Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Fenomena lingkungan kian mengkhawatirkan akibat dampak negatif dari pariwisata yang berkembang pesat di Pulau Dewata dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kondisi yang demikian itu memerlukan langkah nyata mengembangkan paradigma baru pembangunan pariwisata kerakyatan berkelanjutan seiring dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah.

"Dengan paradigma baru ini, masyarakat diberdayakan agar dapat berperan secara aktif dari tahap awal, sehingga dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan fisik maupun sosial bisa dihindari," tutur Pengamat agama, adat, seni budaya dan pariwisata Bali, Dr I Ketut Sumadi.

Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar berpendapat pariwisata jika dikelola dengan baik akan menjadi salah satu sahabat baik bagi kelestarian lingkungan hidup.

Dengan demikian kemajuan pariwisata selain ikut meningkatkan pendapatan suatu negara, memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat juga mampu menyelematkan lingkungan dan usaha pelestarian alam.

Masyarakat Bali mulai sadar akan janji palsu para investor. Resistensi terhadap pariwisata mulai bergelora. Mereka kini mulai bangkit memberontak terhadap pariwisata kapitalisme, tapi apa daya, tenaga dan kecerdasan tidak berimbang.

Saat kondisi Bali yang demikian itu Calon Gubernur Bali Anak Agung Ngurah Puspayoga yang berpasangan dengan Dewa Nyoman Sukrawan diusung oleh PDIP tampil dengan programnya mengembangkan pariwisata Bali berbasis kerakyatan.

Tokoh Puri Satria Denpasar yang merintis karier politik dari bawah dan kini masih menjabat Wakil Gubernur Bali menilai, ketimpangan pembangunan Bali selama ini akibat pengembangan sektor pariwisata kurang merata dan tidak berbasis kerakyatan.

Padalah pariwisata merupakan pintu masuk menuju kesejahteraan, mengingat sebagian besar kehidupan masyarakat bertumpu pada sektor pariwisata. Untuk itu pariwisata jangan menjadi ketimpangan.

Masyarakat Bali sekitar 80 persen bergerak dan menaruh tumpu harapan pada jasa pariwisata, meskipun yang hanya bersentuhan langsung hanya sekitar 35 persen.

Sisanya ada sebagai karyawan biro perjalanan wisata (BPW), pegawai hotel, sopir taksi, kusir dokar, tukang pijat di sepanjang pantai dan sektor-sektor usaha ekonomis lainnya.

Namun dalam perkembangannya belakangan ini muncul kecenderungan pengembangan industri pariwisata mulai tercerabut dari akarnya yakni adat, budaya dan warga masyarakat Bali.

Diminati Wisman

Bali setiap tahunnya menerima kunjungan wisatawan mancanegara dengan menumpang pesawat yang terbang langsung dari negaranya sebanyak 2,9 juta orang. Jumlah itu tidak termasuk turis yang datang ke Bali yang sebelumnya sudah sempat mengunjungi daerah lainnya di Indonesia.

Kondisi itu menunjukkan pariwisata Bali ini sangat diminati wisatawan dalam dan luar negeri. Apakah ketertarikan pelancong itu ke Bali karena keindahan alam Pulau Dewata Bali? Tidak juga, ujar Puspayoga yang juga mantan Wali Kota Denpasar selama dua periode.

Namun mengapa wisman seolah-olah terbius berliburan ke Bali, tidak lepas dari seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat pendukungnya. Prestasi dan kondisi yang demikian itu hendaknya dapat dipertahankan, sehingga seni budaya Bali, taksu (kharisma) Bali dan vibrasi Bali tetap terjaga.

Hal itu penting untuk dilestarikan dan dijaga kelangsungannya, karena pariwisata tanpa budaya, Bali tak ada apa-apanya, ujar suami dari Nyonya I.G.A Bintang Darmawati.

Untuk itu menjaga budaya Bali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sektor pertanian Bali, karena industri pariwisata dan sektor pertanian bagai dua sisi dalam keping uang logam.

Salah satunya adalah organisasi pengairan dalam bidang pertanian (subak) yang mesti dapat dilestarikan dipertahankan. Meski Denpasar adalah wilayah perkotaan, namun masih tetap mempunyai "subak luk atak" di Peguyangan yang menjadi subak terbaik se-Bali.

Subak di Kota Denpasar dan delapan kabupaten lainnya di Bali masih bertahan di tengah gempuran derasnya perkembangan pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.

Di tengah komitmennya menjaga subak dan pertanian, Puspayoga memiliki kekhawatiran yakni para petani tidak mau lagi menggarap sawahnya.

Itu sebetulnya kesalahan dan ke depan harus dibuat agar para petani itu asyik mencintai pekerjaannya. Pertanian itu bagian sinergi kepariwisataan. Kalau pertanian hancur, budaya juga terancam.

Untuk tetap menjaga pariwisata, budaya dan pertanian Bali dengan menggagas desa wisata. Desa wisata itu merupakan konsep pariwisata berbasis kerakyatan.

Pengembangan pariwisata yang demikian akan mampu menjadikan masyarakat lokal dapat menikmati pembangunan dan perkembangan pariwisata, sehingga, distribusi kesejahteraan akan semakin cepat terealisasi.

"Seperti Kuta misalnya pengembangan desa wisata itu sangat penting sehingga tanah-tanah di Bali tidak lagi dikuasai kapitalis," ucap Puspayoga.

Pariwisata Bali harus dikuasai oleh mereka yang memiliki tanah, masyarakat

Bali. Kesenian dan budaya itu tidak boleh dieksploitasi. Kalau turis mau "megamel" (memanikan musik tradisional Bali) ya harus belajar ke balai banjar. Jangan senimannya dieksploitasi.

Semua itu adalah konsep pariwisata kerakyatan yang selama ini memang ada dalam kehidupan masyarakat Bali. Kondisi demikian tinggal meningkatkan kebersihan dan kelestarian lingkungan menuju pariwisata Balli berkelanjutan, tutur AAN Puspayoga. (*/ADT)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013