Denpasar (Antara Bali) - Kesadaran akan penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung meningkat, kata pengelola Program Yayasan Kerti Praja Dewa Nyoman Suyetna.

"Dulu kesadaran untuk memeriksakan diri HIV/AIDS sangat rendah, namun sekarang lebih mudah. Apalagi setelah KPA (Komisi Penanggulangan HIV/AIDS) memfasilitasi dan membentuk pokja," katanya di Denpasar, Senin.

Kelompok kerja itu dibentuk di tempat beroperasinya pekerja seks dilengkapi dengan susunan pengurusnya yang biasanya dibawah koordinasi masing-masing mucikari.

"Di Denpasar dan Kabupaten Badung setidaknya ada 11 pokja sejak terbentuk pertama kali pada 2009. Bos mucikari sekarang sangat kooperatif membantu penanggulangan HIV/AIDS. Kalau dulu, jangankan membagikan kondom, menyosialisasikan saja sulit," katanya.

Keberhasilan kerja sama KPA, Yayasan Kerti Praja, dan pokja dalam penanggulangan HIV/AIDS, lanjut Suyetna, dapat dilihat dari perilaku pekerja seks yang sejak pagi sudah mengantre untuk memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan.

"Dulu untuk pemeriksaan harus kami jemput, kami sediakan taksi, dan bahkan dari baru bangun kami gedor untuk periksa. Tak jarang sampai mandi kami tungguin dan biaya taksi yang dikeluarkan untuk penjemputan sampai Rp5 juta per bulan, sekarang kesadarannya luar biasa," katanya.

Dulu mereka tidak mau menerima pemberian kondom dari KPA. Namun sekarang para mucikari sampai menghubungi YKP untuk meminta kondom.

"Para pekerja seks yang sudah positif terkena AIDS harus didampingi dengan ketat untuk minum ARV-nya. Jika tidak minum, maka virusnya akan naik menularkan jauh lebih mudah. Sedangkan kalau virusnya sudah ditekan dengan minum ARV, kekebalan tubuh penderita akan naik dan kemungkinan untuk menularkan jauh lebih kecil," katanya.

Dengan adanya pokja, kata Suyetna, mucikari harus melaporkan jika ada anak buahnya yang baru dan harus menghubungi puskesmas atau LSM yang menangani AIDS. Jumlah pekerja seks di Denpasar diperkirakan mencapai 1.000 orang.

"Nanti kami yang memberikan penyuluhan. Demikian juga mereka harus menyiapkan anak buahnya ketika ada penyuluhan, menganjurkan anak buahnya memeriksakan infeksi menular seksual (IMS), harus menyediakan kondom dan menganjurkan pemakaiannya dan sebagainya yang menjadi kesepakatan dan ada sanksi," ujarnya.

Sementara itu berdasarkan data KPA Bali, jumlah penderita HIV/AIDS di Bali secara kumulatif dari 1987 hingga Maret 2013 mencapai 7.551 orang dengan perincian, kelompok berisiko biseksual (24), heteroksual (5.807), homoseksual (322), IDU (810), perinatal (226), tato (2), dan tidak diketahui (360). (LHS)

Pewarta: Oleh Ni Luh Rhismawati

Editor : Ni Luh Rhismawati


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013