Denpasar (Antara Bali) - Pekarangan dengan bangunan semi permanen di daerah Ubung, pinggiran Kota Denpasar itu disulap menjadi tempat tinggal sekaligus tempat usaha pembuatan tahu tempe yang dirintis Suyitno (42).

Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur sudah puluhan tahun bermukim di Bali, awalnya bekerja sebagai buruh usaha tahu tempe bersama pacarnya Rida yang kini resmi menjadi suami-istri bersama tiga orang anak.

Sosok pria yang tekun, ulet dan pekerja keras itu setelah membentuk rumah tangga dengan wanita kekasihnya Rida asal daerah yang sama merintis usaha mandiri, dengan modal kepercayaan dari bekas bosnya sejak 2005, atau delapan tahun yang silam.

"Modal awal hanya berupa pinjaman satu kwintal kedelai, sementara alat untuk proses produksi telah dibelinya satu persatu sebelumnya," tutur Suyitno, ayah tiga anak.

Dalam merintis usaha mandiri itu mengaku sering menghadapi pasang surut di tengah persaingan yang semakin ketat dalam memproduksi jenis bahan makanan, tahu tempe, mulai dari penyediaan bahan baku, hingga pemasaran hasil produksi.

Bahan baku kedelai, khususnya impor mengalami lonjakan drastis belakangan ini dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram sebagai akibat kenaikan kurs dolar.

Pria yang dibantu tiga pekerja itu mengaku menyiasati semakin melambungnya harga kedelai dengan memperkecil takaran, namun harganya tetap sama sehingga konsumen tidak merasa terbebani.

Selain Suyitno perajin tahu tempe lainnya juga melakukan hal yang sama sehingga tetap bisa berproduksi, tutur Ketua Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Bali, Haji Sutrisno.

Untuk itu pihaknya hanya mampu menyediakan kebutuhan bahan baku kedelai keperluan sehari sekitar lima sampai delapan ton. Koperasi yang melayani para perajin tahu tempe di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saja setiap bulannya membutuhkan 2.000-2.500 ton kacang kedelai.

Bahan baku tersebut selama ini 85 persen tergantung dari kedelai impor, hanya 15 persen yang dapat dipenuhi dari produksi lokal.

"Di tengah harga kedelai impor yang terus meningkat dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram itu menuntut usaha kecil skala rumah tangga untuk mampu mempertahankan usahanya," ujar Haji Sutrisno.



Ratusan pembuat tempe

Industri skala rumah tangga yang mengembangkan usaha tahu tempe di kota Denpasar dan sekitarnya mencapai lebih dari 210 orang, setiap harinya memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku rata-rata 100 kg-150 kg/orang.

Kopti selama ini menangani sekitar 100-150 ton keperluan anggotanya setiap bulan dengan mendatangkan kedelai impor itu dari Surabaya, Jawa Timur. Selebihnya ditangani oleh distributor yang siap memenuhi kebutuhan mereka.

Persediaan bahan baku kedelai sebenarnya tidak masalah, cuma harganya cukup mahal, selama ini masih menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran belum ikut menaikkan harga.

Haji Sutrisno berharap Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) segera menangani kacang kedelai seperti halnya beras, sehingga persediaan di pasaran tetap terjamin dengan harga yang stabil.

Instruksi Kepala Negara itu agar segera ditindaklanjuti sehingga harga kedelai tidak mengalami kenaikan seperti halnya sekarang ini dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram.

Kopti Bali sebenarnya sudah menjalin kerja sama dengan Bulog setempat untuk pengadaan bahan baku kedelai bagi para perajin dan pengusaha tahun tempe di daerah ini.

Namun Bulog belum bisa melakukan impor kedelai, karena masih menunggu proses perizinan dari dari Kementerian Perindustrian dan Kementrian Perdagangan.

Dengan adanya Bulog langsung menangani pengadaan kacang kedelai persediaan matadagangan itu di pasaran tetap terjamin dengan harga yang stabil.

Pengadaan kacang kedelai termasuk impor selama ini ditangani oleh pihak swasta, sehingga harganya mengikuti nilai dolar.



Produksi lokal

Andil produksi kedelai lokal di Bali dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kedelai sangat kecil hanya sekitar sepuluh sampai 15 persen dan sisanya dipenuhi oleh kedelai impor yang didatangkan dari Surabaya.

Kopti Bali setiap bulannya harus menyediakan 600-750 ton kedelai keperluan anggotanya, sehingga sanggup menampung berapapun banyaknya kedelai yang dihasilkan petani di daerah ini.

Bahan baku lokal itu sangat penting mengingat selama ini sangat tergangung dari kedelai impor. Kedelai lokal memang harganya lebih murah dari kedepai impor.

Kedelai impor kualitasnya lebih baik, bersih dan mengembang lebih besar untuk dijadikan bahan baku tempe. Sementara kedele lokal kurang bersih, bahkan kadang kala bercampur dengan kerikil.

Demikian pula kualitas kedelai lokal lebih rendah, karena kandungan kadar airnya cukup tinggi, karena petani memanen lebih awal, sehingga ketuaan buah kedelai belum matang.

Panen kedelai lokal juga tidak berkesinambungan, panen hanya terbatas di daerah tertentu dengan areal yang tidak begitu luas, ujar Sutrisno.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Gde Suarsa menjelaskan, produksi kedelai di daerah ini berdasarkan angka tetap (Atap) selama 2012 menurun sebanyak 293 ton biji kering atau 3,45 persen dibanding tahun sebelumnya.

Produksi kedelai berfluktuasi antara subround I, II dan III, namun secara keseluruhan menunjukkan adanya pengurangan produksi. Produksi kedelai pada subround I (Januari-April) 2012 naik sebesar 382 ton atau 64,64 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Demikian pula subround II (Mei-Agustus) 2012 meningkat 1.277 ton atau 53,03 persen. Namun pada masa subround III (September-Desember) 2012 mengalami penurunan sebesar 1.952 ton atau 35,47 persen.

Pemprov Bali selama 2012 menyalurkan benih kedelai jenis unggul sebanyak 180 ton, dengan sasaran mampu meningkatkan produksi dan mengurangi ketergantungan dari daerah lain maupun impor.

Bantuan serupa juga disalurkan oleh pemerintah pusat melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali.

Dengan demikian realisasi produksi kedelai pada subround I (Januari-April) 2012 meningkat sebesar 382 ton atau 64,66 persen serta pada subround II (Mei-Agustus) 2012 meningkat sebanyak 1.277 ton (53,01 persen).

Namun ketika masuk subround III (September-Desember) 2012 menurun sebanyak 1.952 ton atau 35,47 persen, tutur Gede Suarsa.  (WRA) 

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gede Wira Suryantala


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013