Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong penguatan pola pengasuhan yang baik di lingkungan keluarga dan pendidikan yang ramah anak untuk mencegah timbulnya perundungan (bullying) di lingkungan sekolah.

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr Aris Adi Leksono MMPd di Jakarta, Kamis, mengatakan sangat penting untuk mengubah kultur dan pola pikir masyarakat agar keluar dari ekosistem yang menyebabkan pola asuh menjadi tidak kondusif.

"Orang dari daerah ke Jakarta itu sebagian besar datang motivasinya untuk ekonomi. Akibatnya ketika menyekolahkan anaknya mereka merasa cukup mengantar sekali saat penerimaan peserta didik baru dan mengambil rapor," katanya.

Aris menyampaikan hal tersebut saat menerima rombongan dari Sekretariat DPRD Provinsi Bali bersama para awak media yang tergabung dalam Forum Wartawan DPRD (Forward) Provinsi Bali.

Baca juga: Pemkot Denpasar sabet dua penghargaan nasional dari KPAI

Kunjungan ini merupakan rangkaian agenda studi tiru bertajuk Peran dan Penguatan Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Perlindungan Anak serta Provinsi Layak Anak.

Selain itu, di sejumlah sekolah juga masih kerap terjadi kekerasan pada anak berupa perundungan (bullying) yang salah satu penyebabnya karena persoalan ekonomi sehingga orang tua menjadi kekurangan waktu untuk mendidik dan memberi pengasuhan yang baik pada buah hatinya.

Aris mencontohkan ketika orang tua tidak sempat untuk mengantar jemput anaknya ke sekolah karena sibuk mencari nafkah, maka interaksi dengan pihak guru untuk mengetahui perkembangan anak di sekolah akan menjadi sangat minim.

"Maka ketika ada kasus kekerasan maupun bullying di sekolah malah cenderung menyalahkan. Padahal mestinya ada interaksi intensif agar pendidikan bisa berjalan dengan baik jika ada keterlibatan orang tua dan masyarakat," ucapnya.

Baca juga: Pemkab Badung raih "Anugerah Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2021"

Demikian pula, menurut Aris, sangat penting pola pengasuhan dan pendidikan di lingkungan keluarga maupun sekolah yang jauh dari unsur kekerasan.

Guru, tambah Aris, juga menjadi sarana untuk pola asuh alternatif setelah keluarga. Oleh karena itu, paradigma seorang guru haruslah menjadi fasilitator dan pembimbing bagi peserta didiknya.

"Kami selalu mendorong penyelesaian kekerasan dalam lingkungan pendidikan dengan adanya sekolah ramah anak, kemudian penguatan pendidikan karakter dengan pembelajaran," katanya.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan puluhan awak media dari Bali itu, Aris juga memandang penting peran media untuk mencegah tindak kekerasan pada anak maupun menjadi kanal informasi bagi masyarakat yang mengajukan pengaduan.

Pihaknya selama ini menerima dua mekanisme pengaduan yakni ada yang menyampaikan langsung maupun ditangkap informasinya dari media.

"Untuk kasus di pelosok dan unik, kami kerap dapat informasinya dari media. Pada 2022 ada aduan sebanyak 4.600 kasus dan sekitar 1.000-an kasus berbasis media," ujarnya.

Sementara itu Kepala Bagian Persidangan dan Fasilitasi Fungsi DPRD Provinsi Bali I Gusti Agung Nyoman Alit Wikrama mengatakan pihaknya bersama para awak media mengadakan kunjungan ini sebagai tindak lanjut penetapan Perubahan Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

"Media, kami harapkan bisa mendapatkan masukan yang berkenaan dengan upaya perlindungan anak yang aspirasinya juga bisa disampaikan pada anggota DPRD Bali dan sekaligus dapat menyosialisasikan pentingnya perlindungan anak kepada masyarakat Bali," ucapnya.

Dalam kunjungan tersebut ia berharap insan media di Provinsi Bali dapat menjadi pioner perlindungan anak mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat bekerja maupun lingkungan sekitarnya.
 
Kepala Bagian Persidangan dan Fasilitasi Fungsi DPRD Provinsi Bali I Gusti Agung Nyoman Alit Wikrama saat memimpin rombongan awak media yang tergabung dalam Forum Wartawan DPRD (Fordward) Provinsi Bali di Jakarta, Kamis (13/4/2023). ANTARA/Ni Luh Rhismawati.

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023