Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membidik penetrasi kredit nasional di atas 35 persen dari produk domestik bruto (PDB) karena masih banyak potensi yang bisa dielaborasi, salah satunya sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
"Jadi masih banyak ruang untuk bertumbuh untuk kredit di Indonesia, tidak hanya bicara kredit bank, tapi juga pembiayaan non bank," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam seminar internasional terkait penilaian kredit di Nusa Dua, Bali, Jumat.
Menurut dia, realisasi kredit di Indonesia saat ini diperkirakan baru mencapai sekitar 35 persen dari PDB.
Berdasarkan data OJK, realisasi kredit perbankan pada Desember 2022 mencapai Rp6.424 triliun atau melonjak 11,35 persen jika dibandingkan periode sama 2021 mencapai Rp5.482 triliun.
Baca juga: OJK: Indonesia kuasai 40 persen transaksi digital di ASEAN
Capaian realisasi kredit 2022 itu diperkirakan sekitar 35 persen dari total PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp19.588,4 triliun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022.
Dia menjelaskan persentase kredit perbankan di Tanah Air itu masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai sekitar 70 persen dari PDB negara gajah putih itu.
Ia menyakini dukungan penetrasi kredit tidak hanya dikontribusikan oleh sektor perbankan, tetapi juga kredit non bank seperti lembaga pembiayaan seperti Pegadaian, hingga lembaga keuangan informasi seperti Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Mirza menambahkan penilaian kredit alternatif yang inovatif atau (ICS) berpotensi menjadi salah satu informasi untuk menilai calon debitur termasuk dari pelaku UMKM.
ICS, lanjut dia, dapat menjadi cara baru selain penilaian kredit oleh Biro Kredit Konvensional yang menilai riwayat pembayaran pinjaman dan utang yang belum lunas.
Apalagi dengan era digital, informasi terkait transaksi yang tren saat ini seperti Beli Sekarang Bayar Kemudian (Buy Now Pay Later/BNPL) dan aktivitas digital UMKM dapat menjadi salah satu bagian penilaian dalam memperoleh akses kredit.
"Kita semua ada di era digital. Untuk menumbuhkan kredit, informasi dari aktivitas digital, bisa digunakan sebagai informasi ini untuk menumbuhkan kredit di Indonesia," ucapnya.
Baca juga: OJK pastikan tak satupun lembaga keuangan RI terkoneksi SVB
Untuk menumbuhkan kredit yang memenuhi prinsip hati-hati, lanjut dia, pemerintah memiliki program jaminan kredit termasuk bagi UMKM.
"Dengan banyaknya penduduk hampir 300 juta dari Sabang sampai Merauke, itu (35 persen kredit) belum cukup. Kami harus menumbuhkan banyak lagi pinjaman, tidak hanya dari bank tapi juga non bank, tidak hanya menggunakan konvensional tapi juga informasi digital," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
"Jadi masih banyak ruang untuk bertumbuh untuk kredit di Indonesia, tidak hanya bicara kredit bank, tapi juga pembiayaan non bank," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam seminar internasional terkait penilaian kredit di Nusa Dua, Bali, Jumat.
Menurut dia, realisasi kredit di Indonesia saat ini diperkirakan baru mencapai sekitar 35 persen dari PDB.
Berdasarkan data OJK, realisasi kredit perbankan pada Desember 2022 mencapai Rp6.424 triliun atau melonjak 11,35 persen jika dibandingkan periode sama 2021 mencapai Rp5.482 triliun.
Baca juga: OJK: Indonesia kuasai 40 persen transaksi digital di ASEAN
Capaian realisasi kredit 2022 itu diperkirakan sekitar 35 persen dari total PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp19.588,4 triliun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022.
Dia menjelaskan persentase kredit perbankan di Tanah Air itu masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai sekitar 70 persen dari PDB negara gajah putih itu.
Ia menyakini dukungan penetrasi kredit tidak hanya dikontribusikan oleh sektor perbankan, tetapi juga kredit non bank seperti lembaga pembiayaan seperti Pegadaian, hingga lembaga keuangan informasi seperti Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Mirza menambahkan penilaian kredit alternatif yang inovatif atau (ICS) berpotensi menjadi salah satu informasi untuk menilai calon debitur termasuk dari pelaku UMKM.
ICS, lanjut dia, dapat menjadi cara baru selain penilaian kredit oleh Biro Kredit Konvensional yang menilai riwayat pembayaran pinjaman dan utang yang belum lunas.
Apalagi dengan era digital, informasi terkait transaksi yang tren saat ini seperti Beli Sekarang Bayar Kemudian (Buy Now Pay Later/BNPL) dan aktivitas digital UMKM dapat menjadi salah satu bagian penilaian dalam memperoleh akses kredit.
"Kita semua ada di era digital. Untuk menumbuhkan kredit, informasi dari aktivitas digital, bisa digunakan sebagai informasi ini untuk menumbuhkan kredit di Indonesia," ucapnya.
Baca juga: OJK pastikan tak satupun lembaga keuangan RI terkoneksi SVB
Untuk menumbuhkan kredit yang memenuhi prinsip hati-hati, lanjut dia, pemerintah memiliki program jaminan kredit termasuk bagi UMKM.
"Dengan banyaknya penduduk hampir 300 juta dari Sabang sampai Merauke, itu (35 persen kredit) belum cukup. Kami harus menumbuhkan banyak lagi pinjaman, tidak hanya dari bank tapi juga non bank, tidak hanya menggunakan konvensional tapi juga informasi digital," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023