bangku kuliah. Ketika sudah lulus pun banyak mahasiswa Maman yang memberikan perhatian, terutama pada hari-hari khusus, seperti hari guru. Para mahasiswanya itu selalu mengirim secarik kertas berisi ucapan selamat.
"Saya suka semuanya tentang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia, lagu-lagu Indonesia, film Indonesia, lingkungan yang indah di Indonesia, dan lain-lain. Yang paling bagus adalah orang Indonesia yang baik hati, seperti keluarga Anda," demikian tulis Jung Hwa Sun, salah seorang lulusan HUFS dalam suratnya kepada Maman pada tanggal 30 Mei 2010.
Inilah tangisan lain dari Maman saat di Korea. Kalau pengabdiannya diawali dengan tangisan sedih, kali ini justru tangis haru. Surat-surat singkat itu sengaja disimpan oleh Maman sebagai kenang-kenangan betapa hubungan dirinya dengan orang Korea hanya berjarak dalam soal negara.
Profesor Koh Young Hun, PhD, dosen sastra Indonesia di HUFS mengatakan bahwa Maman memiliki tempat tersendiri di hati para mahasiswa, baik yang reguler maupun program singkat untuk para manajer di grup perusahaan, seperti Lotte.
"Pak Maman mengundang mahasiswa dan makan bersama masakan istrinya itu membuat mahasiswa dekat dengan dosen. Itu juga efektif," kata penulis buku "Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia" ini.
Pengelola laman www.koreana.or.kr versi Bahasa Indonesia ini mengemukakan bahwa Maman telah berperan besar dalam ikut memajukan Jurusan Bahasa Indonesia/Melayu di HUFS.
Tugas yang diperankan oleh Maman selama di Korea Selatan bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai "jembatan" dua negara. Lewat teks berkonteks budaya Maman membuka wawasan dan pengertian orang Korea untuk memahami Indonesia dan masyarakatnya.
Misalnya, penggunaan tangan kiri untuk berkomunikasi yang di Indonesia dianggap tidak sopan atau soal minuman keras yang di Korea Selatan sendiri sebagai "bahasa gaul" dalam pertemanan. Demikian juga soal mengapa orang Indonesia yang Muslim tidak mengonsumsi daging babi.
"Itu terasa aneh bagi orang Korea. Mengapa daging babi tidak boleh dimakan? Saya jelaskan bahwa itu dilarang oleh agama. Lama-lama mereka mengerti," kata penerima tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005 itu.
Maman yang beberapa kali terpilih sebagai peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia, penulis makalah terproduktif dan penerima anugerah sastra Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) ke-5 ini juga menjadi "jembatan" bagi warga Indonesia yang ingin memahami orang Korea Selatan.
Editor puluhan buku ini misalnya menjelaskan kepada warga Indonesia bagaimana orang Korea Selatan sangat menghargai waktu, kejujuran, dan kehormatan begitu dijunjung tinggi dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, dia selalu menekankan pentingnya tepat waktu jika berjanji dengan orang Korea.
Beberapa kali dia mengalami rasa malu ketika rombongan dari Indonesia berjanji datang ke kampus HUFS. Namun, sering kali tidak tepat waktu. Waktu bagi orang Korea menjadi sangat penting, yang mungkin saja perubahan cuaca yang ekstrem dan cepat ikut memengaruhi.
"Kalau tidak cepat, orang Korea akan merasa kehilangan waktu di suatu musim yang kemudian berganti ke musim lain. Budaya cepat-cepat di Korea dikenal dengan sebutan palli-palli," katanya.
Mengenai ketepatan waktu, Maman mengaku teringat selama menjadi dosen di Indonesia. Dia mengajar di kampus UI sejak 1985 hingga 2009 dan selama itu dia banyak "membolos" karena ada kegiatan di luar atau sering terlambat.
Bukannya dipersoalkan, justru mahasiswa sangat senang jika dosen tidak masuk atau terlambat. Bahkan, tidak jarang mahasiswa bertanya kapan terlambat atau bolos jika Maman terlalu rajin mengajar.
"Jadi, kalau satu bulan tidak pernah tidak masuk, justru mahasiswa bertanya. Sebaliknya, ketika di Korea saya tidak pernah membolos atau terlambat. Kalau saya membolos atau terlambat, mahasiswa justru marah," kata ayah dari tiga anak itu.
Maman tidak bisa menjawab dengan pasti ketika ditanya apakah pengalaman empat tahun lebih di Korea itu, terutama mengenai disiplin waktu bisa dibawa ke Indonesia. Ia hanya menjawab dengan senyuman dan kata singkat, "Ya, itu masalahnya."
Ditanya mengenai pola hubungan Korea Selatan dengan Indonesia agar terjadi keseimbangan dalam menerima manfaat, Maman menyarankan agar Pemerintah melihat Korea sebagai peluang untuk memasarkan produk alam dari Indonesia.
Salah satunya adalah kopi. Selama ini masyarakat Korea Selatan dikenal sebagai peminum kopi dan suplainya dari negara-negara Eropa atau dari Afrika. Kopi Indonesia belum banyak dikenal, padahal ragamnya cukup banyak. Indonesia juga merupakan penghasil emas dan mutiara yang bisa dibawa ke Korea.
"Itu salah satu aspek saja, padahal kita memiliki banyak produk alam yang bisa dijual. Atau, dari sisi lain, anak muda kita harus banyak memanfaatkan peluang beasiswa di Korea Selatan. Sesuatu yang tidak kalah penting adalah kita mengambil inspirasi dari Korea soal pendidikan, etos kerja, dan mental yang mengedepankan kejujuran dan lainnya," katanya.
Menurut dia, bagaimana bangsa Indonesia yang saat ini mulai banyak diketahui oleh orang Korea sebagai negara besar, menghargai betul potensinya tersebut. Orang Korea dengan sumber daya alam terbatas sangat menghargai keterbatasannya itu.
"Orang dan pemerintah Korea melihat Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa maju. Kita harus menghargai betul kebesaran diri kita ini," katanya. (*/M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Seoul (Antara Bali) - Tiga bulan pertama menjadi dosen tamu di "Hankuk University of Foreign Studies" atau HUFS, Maman S Mahayana mengaku stres berat. Kalau saja tidak malu untuk menangis di depan kelas, maka pilihan itu akan diambilnya untuk mengungkapkan rasa sedih.
"Sebetulnya saya menangis juga, tetapi tidak meneteskan air mata," kata kritikus sastra itu ketika ditemui di kampus HUFS di Seoul, Korea Selatan, baru-baru ini.
Maman menceritakan bagaimana kelugasan orang Korea Selatan mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain. Demikian juga terhadap mata pelajaran di kampus kalau si mahasiswa tidak suka. Tidak jarang mahasiswa itu keluar kelas karena merasa sulit mempelajari Bahasa Indonesia.
"Saya sangat sedih dan sebagai dosen merasa terhina mendapati kenyataan seperti itu. Karenanya saya terus memperbaiki cara mengajar dan pelan-pelan saya beri tahu mahasiswa bahwa cara seperti itu tidak bagus. Ada cara lain mengungkapkan ketidaksukaan agar orang lain tidak tersinggung," kata dosen Universitas Indonesia yang mulai mengajar di HUFS sejak Agustus 2009.
Penulis produktif ini mulai melakukan berbagai upaya untuk mengatasi mahasiswa yang merasa sulit mempelajari Bahasa Indonesia. Ia kemudian menemukan cara, yakni pendekatan di luar kelas. Dia mengundang mahasiswa itu untuk makan bersama di rumahnya. Ternyata cara itu berhasil memancing para mahasiswa yang kesulitan untuk berani berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Cara itu cukup efektif. Apalagi ajaran Konfusianisme masih dipegang teguh dalam tradisi masyarakat Korea, khususnya penghormatan terhadap guru dan senior. Ketidaksukaan pada dosen dan pelajaran mulai berkurang.
Awalnya mahasiswa menganggap aneh dengan pendekatan seperti itu. Namun, lama-kelamaan hal tersebut bisa dipahami. Sangat jarang dosen di Korea mengundang mahasiswanya bertandang ke rumahnya.
"Intinya adalah bagaimana menumbuhkan keberanian mahasiswa untuk berbicara. Ini juga menyadarkan saya bahwa belajar bahasa asing itu yang penting berani bicara dulu, bukan soal tata bahasanya. Saya ingat waktu belajar Bahasa Inggris pertama kali langsung dijejali dengan tata bahasa, itu tidak efektif," kata pria yang lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957 ini.
Mengenai pendekatan undangan ke rumah, para mahasiswa kemudian menjadi paham, bagaimana pola hubungan sosial di tengah masyarakat Indonesia yang selalu ingin dekat satu sama lain. Hal itu dipahami para mahasiswa Korea ketika mereka menjalani tugas belajar ke Indonesia selama satu semester.
Oleh karena itu, mereka kemudian tidak merasa aneh ketika bertemu seseorang yang kemudian menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah diketahui. Misalnya, bertanya apakah mau kuliah ketika melihat seseorang berangkat ke kampus. Di Korea budaya sapaan seperti itu menjadi aneh karena akan dianggap memasuki wilayah pribadi.
"Baru pada tahun kedua saya menikmati mengajar di Korea ini. Setiap semester ada penilaian dari mahasiswa terhadap dosen. Saya termasuk yang tertinggi nilainya. Mungkin karena pendekatan seperti itu. Saya juga sudah menyusun buku-buku pelajaran untuk memudahkan mereka belajar. Dalam kaitan ini teks bacaan untuk mahasiswa ditarik ke latar budaya di Indonesia," kata penulis belasan buku, antara lain "Pengarang Tidak Mati" ini.
Ikatan batin tidak saja terjalin saat di bangku kuliah. Ketika sudah lulus pun banyak mahasiswa Maman yang memberikan perhatian, terutama pada hari-hari khusus, seperti hari guru. Para mahasiswanya itu selalu mengirim secarik kertas berisi ucapan selamat.
"Saya suka semuanya tentang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia, lagu-lagu Indonesia, film Indonesia, lingkungan yang indah di Indonesia, dan lain-lain. Yang paling bagus adalah orang Indonesia yang baik hati, seperti keluarga Anda," demikian tulis Jung Hwa Sun, salah seorang lulusan HUFS dalam suratnya kepada Maman pada tanggal 30 Mei 2010.
Inilah tangisan lain dari Maman saat di Korea. Kalau pengabdiannya diawali dengan tangisan sedih, kali ini justru tangis haru. Surat-surat singkat itu sengaja disimpan oleh Maman sebagai kenang-kenangan betapa hubungan dirinya dengan orang Korea hanya berjarak dalam soal negara.
Profesor Koh Young Hun, PhD, dosen sastra Indonesia di HUFS mengatakan bahwa Maman memiliki tempat tersendiri di hati para mahasiswa, baik yang reguler maupun program singkat untuk para manajer di grup perusahaan, seperti Lotte.
"Pak Maman mengundang mahasiswa dan makan bersama masakan istrinya itu membuat mahasiswa dekat dengan dosen. Itu juga efektif," kata penulis buku "Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia" ini.
Pengelola laman www.koreana.or.kr versi Bahasa Indonesia ini mengemukakan bahwa Maman telah berperan besar dalam ikut memajukan Jurusan Bahasa Indonesia/Melayu di HUFS.
Tugas yang diperankan oleh Maman selama di Korea Selatan bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai "jembatan" dua negara. Lewat teks berkonteks budaya Maman membuka wawasan dan pengertian orang Korea untuk memahami Indonesia dan masyarakatnya.
Misalnya, penggunaan tangan kiri untuk berkomunikasi yang di Indonesia dianggap tidak sopan atau soal minuman keras yang di Korea Selatan sendiri sebagai "bahasa gaul" dalam pertemanan. Demikian juga soal mengapa orang Indonesia yang Muslim tidak mengonsumsi daging babi.
"Itu terasa aneh bagi orang Korea. Mengapa daging babi tidak boleh dimakan? Saya jelaskan bahwa itu dilarang oleh agama. Lama-lama mereka mengerti," kata penerima tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005 itu.
Maman yang beberapa kali terpilih sebagai peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia, penulis makalah terproduktif dan penerima anugerah sastra Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) ke-5 ini juga menjadi "jembatan" bagi warga Indonesia yang ingin memahami orang Korea Selatan.
Editor puluhan buku ini misalnya menjelaskan kepada warga Indonesia bagaimana orang Korea Selatan sangat menghargai waktu, kejujuran, dan kehormatan begitu dijunjung tinggi dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, dia selalu menekankan pentingnya tepat waktu jika berjanji dengan orang Korea.
Beberapa kali dia mengalami rasa malu ketika rombongan dari Indonesia berjanji datang ke kampus HUFS. Namun, sering kali tidak tepat waktu. Waktu bagi orang Korea menjadi sangat penting, yang mungkin saja perubahan cuaca yang ekstrem dan cepat ikut memengaruhi.
"Kalau tidak cepat, orang Korea akan merasa kehilangan waktu di suatu musim yang kemudian berganti ke musim lain. Budaya cepat-cepat di Korea dikenal dengan sebutan palli-palli," katanya.
Mengenai ketepatan waktu, Maman mengaku teringat selama menjadi dosen di Indonesia. Dia mengajar di kampus UI sejak 1985 hingga 2009 dan selama itu dia banyak "membolos" karena ada kegiatan di luar atau sering terlambat.
Bukannya dipersoalkan, justru mahasiswa sangat senang jika dosen tidak masuk atau terlambat. Bahkan, tidak jarang mahasiswa bertanya kapan terlambat atau bolos jika Maman terlalu rajin mengajar.
"Jadi, kalau satu bulan tidak pernah tidak masuk, justru mahasiswa bertanya. Sebaliknya, ketika di Korea saya tidak pernah membolos atau terlambat. Kalau saya membolos atau terlambat, mahasiswa justru marah," kata ayah dari tiga anak itu.
Maman tidak bisa menjawab dengan pasti ketika ditanya apakah pengalaman empat tahun lebih di Korea itu, terutama mengenai disiplin waktu bisa dibawa ke Indonesia. Ia hanya menjawab dengan senyuman dan kata singkat, "Ya, itu masalahnya."
Ditanya mengenai pola hubungan Korea Selatan dengan Indonesia agar terjadi keseimbangan dalam menerima manfaat, Maman menyarankan agar Pemerintah melihat Korea sebagai peluang untuk memasarkan produk alam dari Indonesia.
Salah satunya adalah kopi. Selama ini masyarakat Korea Selatan dikenal sebagai peminum kopi dan suplainya dari negara-negara Eropa atau dari Afrika. Kopi Indonesia belum banyak dikenal, padahal ragamnya cukup banyak. Indonesia juga merupakan penghasil emas dan mutiara yang bisa dibawa ke Korea.
"Itu salah satu aspek saja, padahal kita memiliki banyak produk alam yang bisa dijual. Atau, dari sisi lain, anak muda kita harus banyak memanfaatkan peluang beasiswa di Korea Selatan. Sesuatu yang tidak kalah penting adalah kita mengambil inspirasi dari Korea soal pendidikan, etos kerja, dan mental yang mengedepankan kejujuran dan lainnya," katanya.
Menurut dia, bagaimana bangsa Indonesia yang saat ini mulai banyak diketahui oleh orang Korea sebagai negara besar, menghargai betul potensinya tersebut. Orang Korea dengan sumber daya alam terbatas sangat menghargai keterbatasannya itu.
"Orang dan pemerintah Korea melihat Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa maju. Kita harus menghargai betul kebesaran diri kita ini," katanya. (*/M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013