Denpasar (Antara Bali) - Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Bali meminta MUDP segera mencabut surat keputusan mengenai pemekaran Desa Pakraman Tamblingan, Kabupaten Buleleng, agar jangan sampai memicu konflik horizontal di daerah setempat.

"Disadari atau tidak, SK tersebut telah menimbulkan sengketa dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat Dalem Tamblingan yang sangat potensial memicu konflik horizontal sehingga kami khawatirkan dapat mengganggu keamanan dan kedamaian di sana," kata Ketua LCKI Bali Brigjen Pol (Purn) Njoman Gede Suweta, di Denpasar, Sabtu.

Suweta meminta Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali segera mencabut atau membatalkan SK Nomor 005/Kpts/MDP Bali/V/2008 tentang pemekaran Desa Pakraman (desa adat) Tamblingan, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng karena dinilai cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.

"Hal ini sehubungan dengan penerbitannya mengacu pada rekomendasi atau persetujuan yang oleh Pengadilan Negeri Singaraja telah dengan sah dan meyakinkan dinyatakan palsu," ujarnya yang juga tokoh masyarakat Tamblingan itu.

Ia menyampaikan, Masyarakat Hukum Adat Dalem Tamblingan atau yang dikenal Catur Desa semula terdiri dari empat desa administratif yakni Desa Munduk, Gobleg, Umajero, dan Gesing. Keempat desa ini tetap tidak mengakui pemekaran Banjar Adat (dusun) Tamblingan sebagai bagian dari Catur Desa yang berdiri sendiri.

"Banjar adat Tamblingan sebelumnya merupakan bagian dari Desa Munduk. Sebanyak 200 KK dari situlah yang kemudian ingin memekarkan diri menjadi Desa Pakraman Tamblingan. Sementara jumlah masyarakat yang tergabung di Catur Desa sekitar 6.000 KK," katanya.

Menurut dia, Catur Desa sangat keras menolak adanya pemekaran karena ingin mempertahankan kelestarian ekosistem Danau Tamblingan. Bahkan di sana tidak dibolehkan sama sekali menggunakan perahu mesin di atas danau.

"Kami khawatir nanti bisa terjadi bentrok seperti beberapa tahun silam, mengingat Desa Pakraman Tamblingan sebagai desa pemekaran, tahun ini mendapatkan pencairan dana bantuan desa adat sebesar Rp55 juta. Ini mengindikasikan pengakuan Pemprov Bali terhadap pemekaran desa padahal Catur Desa jelas-jelas menolak," katanya.

Ia menyampaikan, pemberitaan media cetak Jumat (14/12) tentang cairnya bantuan Pemprov Bali tersebut yang tentu sangat terkait dengan SK 005 telah menimbulkan kesan dibenturkannya Pemprov Bali dengan Pemkab Buleleng dan Masyarakat Hukum Adat Dalem Tamblingan. Hal ini tentu sangat berdampak negatif terhadap upaya bersama menciptakan Bali yang kondusif, aman dan damai.

Oleh karena itu, pihaknya sangat berharap adanya upaya pencegahan konflik melalui pencabutan SK dari MUDP. Perbekel (kepala desa) Munduk pada April 2012 juga telah mengirimkan surat permohonan pencabutan SK kepada Bendesa Agung MUDP Bali, namun hingga kini belum mendapatkan respon.

"Kami harap ada upaya sinergi dari pemerintah, kepolisian dan desa pakraman agar tidak lengah sehingga konflik serupa tidak terulang," katanya.

Sebelumnya pada Kamis (13/12) tokoh Catur Desa yang mengatasnamakan Tim Sembilan telah menemui Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana.

Putu Ardana selaku Ketua Tim Sembilan sangat menyayangkan cairnya bantuan desa dari Pemprov Bali karena sedari awal pihaknya tidak mengakui keberadaan Desa Pakraman Tamblingan.

Ardana berani menyebut pemekaran cacat hukum karena PN Singaraja telah mengeluarkan putusan terhadap kasus pidana pemalsuan tanda tangan pengurus (prajuru) Desa Pakraman Munduk. Tanda tangan itu semula ditujukan sebagai bentuk persetujuan dari desa induk terhadap pemekaran desa.

Sementara itu Ketua MUDP Bali Jro Gede Suwena Putus Upadesha ketika dikonfirmasi terhadap permasalahan ini, ia sedang menjalani perawatan. Demikian juga dengan Sekretaris MUDP Bali Ketut Sumartha mengaku belum tahu kalau permasalahan ini mencuat lagi karena dirinya sedang berada di Lampung. (LHS)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012