Denpasar (Antara) - Ombudsman RI Perwakilan Bali mengecek kebenaran pemberitaan pada media sosial terkait adanya dugaan pungutan liar pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMA Negeri 1 Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Dua asisten Ombudsman Bali dari bidang pengawasan dan pencegahan, Dhuha F Mubarok dan Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Rabu, menemui Kepala SMA Negeri 1 Kuta Utara I Ketut Kerta untuk mengklarifikasi pemberitaan itu.
"Selain melalui pemberitaan media, kami juga menerima keluhan yang sama dari masyarakat terkait PPDB di SMA tersebut," kata Dhuha.
Ia menyarankan sebaiknya setiap pungutan dibuatkan kuitansi sehingga tidak terkesan tanpa bukti. Pihaknya juga akan mempelajari hasil klarifikasi tersebut yang salah satunya dengan mencocokkan isi Surat Edaran Disdikpora yang menjadi rujukan pungutan sekaligus berkoordinasi dengan Disdikpora Kabupaten Badung.
Sementara itu Kepala SMA Negeri 1 Kuta Utara I Ketut Kerta membenarkan pungli tersebut, namun menolak jika disebut tidak ada dasarnya. Menurut dia, berdasarkan Surat Edaran No.420/2787/Disdikpora Bali masih membolehkan adanya pungutan, sejauh pungutan tersebut bukan untuk dana investasi bagi SMA dan SMK.
"Di samping itu sebagai sekolah eks-Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sekolah kami sudah tidak mendapatkan lagi dana untuk jalur tes potensi akademik (TPA) sehingga konsekuensinya mengenakan biaya operasional peningkatan kualitas sekolah kepada calon siswa yang mendaftar," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pungutan itu kemudian digunakan sebagai biaya operasional pendukung peningkatan kualitas sekolah yang besarnya Rp3,5 juta untuk tiga tahun dan pungutan tidak bersifat mutlak. "Artinya orang tua siswa, kami silakan untuk membayar sebesar itu, lebih atau kurang dari itu, bahkan tidak membayar pun tidak apa-apa," ucapnya.
Di luar biaya tersebut, calon siswa dikenakan biaya wajib yang terdiri uang Masa Orientasi Siswa (MOS) Rp1,2 juta, uang seragam Rp1,4 juta untuk pria dan Rp1,3 juta untuk wanita, uang tes IQ sebesar Rp30 ribu dan uang OSIS Rp70 ribu.
Kerta juga menunjukkan daftar calon siswa yang sudah membayar dan dalam daftar itu tertera pembayaran bervariasi, antara Rp2 juta hingga Rp5 juta.
"Calon siswa yang mendaftar lewat jalur TPA diharuskan mengikuti wawancara dan dalam wawancara tersebut, orang tua murid secara sukarela membuat surat pernyataan sanggup membayar biaya operasional peningkatan kualitas sekolah sesuai kemampuannya, hanya saja memang tidak dibuatkan kuitansi," katanya.
Selain menerima laporan dari Kabupaten Badung, pada hari yang sama Ombudsman Bali juga menerima keluhan dari beberapa sekolah swasta di Tabanan terkait adanya sejumlah sekolah negeri yang menerima siswa melebihi kuota yang berakibat kurangnya siswa yang mendaftar ke sekolah swasta. Terkait laporan itu, Ombudsman Bali akan segera melakukan pengecekan di lapangan. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Dua asisten Ombudsman Bali dari bidang pengawasan dan pencegahan, Dhuha F Mubarok dan Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Rabu, menemui Kepala SMA Negeri 1 Kuta Utara I Ketut Kerta untuk mengklarifikasi pemberitaan itu.
"Selain melalui pemberitaan media, kami juga menerima keluhan yang sama dari masyarakat terkait PPDB di SMA tersebut," kata Dhuha.
Ia menyarankan sebaiknya setiap pungutan dibuatkan kuitansi sehingga tidak terkesan tanpa bukti. Pihaknya juga akan mempelajari hasil klarifikasi tersebut yang salah satunya dengan mencocokkan isi Surat Edaran Disdikpora yang menjadi rujukan pungutan sekaligus berkoordinasi dengan Disdikpora Kabupaten Badung.
Sementara itu Kepala SMA Negeri 1 Kuta Utara I Ketut Kerta membenarkan pungli tersebut, namun menolak jika disebut tidak ada dasarnya. Menurut dia, berdasarkan Surat Edaran No.420/2787/Disdikpora Bali masih membolehkan adanya pungutan, sejauh pungutan tersebut bukan untuk dana investasi bagi SMA dan SMK.
"Di samping itu sebagai sekolah eks-Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sekolah kami sudah tidak mendapatkan lagi dana untuk jalur tes potensi akademik (TPA) sehingga konsekuensinya mengenakan biaya operasional peningkatan kualitas sekolah kepada calon siswa yang mendaftar," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pungutan itu kemudian digunakan sebagai biaya operasional pendukung peningkatan kualitas sekolah yang besarnya Rp3,5 juta untuk tiga tahun dan pungutan tidak bersifat mutlak. "Artinya orang tua siswa, kami silakan untuk membayar sebesar itu, lebih atau kurang dari itu, bahkan tidak membayar pun tidak apa-apa," ucapnya.
Di luar biaya tersebut, calon siswa dikenakan biaya wajib yang terdiri uang Masa Orientasi Siswa (MOS) Rp1,2 juta, uang seragam Rp1,4 juta untuk pria dan Rp1,3 juta untuk wanita, uang tes IQ sebesar Rp30 ribu dan uang OSIS Rp70 ribu.
Kerta juga menunjukkan daftar calon siswa yang sudah membayar dan dalam daftar itu tertera pembayaran bervariasi, antara Rp2 juta hingga Rp5 juta.
"Calon siswa yang mendaftar lewat jalur TPA diharuskan mengikuti wawancara dan dalam wawancara tersebut, orang tua murid secara sukarela membuat surat pernyataan sanggup membayar biaya operasional peningkatan kualitas sekolah sesuai kemampuannya, hanya saja memang tidak dibuatkan kuitansi," katanya.
Selain menerima laporan dari Kabupaten Badung, pada hari yang sama Ombudsman Bali juga menerima keluhan dari beberapa sekolah swasta di Tabanan terkait adanya sejumlah sekolah negeri yang menerima siswa melebihi kuota yang berakibat kurangnya siswa yang mendaftar ke sekolah swasta. Terkait laporan itu, Ombudsman Bali akan segera melakukan pengecekan di lapangan. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013