Denpasar (Antara Bali) - Setelah konsep Nyepi yakni kehidupan yang hening, damai tanpa polusi yang dilakoni masyarakat Bali tanpa aktivitas sehari penuh pada peralihan Tahun Baru Saka berhasil ditawarkan kepada 168 negara saat Konferensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCCC) berlangsung di Pulau Dewata enam tahun silam.

Kini kearifan lokal Bali Tri Hita Karana (THK) untuk mendukung pembangunan dunia khususnya sektor pariwisata yang berkelanjutan kembali menjadi salah satu tawaran Indonesia kepada negara anggota Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) yang tengah berlangsung di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung.

Indonesia menawarkan konsep kehidupan yang harmonis dan serasi antara tiga elemen yakni sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

"Kita tawarkan THK sebagai filosofi yang bisa menjadi konsep besar pembangunan berkelanjutan yang dikembangkan setelah MDGs," tutur Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu.

Tri Hita Karana konsep masyarakat Pulau Dewata yang diwarisi secara turun temurun dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari dalam tiga elemen yang satu sama lainnya saling mendukung.

Nilai filosofis masyarakat Bali yang selama ini telah dikembangkan untuk menjaga dan menjamin perkembangan pembangunan masa depan, termasuk penjabaran dalam kehidupan yang rukun dan harmonis berdampingan satu sama lainnya antarumat beragama.

Kondisi itu diperkaya pula dengan konsep "Menyama braya" yakni kehidupan dengan persaudaraan yang akrab dan harmonis, hidup berdampingan lintas agama yang satu sama lainnya saling menghargai dan menghormati.

"Konsep Tri Hita Karana itu sesuai dengan agenda pascapembangunan 2015 setelah `Millenium Development Goals` (MDGs) dan prioritas kerja sama APEC. Pembangunan berkelanjutan itu tidak ada bedanya dengan MDGs, namun lebih komprehensif," ujar Mari Elka Pangestu.

Dengan demikian salah satu kearifan lokal Bali tidak hanya menjaga lingkungan, namun memelihara berbagai aspek kehidupan mulai dari bidang sosial, ekonomi hingga pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Nilai-nilai luhur THR menjadi inspirasi bagi negara maju maupun negara berkembang dalam kerangka APEC membangun sektor pariwisata yang lebih berkelanjutan.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati menyambut baik THK diadopsi untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di negara-negara anggota APEC.

Dengan demikian keunggulan lokal itu bisa terangkat ke kancah internasional, mengingat THK memiliki kriteria yang sangat lengkap. Warisan leluhur orang Bali sangat relevan untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan khususnya dunia pariwisata.

Hal itu sekaligus menjadi kekuatan dan promosi bangsa Indonesia, khususnya Bali dalam membicara masalah pariwisata. Negara-negara maju dalam mengembangkan pembangunan, termasuk bidang pariwisata arahnya pada Tri Hita Karana yang mengangkat pada tiga keseimbangan.

Dengan diadopsinya THK untuk pembangunan sektor pariwisata berkelanjutan di negara-negara anggota KTT APEC sekaligus diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan di antara tiga komponen penting dalam kehidupan, ujar Tjok Sukawati yang akrab disapa Cok Ace yang juga mantan Bupati Gianyar.

Jaga Kelangsungannya

Ketua Program Studi Pascasarjana (S-3) Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi dalam kesempatan terpisah mengingatkan, kondisi dan kearifan lokal THK patut terus dijaga dalam kehidupan masyarakat Bali yang sebagian besar menggantungkan harapan pada sektor pariwisata.

Kearifan lokal tersebut memang masih dominan diamalkan dalam bentuk Panca Yadnya, yakni lima kegiatan ritual yang meliputi Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, dan Rsi Yadnya secara tulus iklas (pengorbanan suci).

Dalam perspektif Tri Hita Karana Panca Yadnya merupakan tuntunan religius yang harus dapat diaktualisasikan untuk membangun kehidupan yang nyaman dalam lingkungan yang bersih dan hijau di tengah perkembangan pariwisata.

Konsep Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, sesungguhnya mengandung nilai-nilai bakti kepada Tuhan atas semua anugrah yang dilimpahkan serta penghormatan terhadap jasa dan apa yang telah diperbuat para leluhur di masa lalu dalam bidang lingkungan, sosial, budaya, seni dan arsitektur.

Kedua konsep itu mengandung nilai agar manusia selalu hidup sejahtera dan harmonis dengan alam lingkungan serta seluruh mahluk. Sedangkan konsep Rsi Yadnya mengajak setiap orang agar terus berupaya belajar, merencanakan masa depan mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Untuk itu menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana seluruh komponen pariwisata dalam membangun pariwisata hendaknya mampu mengimplementasikan menuju pengembangan pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan.

Setiap prosesi ritual selalu diawali dengan mebersih-bersih (mareresik), "penyucian" atau "pembersihan" lingkungan dan diri sendiri yang berarti hidup bersih dan bersahabat dengan alam yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Bali.

Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, kearifan lokal dalam bentuk prilaku yang bermakna sosial adalah orang Bali lebih mengutamakan kebersamaan yang disebut "menyama braya" yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan.

Sikap "menyama braya" orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu "tat twam asi" yang berarti "engkau adalah aku". Hidup rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang yang kini didengung-dengungkan sebagai upaya penegakan hak-hak azasi manusia (HAM) di seluruh dunia.

Ajaran "tat twam asi" bagi orang Bali mempunyai makna yang maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk juga dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengertian tat twam asi bisa dikembangkan menjadi "saya adalah kamu", "orang lain adalah juga saudara kita". Karena itu, kehidupan sosial masyarakat Bali selalu menekankan nilai-nilai kebersamaan, pemahaman makna kultural yang dilandasi konsep kebersamaan, toleransi, penghargaan, senasib seperjuangan, dan cinta kasih.

Kehidupan Bahagia

Ketut Sumadi yang juga ketua komunitas pengkajian agama, budaya dan pariwisata Bali itu menambahkan, pengamalan lebih lanjut konsep THK dalam satu kesatuan wilayah yang disebut desa adat (Pekraman).

Orang Bali selalu bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam membangun kehidupan yang bahagia, dengan selalu bekerja sama, baik dalam suka maupun duka, sehingga sistem kekrabatan sangat kental diwarnai rasa setia kawan dan pelayanan yang tulus.

Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis iyu kemudian dipopulerkan dengan konsep Tri Hita Karana, di mana orang Bali tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memelihara hubungan harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama, dan dengan lingkungan.

Konsep Tri Hita Karana yang menjamin setiap orang untuk saling menghargai, menghormati, dan toleransi terhadap perbedaan di tengah berkembang pesatnya sektor pariwisata.

Dalam perspektif itulah pelaksanaan "Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations (THK Awards)" menjadi sangat penting artinya dalam perkembangan pariwisata budaya.

Untuk membangun pariwisata di Bali dewasa ini maupun di masa depan, karena tradisi dan budaya Bali yang diwarisi dari leluhurnya harus dipertahankan kelestariannya.

Berbagai pernik tradisi Bali yang dijiwai oleh agama Hindu di Pulau Dewata menjadi daya tarik wisatawan yang harus dapat dilestarikan dan dijaga oleh seluruh komponen pariwisata dan masyarakat di daerah ini.

Oleh sebab itu keuntungan yang diperoleh dari bisnis pariwisata harus sebagian disisihkan untuk kontribusi terhadap upaya-upaya menggali, mengamalkan, mengembangkan dan melestarikan tradisi Bali.

Untuk itu perlu tersedia dana cukup untuk melestarikan budaya yang bersumber dari keuntungan yang diperoleh dari bisnis pariwisata, sebagian lainnya diarahkan untuk mendanai kegiatan-kegiatan penelitian, pelestarian dan pengembangan budaya Bali.

Masalah pendanaan sampai sekarang memang menjadi kendala, karena selama tiga dasa warsa perjalanan pariwisata Bali, keuntungan yang diperoleh sangat kecil dialokasikan untuk upaya-upaya pelestarian budaya Bali, tutur Ketut Sumadi. (*/ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013