Hamparan lahan sawah dengan lokasi yang berundag-undag atau bertingkat-tingkat dikitari lingkungan yang lestari menjadi salah satu daya tarik objek Wisata Ceking di kawasan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, sekitar 45 km timur laut Denpasar.
Panorama alam sawah yang bertingkat-tingkat itu hampir mirip dengan pemandangan sawah di kawasan Jatiluwih, Kabupaten Tabanan yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Objek wisata yang dikelola desa pekraman (adat) Tegallalang itu cukup ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri yang setiap bulannya mampu menghasilkan lebih dari Rp100 juta yang bersumber dari retribusi karcis masuk dan parkir, tutur Bendahara pengelola objek wisata tersebut, Dewa Putu Raka Selangga.
Kedatangan wisatawan secara rombongan besar, kecil dan perorangan itu membawa dampak positif bagi masyarakat setempat, untuk berjualan dengan membangun toko kerajinan industri kecil serta rumah makan di sepanjang jalan objek wisata Ceking, Tegallalang tersebut.
Namun kehadiran bangunan-bangunan permanen itu belum ditata secara maksimal sehingga tampak kurang kurang beraturan, tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang asri dan lestari.
Desa adat Ceking yang mendapat kepercayaan dari Pemkab Gianyar untuk mengelola objek wisata itu sejak 10 Maret 2012 mulai menata tempat parkir, toko maupun arus lalu lintas.
Sesuai kesepakatan pendapatan objek wisata itu penggunaannya diarahkan untuk biaya operasional 32,34 persen, iuran ke Desa Pakraman Tegallalang 35 persen, investasi 30 persen dan Askes 2,66 persen.
Namun dalam penataan dan pengembangannya menghadapi beberapa kendala antara lain banyaknya bus pariwisata ukuran besar tidak tertampung di tempat parkir sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas di daerah itu.
Oleh sebab itu perlu memperluas tempat parkir dengan cara menyewa lahan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Meskipun penghasilan objek wisata Ceking cukup besar setiap bulannya, namun pemilik lahan sawah berterasering yang menjadi daya tarik objek wisata itu mendapat imbalan sangat murah.
I Made Sutha asal Banjar Kebon, Desa Kedisan, salah seorang dari 14 petani pemilik lahan sawah yang bertingkat itu memperoleh sumbangan dana pemeliharaan lahan dari pihak desa adat sebesar rp500.000 per bulan.
Imbalan itu dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang mencapai ratusan juta rupiah. Sementara untuk menjaga dan memelihara kelestarian sawah yang berundang-undag itu memiliki medan sangat sulit.
"Saya mengharapkan pemerintah atau desa adat bisa membantu para petani, khususnya yang ada di wilayah Ceking dengan meningkatkan dana sumbangan pemeliharaan," harap I Made Sutha.
Selain itu juga membantu agar kawasan Ceking yang menjadi sasaran kunjungan wisatawan bisa menjadi subak sehingga mendapat kucuran dana dari pemerintah seperti subak lainnya di Bali sebesar Rp20 juta per tahun.
Kabulkan usulan petani
Menanggapi keluhan itu Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar, Cokorda Gde Rai Widiarsa P mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar bisa membantu para petani di Objek Ceking, jika sudah terdafatar dalam sebuah organisasi subuk.
Hingga saat ini ke-14 petani pemilik lahan di ceking belum terdaftar dalam subak,
sehingga kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik dari Provinsi Bali maupun Pemkab Gianyar.
Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia memberikan solusi Pemkab Gianyar sebaiknya mengabulkan usulan petani di kawasan Ceking untuk menjadi sebuah subak.
Dengan demikian petani akan dapat menyatukan dirinya untuk mengelola kawasan teras sawah di Ceking. Hal itu sudah dimohonkan oleh kelompok petani di Ceking, namun hingga kini Pemkab Gianyar belum memberikan respon yang positif.
"Jika petani di Ceking itu sampai putusasa (ngambul) dan melakukan tindakan boikot, bisa mengakibatkan ribuan warga yang hidup di kawasan Ceking dari jasa pariwisata akan mengalami kerugian," ujar Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Sistem Subak Unud.
Pihaknya bisa memaklumi tuntutan petani di kawasan Ceking dikukuhkan menjadi subak adalah untuk mendapatkan bantuan hibah dari Pemprov Bali sebesar Rp20 juta per tahun.
Oleh sebab itu kepentingan petani yang kondisi ekonominya kurang mampu harus difasilitasi, mengingat petani di kawasan Ceking memberikan manfaat yang besar kepada wisatawan dan kehidupan ekonomi penduduk setempat.
Dengan demikian wajar jika tuntutan petani di kawasan Ceking, Tegallalang, Kabupaten Gianyar mendapat perhatian secara serius dari Pemkab Gianyar dan Pemprov Bali.
Hal itu penting dilakukan, mengingat sistem subak yang diterapkan petani Bali menjadi komponen yang strategis dalam mendukung pembangunan sektor pertanian maupun pengembangan sektor pariwisata di Pulau Dewata.
Demikian pula kebudayaan Bali, khususnya konsep "Tri Hita Karana" menjadi penghubung terhadap ketiga elemen, bahkan sistem subak menjadi landasan pokok bagi berkembangnya pertanian dan pariwisata.
Jika sistem subak di Bali hancur, akan berpengaruh terhadap rusaknya kebudayaan, sekaligus sektor pertanian akan berantakan, yang segera disusul dengan kehancuran sektor pariwisata.
Semakin tertarik
Windia menilai, wisatawan mancanegara dalam menikmati liburan ke Bali semakin tertarik terhadap keberadaan sektor pertanian yang didukung oleh sistem pengairan tradisional dalam bidang pertanian yang lumrah dikenal dengan sistem subak.
Kondisi sawah yang demikian masih bisa ditemui secara mudah di berbagai lokasi di Bali, meskipun secara fisik sejumlah subak di tempat-tempat strategis, khususnya di Kota Denpasar, Badung, dan Kabupaten Gianyar mulai beralih fungsi ke non-pertanian.
Lahan pertanian yang beralih fungsi untuk berbagai lokasi pembangunan, termasuk sektor pariwisata setiap tahunnya tidak kurang dari 1.000 hektare dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan sebelumnya rata-rata 750 hektare.
Di balik alih fungsi lahan yang didukung sistem pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Pulau Dewata masih ada alam dan potensi budaya yang bisa dikembangkan lebih intensifkan menjadi atraksi wisata yang unik dan menarik, sebagai upaya meningkatkan kunjungan turis, meskipun wisman sudah berulang kali ke daeah ini.
Namun pengembangan objek wisata alternatif itu memerlukan sentuhan kreativitas dan terobosan baru, sehingga kehadirannya bisa menarik dari objek yang ada selama ini.
Windia yang juga ketua tim penelitian model pengembangan agrowisata dalam wilayah subak menjelaskan, pengembangan objek wisata alternatif itu tetap berbasis pada budaya lokal.
Sawah dan petani menjadi salah satu aset pariwisata. Dari kehidupan pertanian lahir nilai-nilai budaya agraris yang sangat luhur yang dapat dijadikan aset pariwisata.
Sistem subak yang diwarisi secara turun temurun di Bali juga menjadi penyangga kebudayaan Bali, sekaligus salah satu daya tarik wisatawan, tidak kalah dengan objek wisata buatan baru yang menanam investasi triliun rupiah, ujar Prof Windia yang juga ketua badan penjaminan mutu Unud. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Panorama alam sawah yang bertingkat-tingkat itu hampir mirip dengan pemandangan sawah di kawasan Jatiluwih, Kabupaten Tabanan yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Objek wisata yang dikelola desa pekraman (adat) Tegallalang itu cukup ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri yang setiap bulannya mampu menghasilkan lebih dari Rp100 juta yang bersumber dari retribusi karcis masuk dan parkir, tutur Bendahara pengelola objek wisata tersebut, Dewa Putu Raka Selangga.
Kedatangan wisatawan secara rombongan besar, kecil dan perorangan itu membawa dampak positif bagi masyarakat setempat, untuk berjualan dengan membangun toko kerajinan industri kecil serta rumah makan di sepanjang jalan objek wisata Ceking, Tegallalang tersebut.
Namun kehadiran bangunan-bangunan permanen itu belum ditata secara maksimal sehingga tampak kurang kurang beraturan, tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang asri dan lestari.
Desa adat Ceking yang mendapat kepercayaan dari Pemkab Gianyar untuk mengelola objek wisata itu sejak 10 Maret 2012 mulai menata tempat parkir, toko maupun arus lalu lintas.
Sesuai kesepakatan pendapatan objek wisata itu penggunaannya diarahkan untuk biaya operasional 32,34 persen, iuran ke Desa Pakraman Tegallalang 35 persen, investasi 30 persen dan Askes 2,66 persen.
Namun dalam penataan dan pengembangannya menghadapi beberapa kendala antara lain banyaknya bus pariwisata ukuran besar tidak tertampung di tempat parkir sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas di daerah itu.
Oleh sebab itu perlu memperluas tempat parkir dengan cara menyewa lahan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Meskipun penghasilan objek wisata Ceking cukup besar setiap bulannya, namun pemilik lahan sawah berterasering yang menjadi daya tarik objek wisata itu mendapat imbalan sangat murah.
I Made Sutha asal Banjar Kebon, Desa Kedisan, salah seorang dari 14 petani pemilik lahan sawah yang bertingkat itu memperoleh sumbangan dana pemeliharaan lahan dari pihak desa adat sebesar rp500.000 per bulan.
Imbalan itu dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan pendapatan yang mencapai ratusan juta rupiah. Sementara untuk menjaga dan memelihara kelestarian sawah yang berundang-undag itu memiliki medan sangat sulit.
"Saya mengharapkan pemerintah atau desa adat bisa membantu para petani, khususnya yang ada di wilayah Ceking dengan meningkatkan dana sumbangan pemeliharaan," harap I Made Sutha.
Selain itu juga membantu agar kawasan Ceking yang menjadi sasaran kunjungan wisatawan bisa menjadi subak sehingga mendapat kucuran dana dari pemerintah seperti subak lainnya di Bali sebesar Rp20 juta per tahun.
Kabulkan usulan petani
Menanggapi keluhan itu Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar, Cokorda Gde Rai Widiarsa P mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar bisa membantu para petani di Objek Ceking, jika sudah terdafatar dalam sebuah organisasi subuk.
Hingga saat ini ke-14 petani pemilik lahan di ceking belum terdaftar dalam subak,
sehingga kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik dari Provinsi Bali maupun Pemkab Gianyar.
Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia memberikan solusi Pemkab Gianyar sebaiknya mengabulkan usulan petani di kawasan Ceking untuk menjadi sebuah subak.
Dengan demikian petani akan dapat menyatukan dirinya untuk mengelola kawasan teras sawah di Ceking. Hal itu sudah dimohonkan oleh kelompok petani di Ceking, namun hingga kini Pemkab Gianyar belum memberikan respon yang positif.
"Jika petani di Ceking itu sampai putusasa (ngambul) dan melakukan tindakan boikot, bisa mengakibatkan ribuan warga yang hidup di kawasan Ceking dari jasa pariwisata akan mengalami kerugian," ujar Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Sistem Subak Unud.
Pihaknya bisa memaklumi tuntutan petani di kawasan Ceking dikukuhkan menjadi subak adalah untuk mendapatkan bantuan hibah dari Pemprov Bali sebesar Rp20 juta per tahun.
Oleh sebab itu kepentingan petani yang kondisi ekonominya kurang mampu harus difasilitasi, mengingat petani di kawasan Ceking memberikan manfaat yang besar kepada wisatawan dan kehidupan ekonomi penduduk setempat.
Dengan demikian wajar jika tuntutan petani di kawasan Ceking, Tegallalang, Kabupaten Gianyar mendapat perhatian secara serius dari Pemkab Gianyar dan Pemprov Bali.
Hal itu penting dilakukan, mengingat sistem subak yang diterapkan petani Bali menjadi komponen yang strategis dalam mendukung pembangunan sektor pertanian maupun pengembangan sektor pariwisata di Pulau Dewata.
Demikian pula kebudayaan Bali, khususnya konsep "Tri Hita Karana" menjadi penghubung terhadap ketiga elemen, bahkan sistem subak menjadi landasan pokok bagi berkembangnya pertanian dan pariwisata.
Jika sistem subak di Bali hancur, akan berpengaruh terhadap rusaknya kebudayaan, sekaligus sektor pertanian akan berantakan, yang segera disusul dengan kehancuran sektor pariwisata.
Semakin tertarik
Windia menilai, wisatawan mancanegara dalam menikmati liburan ke Bali semakin tertarik terhadap keberadaan sektor pertanian yang didukung oleh sistem pengairan tradisional dalam bidang pertanian yang lumrah dikenal dengan sistem subak.
Kondisi sawah yang demikian masih bisa ditemui secara mudah di berbagai lokasi di Bali, meskipun secara fisik sejumlah subak di tempat-tempat strategis, khususnya di Kota Denpasar, Badung, dan Kabupaten Gianyar mulai beralih fungsi ke non-pertanian.
Lahan pertanian yang beralih fungsi untuk berbagai lokasi pembangunan, termasuk sektor pariwisata setiap tahunnya tidak kurang dari 1.000 hektare dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan sebelumnya rata-rata 750 hektare.
Di balik alih fungsi lahan yang didukung sistem pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Pulau Dewata masih ada alam dan potensi budaya yang bisa dikembangkan lebih intensifkan menjadi atraksi wisata yang unik dan menarik, sebagai upaya meningkatkan kunjungan turis, meskipun wisman sudah berulang kali ke daeah ini.
Namun pengembangan objek wisata alternatif itu memerlukan sentuhan kreativitas dan terobosan baru, sehingga kehadirannya bisa menarik dari objek yang ada selama ini.
Windia yang juga ketua tim penelitian model pengembangan agrowisata dalam wilayah subak menjelaskan, pengembangan objek wisata alternatif itu tetap berbasis pada budaya lokal.
Sawah dan petani menjadi salah satu aset pariwisata. Dari kehidupan pertanian lahir nilai-nilai budaya agraris yang sangat luhur yang dapat dijadikan aset pariwisata.
Sistem subak yang diwarisi secara turun temurun di Bali juga menjadi penyangga kebudayaan Bali, sekaligus salah satu daya tarik wisatawan, tidak kalah dengan objek wisata buatan baru yang menanam investasi triliun rupiah, ujar Prof Windia yang juga ketua badan penjaminan mutu Unud. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013