Kairo (Antara Bali)
- Pengamat politik Mesir Mohamed Sobhy mengatakan kebijakan sejumlah
pemerintah asing untuk mengevakuasi warga negaranya dari Mesir tidak
sekedar faktor keamanan, tapi juga sebagai tekanan politik.
"Banyak negara yang membutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Mesir belakangan ini sebetulnya tidak murni faktor keamanan, tapi lebih kental tekanan politik," kata Sobhy dalam diskusi interaktif dengan jaringan televisi Sharq El Awsat, Rabu malam.
Sobhy merujuk pada kebijakan pemerintah Malaysia, Venezuela dan Filipina serta sejumlah negara lainnya sebagai wujud tidak senang terhadap pemerintah transisi yang dihasilkan dari kudeta militer.
"Venezuela lebih tegas dengan menarik duta besarnya dari Kairo, adapun Malaysia dan Filipina lebih ramah dengan hanya memulangkan warganya. Tapi sebetulnya sama saja misinya: menekan pemerintah transisi Mesir," katanya.
Menurut dia, Malaysia dan Filipina merupakan negara demokratis sehingga tidak ingin kudeta Mesir menjalar ke negara-negara tersebut.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Jumat (16/8) lalu memanggil pulang Duta Besarnya dari Kairo dan mengutuk tindakan keras terhadap demonstran dan mengecam penggulingan Presiden Mohamed Mursi dalam kudeta Militer pada 3 Juli.
"Dunia menyaksikan pertumpahan darah di Mesir. Kami menilai bahwa kudeta terhadap Moursi itu tidak konstitusional," katanya.
Presiden Maduro juga menuduh Amerika Serikat dan Israel berada di balik kudeta penggulingan Moursi tersebut.
Sobhy mengungkapkan bahwa Ikhwanul Muslimin pendukung Moursi belakangan ini secara diam-diam melakukan pendekatan dengan berbagai negara lewat kedutaan besarnya di Kairo untuk menekan pemerintah transisi.
Sumber di Kedutaan Besar Malaysia di Kairo kepada ANTARA mengatakan, Ikhwanul Muslimin pernah berunjuk rasa di Kedubes Malaysia untuk menuntut agar tidak mengakui pemerintah transisi Mesir. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Banyak negara yang membutuskan untuk mengevakuasi warganya dari Mesir belakangan ini sebetulnya tidak murni faktor keamanan, tapi lebih kental tekanan politik," kata Sobhy dalam diskusi interaktif dengan jaringan televisi Sharq El Awsat, Rabu malam.
Sobhy merujuk pada kebijakan pemerintah Malaysia, Venezuela dan Filipina serta sejumlah negara lainnya sebagai wujud tidak senang terhadap pemerintah transisi yang dihasilkan dari kudeta militer.
"Venezuela lebih tegas dengan menarik duta besarnya dari Kairo, adapun Malaysia dan Filipina lebih ramah dengan hanya memulangkan warganya. Tapi sebetulnya sama saja misinya: menekan pemerintah transisi Mesir," katanya.
Menurut dia, Malaysia dan Filipina merupakan negara demokratis sehingga tidak ingin kudeta Mesir menjalar ke negara-negara tersebut.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Jumat (16/8) lalu memanggil pulang Duta Besarnya dari Kairo dan mengutuk tindakan keras terhadap demonstran dan mengecam penggulingan Presiden Mohamed Mursi dalam kudeta Militer pada 3 Juli.
"Dunia menyaksikan pertumpahan darah di Mesir. Kami menilai bahwa kudeta terhadap Moursi itu tidak konstitusional," katanya.
Presiden Maduro juga menuduh Amerika Serikat dan Israel berada di balik kudeta penggulingan Moursi tersebut.
Sobhy mengungkapkan bahwa Ikhwanul Muslimin pendukung Moursi belakangan ini secara diam-diam melakukan pendekatan dengan berbagai negara lewat kedutaan besarnya di Kairo untuk menekan pemerintah transisi.
Sumber di Kedutaan Besar Malaysia di Kairo kepada ANTARA mengatakan, Ikhwanul Muslimin pernah berunjuk rasa di Kedubes Malaysia untuk menuntut agar tidak mengakui pemerintah transisi Mesir. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013