Denpasar (Antara Bali) - Perajin dan pengusaha tahu tempe di Kota Denpasar dan daerah lain di Bali mengecilkan ukuran produksinya untuk menyiasati kenaikan harga kedelai dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram.
"Dengan mengecilkan ukuran tahu dan tempe namun harganya tetap sama, sehingga konsumen tidak merasa terbebani akibat kenaikan harga bahan baku itu, kini dilakukan para perajin agar tetap bisa berproduksi," kata Ketua Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Bali Sutrisno di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan kenaikan harga kedelai yang sebagian besar kedelai impor, terjadi sejak sebulan terakhir.
Karena itu, pihaknya hanya mampu menyediakan kebutuhan kedelai keperluan sehari sekitar lima sampai delapan ton.
Koperasi yang melayani para perajin tahu tempe di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saja setiap bulannya membutuhkan 2.000-2.500 ton.
Bahan baku tersebut selama ini 85 persen sangat tergantung dari kedelai impor, hanya 15 persen yang dapat dipenuhi dari produksi lokal.
"Di tengah harga kedelai impor yang terus meningkat dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram itu menuntut usaha kecil skala rumah tangga untuk mampu mempertahankan usahanya," ujar Haji Sutrisno.
Industri skala rumah tangga yang mengembangkan usaha tahu tempe di kota Denpasar dan sekitarnya mencapai 210 orang, setiap harinya memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku rata-rata 100 kg-150 kg/orang.
KOPTI menangani sekitar 100-150 ton keperluan anggotanya setiap bulan dengan mendatangkan kedelai impor itu dari Surabaya, Jawa Timur. Selebihnya ditangani oleh distributor yang siap memenuhi kebutuhan mereka.
"Persediaan bahan baku kedelai tidak masalah, namun harganya cukup mahal, selama ini masih menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran belum ikut menaikkan harga," ujar Sutrisno.
Seorang pekerja perusahaan tahu tempe di pinggiran Kota Denpasar Suyitno menambahkan, sebelum kenaikan harga kedelai setiap satu kilogramnya dijadikan delapan potong, namun sekarang ukurannya diperkecil untuk menghasilkan sepuluh hingga 12 potong.
Satu potong dijual Rp2.500 meskipun selisihnya sangat tipis antara pengadaan bahan baku ditambah proses produksi dengan hasil penjualan. Merubah ukuran menjadi lebih kecil terpaksa dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai yang terus meningkat. (*/DWA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Dengan mengecilkan ukuran tahu dan tempe namun harganya tetap sama, sehingga konsumen tidak merasa terbebani akibat kenaikan harga bahan baku itu, kini dilakukan para perajin agar tetap bisa berproduksi," kata Ketua Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Bali Sutrisno di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan kenaikan harga kedelai yang sebagian besar kedelai impor, terjadi sejak sebulan terakhir.
Karena itu, pihaknya hanya mampu menyediakan kebutuhan kedelai keperluan sehari sekitar lima sampai delapan ton.
Koperasi yang melayani para perajin tahu tempe di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung saja setiap bulannya membutuhkan 2.000-2.500 ton.
Bahan baku tersebut selama ini 85 persen sangat tergantung dari kedelai impor, hanya 15 persen yang dapat dipenuhi dari produksi lokal.
"Di tengah harga kedelai impor yang terus meningkat dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram itu menuntut usaha kecil skala rumah tangga untuk mampu mempertahankan usahanya," ujar Haji Sutrisno.
Industri skala rumah tangga yang mengembangkan usaha tahu tempe di kota Denpasar dan sekitarnya mencapai 210 orang, setiap harinya memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku rata-rata 100 kg-150 kg/orang.
KOPTI menangani sekitar 100-150 ton keperluan anggotanya setiap bulan dengan mendatangkan kedelai impor itu dari Surabaya, Jawa Timur. Selebihnya ditangani oleh distributor yang siap memenuhi kebutuhan mereka.
"Persediaan bahan baku kedelai tidak masalah, namun harganya cukup mahal, selama ini masih menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran belum ikut menaikkan harga," ujar Sutrisno.
Seorang pekerja perusahaan tahu tempe di pinggiran Kota Denpasar Suyitno menambahkan, sebelum kenaikan harga kedelai setiap satu kilogramnya dijadikan delapan potong, namun sekarang ukurannya diperkecil untuk menghasilkan sepuluh hingga 12 potong.
Satu potong dijual Rp2.500 meskipun selisihnya sangat tipis antara pengadaan bahan baku ditambah proses produksi dengan hasil penjualan. Merubah ukuran menjadi lebih kecil terpaksa dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai yang terus meningkat. (*/DWA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013