Denpasar (Antara Bali) - Kolaborasi drama tari multimedia yang mengangkat kisah penderita gangguan kejiwaan berjudul "Jiwa Terbelenggu" meramaikan pementasan dalam Pesta Kesenian Bali ke-35.
"Untuk penyusunan skenario drama ini dan menguatkan karakter tokoh, kami bahkan telah melakukan dokumentasi video di Rumah Sakit Jiwa Bangli," kata Lynn Kremer selaku pencipta ide cerita dan sutradara drama tari itu di Denpasar, Kamis.
Ia mengemukakan pementasan karya itu di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar pada Jumat (28/6) pukul 20.00 Wita merupakan kolaborasi antara seniman Bali dengan mahasiswa College of The Holy Cross, Amerika Serikat.
Seniman Bali yang terlibat dalam penciptaan dan penggarapan drama tari itu, di antaranya Made Wianta, Prof Dr Made Bandem, Dr Suasthi Bandem, dan seniman dari Sanggar Seni Pertunjukan Makaradhwaja, serta Geria Olah Kreativitas Seni, Singapadu.
"Jiwa terbelenggu ini merupakan drama tari atau teater tentang seorang penulis yang melakoni perjalanan waktu dalam sebuah institusi kesehatan mental. Adegan-adegannya berisi berbagai ingatan, fantasi, dan impian dari sang penulis, hingga menjalani diagnosa dokter, pengobatan, berbagai terapi kejiwaan dan sebagainya," kata Kremer yang juga pengagum karya instalasi Made Wianta itu.
Pihaknya mengharapkan dengan pementasan yang mengangkat isu kejiwaan itu, penonton dapat terinspirasi untuk lebih lanjut merenungi dan mendalami topik yang kompleks tersebut.
Pelukis Made Wianta yang juga pencipta ide cerita mengatakan pada perencanaan awal ide cerita ada dua pilihan yang akan diambil, yakni terkait kehidupan penjara di Kerobokan atau orang gila.
"Sudut pandang dalam setiap karya saya memang umumnya dibangun atas dasar analisa psikologi yang bersifat universal. Saya tidak akan masuk pada ranah cerita Panji yang umumnya menjadi cerita pementasan kesenian Bali," katanya.
Doktor Suasthi Bandem, selaku koreografer dan asisten sutradara drama tari kolaborasi itu, tidak memungkiri menghadapi berbagai tantangan dalam proses penggarapan karya tersebut, terutama mahasiswa Amerika yang belum mengenal Bali dan menjadikan potongan-potongan gagasan menjadi satu kesatuan garapan yang utuh.
"Walaupun begitu, saya sangat senang bisa berkolaborasi karena akan menambah wawasan. Pesan dari pementasan ini tidak pada upaya solusi mengatasi masalah kejiwaan, tetapi penonton dapat melihat cara-cara menangani orang gila," kata Suasthi yang juga dosen tamu di College of The Holy Cross, Amerika Serikat itu.
Made Bandem mengatakan walaupun Pesta Kesenian Bali merupakan ajang untuk menampilkan puncak-puncak kekhasan budaya Bali, diperlukan kesenian luar maupun kontemporer untuk dijadikan pembanding.
"Kita perlu menghidupkan roh-roh dan jiwa baru seni untuk memperkaya tradisi yang kita miliki," katanya.
Pementasan disempurnakan dengan sentuhan tangan dari Barbara Craig yang merancang tata artistik panggung dan pencahayaan, Kurt Hultgreen sebagai perancang kostum, dan Bobbie Jean Powell yang akan membuat wayang dan topeng modern sesuai dengan karakter tokoh yang dipentaskan. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Untuk penyusunan skenario drama ini dan menguatkan karakter tokoh, kami bahkan telah melakukan dokumentasi video di Rumah Sakit Jiwa Bangli," kata Lynn Kremer selaku pencipta ide cerita dan sutradara drama tari itu di Denpasar, Kamis.
Ia mengemukakan pementasan karya itu di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar pada Jumat (28/6) pukul 20.00 Wita merupakan kolaborasi antara seniman Bali dengan mahasiswa College of The Holy Cross, Amerika Serikat.
Seniman Bali yang terlibat dalam penciptaan dan penggarapan drama tari itu, di antaranya Made Wianta, Prof Dr Made Bandem, Dr Suasthi Bandem, dan seniman dari Sanggar Seni Pertunjukan Makaradhwaja, serta Geria Olah Kreativitas Seni, Singapadu.
"Jiwa terbelenggu ini merupakan drama tari atau teater tentang seorang penulis yang melakoni perjalanan waktu dalam sebuah institusi kesehatan mental. Adegan-adegannya berisi berbagai ingatan, fantasi, dan impian dari sang penulis, hingga menjalani diagnosa dokter, pengobatan, berbagai terapi kejiwaan dan sebagainya," kata Kremer yang juga pengagum karya instalasi Made Wianta itu.
Pihaknya mengharapkan dengan pementasan yang mengangkat isu kejiwaan itu, penonton dapat terinspirasi untuk lebih lanjut merenungi dan mendalami topik yang kompleks tersebut.
Pelukis Made Wianta yang juga pencipta ide cerita mengatakan pada perencanaan awal ide cerita ada dua pilihan yang akan diambil, yakni terkait kehidupan penjara di Kerobokan atau orang gila.
"Sudut pandang dalam setiap karya saya memang umumnya dibangun atas dasar analisa psikologi yang bersifat universal. Saya tidak akan masuk pada ranah cerita Panji yang umumnya menjadi cerita pementasan kesenian Bali," katanya.
Doktor Suasthi Bandem, selaku koreografer dan asisten sutradara drama tari kolaborasi itu, tidak memungkiri menghadapi berbagai tantangan dalam proses penggarapan karya tersebut, terutama mahasiswa Amerika yang belum mengenal Bali dan menjadikan potongan-potongan gagasan menjadi satu kesatuan garapan yang utuh.
"Walaupun begitu, saya sangat senang bisa berkolaborasi karena akan menambah wawasan. Pesan dari pementasan ini tidak pada upaya solusi mengatasi masalah kejiwaan, tetapi penonton dapat melihat cara-cara menangani orang gila," kata Suasthi yang juga dosen tamu di College of The Holy Cross, Amerika Serikat itu.
Made Bandem mengatakan walaupun Pesta Kesenian Bali merupakan ajang untuk menampilkan puncak-puncak kekhasan budaya Bali, diperlukan kesenian luar maupun kontemporer untuk dijadikan pembanding.
"Kita perlu menghidupkan roh-roh dan jiwa baru seni untuk memperkaya tradisi yang kita miliki," katanya.
Pementasan disempurnakan dengan sentuhan tangan dari Barbara Craig yang merancang tata artistik panggung dan pencahayaan, Kurt Hultgreen sebagai perancang kostum, dan Bobbie Jean Powell yang akan membuat wayang dan topeng modern sesuai dengan karakter tokoh yang dipentaskan. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013