Sejumlah praktisi dan akademisi mendiskusikan pemantauan muka air tanah di Provinsi Bali sebagai salah satu upaya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air di tengah kondisi perubahan iklim yang terjadi.

Perwakilan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr I Ketut Ariantana di Denpasar, Minggu, mengatakan muka air tanah di Bali sedang tidak baik-baik saja alias mengkhawatirkan.

"Oleh karena itu, keberlanjutan akan pengukuran muka air tanah sangat diperlukan bagi penyediaan data," ucapnya dalam Dialog Praktisi Berbicara yang diselenggarakan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Ngurah Rai (FST UNR) itu.



Dialog Praktisi Berbicara: Monitoring Batas Air Tanah Menggunakan Telepon Genggam ini merupakan forum diskusi yang menekankan pada rentannya air tanah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perlu dijaga secara bersama-sama.

"Kalau berbicara kebutuhan air minum, semakin lama semakin meningkat, sementara kemampuan pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sangat terbatas, sehingga harus beralih dengan pemanfaatan air tanah," ucap Ariantana.

Untuk itu, ujar dia, pemantauan fluktuasi muka air tanah menjadi penting, karena menjadi basis data indikator ketersediaan air tanah untuk dapat diketahui sudah mengalami penurunan atau tidak.

"Pemantauan muka air tanah bisa menggunakan aplikasi yang bisa dilakukan dengan mudah oleh masyarakat, karena data muka air tanah sangat berguna untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan di pemerintahan terkait dengan pengelolaan air tanah," katanya.

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Ngurah Rai, Dr I Putu Doddy Heka Ardana menyampaikan data yang selama ini telah diukur di Denpasar. Hasil tren data tersebut menunjukkan muka air tanah di Denpasar dapat berfluktuasi rata-rata hingga 1,65 meter-2,65 meter.

"Hal ini didapat tahun lalu. Dengan adanya penurunan muka air di saat musim kemarau hingga 4,25 meter, dapat berdampak pada berkurangnya ketersediaan air tanah di Denpasar, lebih-lebih jika terjadi di musim kemarau yang berkepanjangan karena adanya perubahan iklim," ujar Doddy.

Untuk itu, pihaknya dan juga pemangku kepentingan terkait lainnya merasa perlu menjaga keberlanjutan sumber daya air, terutama sumber air tanah melalui pengukuran muka air tanah demi keberlanjutan.

"Dengan mengetahui seberapa besar muka air tanah itu digunakan untuk manajemen air tanah, kapan air tanah dalam keadaan baik atau tidak baik itu berdasarkan atas ketinggian dari level muka air tanah tersebut," ucapnya.

Doddy berharap dengan diskusi ini semua pihak dan khususnya masyarakat dapat ikut berperan dalam mengetahui level dari muka air tanah sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya air tanah.

Dari semua permasalahan yang ada bahwa pengukuran muka air tanah belum dapat dilanjutkan, karena keterbatasan dana penelitian.

Sementara itu, Dr Ir KE Reza Pramana dari Water & Environment Div, I&P Indonesia hadir memberikan solusi dengan memanfaatkan teknologi yang mudah bagi masyarakat agar membantu dalam mengukur muka air tanah dengan menggunakan telepon genggam.



Alat ukur muka air tanah yang ditawarkan, berbasis aplikasi tidak berbayar dan dapat diunduh di playstore dengan kata kunci Groundwater Global. Aplikasi tersebut mengukur muka air tanah dengan menggunakan suara speaker dan mikrofon telepon genggam.

"Hasil pengukuran muka air tanah akan didapat dalam hitungan detik, dikirim ke cloud,  dan dapat mengukur hingga kedalaman maksimal 30 meter," katanya.

Reza menambahkan untuk mengukur muka air tanah di sumur-sumur masyarakat, hanya dibutuhkan pipa tambahan yang berdiameter kecil.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Praktisi dan akademisi diskusikan pemantauan muka air tanah di Bali

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024