Tok.. tak.. tok.. suara yang timbul dari belasan, ratusan bahkan ribuan tongkat kayu saat digabungkan menjadi satu dalam tradisi mekotek yang dilakukan masyarakat Desa Pekraman (Adat) Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.

Masyarakat setempat secara turun temurun mewarisi tradisi unik dan menarik pada perayaan Hari Raya Kuningan, rangkaian Hari Raya Galungan dalam memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) pada akhir pekan lalu (2/11).

Kegiatan yang digelar setiap 210 hari sekali itu melibatkan seluruh warga adat Canggu usia 13 tahun ke atas, masing-masing mengenakan busana adat Bali, sambil membawa tongkat kayu pulet sepanjang 3,5 meter.

Saat ratusan bahkan ribuan tongkat itu bersatu pada ujungnya, yang pada bagian bawahnya tetap dipegang oleh masing-masing yang membawanya, seorang bahkan lebih mencoba untuk memanjat hingga ke ujung tongkat.

Ketika sejumlah orang memanjat tongkat yang diiringi dengan alunan instrumen musik tradisional gong blaganjur yang bertalu-talu itulah terjadi atraksi yang unik, menarik sekaligus menegangkan.

Puluhan anak-anak muda memang berebut untuk memanjatnya, sehingga yang memegang tongkat tidak kuat menahan beban puncak yang terlalu berat, sehingga yang memanjat hingga ke puncak tongkat terjatuh.

Korban yang jatuh itu oleh ratusan pemegang tongkat bisa diatur atas komando seseorang, sehingga mereka yang berhasil naik ke atas tongkat bisa saja dikerjain untuk dijatuhkan di saluran irigasi subak yang ada di desa sekitarnya.

Korban yang merasa dipermainkan itu tidak boleh merasa marah, justru diantara mereka, termasuk penonton tampak riang gembira sambil bersorak-sorak -- mekotek.. mekotek.. mekotek.

Kegiatan itu dipercaya untuk memohon keselamatan seluruh warga desa adat, sekaligus sebagai penolak bala yang digelar sejak tahun 1932 atau 81 tahun yang silam hingga sekarang tetap lestari, digelar secara berkesinambungan setiap 210 hari saat perayaan hari Suci Kuningan, tutur Kepala Desa Munggu, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung I Ketut Darta.

Tradisi unik dan menarik itu konon dulu pernah dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda karena dianggap bisa menimbulkan pemberontakan, karena ratusan warga membawa kayu bersama-sama.

Ketika tradisi ritual itu tidak digelar masyarakat desa tertimpa wabah penyakit yang akhirnya digelar hingga sekarang secara berkesinambungan setiap hari Raya Kuningan.

Ketua Program Studi Pascasarjana (S-3) Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi menjelaskan, sejumlah desa pekraman di Bali mewarisi tradisi yang khas dan unik pada Hari Raya Kuningan.

Desa Adat Klusa di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar misalnya menggelar tajen (sabung ayam) massal yang melibatkan seluruh warga setempat selama 35 hari di Pura Hyang Api desa setempat.

Demikian pula desa adat Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan mempunyai tradisi menggelar tajen di halaman pura Dukuh setempat yang dipercaya mempunyai makna bagi kehidupan masyarakat setempat.



Mesuryak

Sementara warga masyarakat desa adat Bongan Gede, Kabupaten Tabanan memiliki tradisi yang tidak kalah menariknya "Mesuryak" atau bergembira ria bersama, sambil menghamburkan uang ke udara, yang bermakna mengantar kembali leluhurnya ke alam nirwana.

Tradisi yang diawali dengan kegiatan ritual di masing-masing keluarga itu menurut Kepala Dusun Adat Bongan Gede, I Made Wardana, merupakan puncak dari perayaan Galungan dan Kuningan dengan cara melempar uang ke udara secara bersamaan, dan di pihak lain bersiap-siap menangkapnya, dan hal itu telah dilakukan secara turun temurun.

Masyarakat setempat percaya dan yakin ritual "Mesuryak" mampu mengantarkan kelulurnya yang turun ke bumi Dewata selama sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan kembali ke sorga dengan lapang dada, karena melihat keturunannya bergembira, saat melepasnya kembali ke alam sorga.

Dulunya atraksi "Mesuryak" hanya dengan melempar uang kepeng ke udara. Namun seiring dengan perkembangan, di mana uang kepeng semakin sulit diperoleh diganti dengan uang dengan nilai nominal Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, Rp20.000, Rp50.000 bahkan lembaran Rp100.000.

Melempar uang ke udara yang kemudian direbut oleh warga lainnya yang tidak bisa diminta kembali, tergantung dari keikhlasan dan kemampuan dari masing-masing keluarga.

Bahkan ada dari keluarga yang mampu pada tradisi "Mesuryak" itu menghambur-hamburan uang sampai jutaan rupiah, yang secara otomatis luapan kegembiraan semakin seru, mengundang warga lainnya dari semua umur untuk ikut berebut dalam "hujan uang" itu.

Meskipun demikian tetap mengutamakan keselamatan warga, jangan sampai ada yang terjatuh dan terinjak hingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, ujar I Made Wardana.



Menyama beraya

Dr Ketut Sumadi, alumnus program pascasarjana Universitas Udayana menjelaskan, leluhur orang Bali memang tidak pernah berpikir untuk menyeragamkan seni budaya sehingga sekitar 1.453 desa adat (pekraman) di delapan kabupaten dan satu kota di Bali mewarisi kekhasan budaya masing-masing.

Di antara ribuan desa adat itu mewarisi tradisi yang beragam, tidak ada yang yang sama satu sama lainnya. Masyarakat Bali dalam kehidupan bermasyarakat, lebih mengedepankan kearifan lokal prilaku yang bermakna sosial.

Dalam aktivitas sehari-hari lebih mengutamakan kebersamaan yang dikenal dengan "menyama braya" yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan. Sikap "menyama braya" orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu Tat Twam Asi  yang berarti hidup rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang.

Sikap "menyama braya" sejalan dengan pengamalan yang lebih luas mempunyai makna maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam keutuhan NKRI.

Demikian pula dalam kehidupan desa adat yang kokoh dan lestari hingga sekarang, orang Bali selalu bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam membangun kehidupan harmonis dan bahagia, dengan selalu bekerja sama dalam suka maupun duka.

Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis itu dipopulerkan dengan konsep "Tri Hita Karana" karena tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun juga memelihara hubungan harmonis dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian pada akhirnya bentuk pengamalan aktivtas keseharian itu tidak bisa lepas dari kebudayaan dan adat-istiadat yang kini menjadi daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri, ujar Ketut Sumadi.  (WRA) 

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gede Wira Suryantala


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013