Kuta (Antara Bali) - Satgas Pantai Kuta, Bali terus melakukan pengawasan terhadap kemungkinan munculnya kembali praktik lelaki tuna susila atau gigolo di kawasan pantai yang banyak dikunjungi turis mancanegara itu.

Sejumlah anggota satgas lengkap dengan atribut di bagian busananya, terlihat mundar-mandir melakukan patroli di garis pantai sepanjang kurang lebih tujuh kilometer itu, demikian ANTARA melaporkan dari Kuta, Kabupaten Badung, Rabu.

Bendesa Adat Kuta Gusti Ketut Sudira mengakui kalau satgas yang bertugas melakukan upaya pengamanan di pantai tersebut, terus melakukan pangawasan tehadap kemungkinan munculnya kembali praktik gigolo pasca-dilakukannya penertiban.

Penertiban yang dilakukan belakangan ini, sedikitnya berhasil menjaring 20 orang yang diduga telah bertindak selaku lelaki "penghibur" bagi wisatawan perempuan yang sedang menikmati libutan di Kuta.

Langkah penertiban itu dilakukan satgas menyusul timbulnya aksi protes sejumlah kalangan terhadap film "Cowboys in Paradise" yang mengisahkan tentang seluk-beluk kehidupan para gigolo di Pantai Kuta.

Sejumlah "aktor" yang membitangi film tersebut, terlihat orang yang umumnya berkulit hitam mengkilap sebagai mana umumnya "beach boy" yang selama ini banyak bekecimpung dan bercengkrama dengan turis di Kuta.

Namun demikian, Bendesa Adat Kuta membantah warganya ada yang ambil bagian sebagai "aktor" dalam film kontroversial itu.

"Setelah kami telusuri, tidak ada warga kami yang terlibat baik selaku kru maupun aktor yang berperan dalam film yang diberi judul 'Cowboys in Paradise' itu," kata pemimpin desa adat di Kuta tersebut.

"Cowboys in Paradise" adalah film dokumenter yang mengisahkan praktik para gigolo atau lelaki tuna susila (LTS) yang siap melayani para wanita "hidung belang" yang tengah berwisata di kawasan Pantai Kuta.

Film yang memanfaatkan lokasi pengambilan gambar di pantai berpasir putih itu, merupakan garapan Amit Virmani, sutradara keturunan India yang kini menetap di Singapura.

"Cowboys in Paradise" menjadi heboh di Bali setelah film yang meraih sejumlah penghargaan dalam Korean International Documentary Festival itu, menyusul dapat disaksikan lewat jaringan internet. 

Bendesa Adat Sudira tidak menamfik kalau di wilayahnya memang ada praktik para gigolo yang selama ini melayani turis wanita dari sejumlah negara.

"Praktik itu memang ada, bahkan sudah tampak sejak kurang lebih 20 tahun silam, yakni sejak Kuta mulai berkembang menjadi sebuah destinasi wisata favorit dunia," ucapnya.

Namun demikian, Sudira membantah kalau para LTS itu adalah pria yang berasal dari Pulau Dewata, terlebih dari daerah Kuta sendiri.

"Tidak, tidak ada warga pria kami yang berpraktik mesum seperti itu," kata Sidira dengan menambahkan, sejauh ini yang berprofesi sebagi pria "penghibur" adalah orang yang berasal dari luar Bali.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010